Konotasi yang sampai ke telinga kita ketika mendengar kata konflik selalu terdengar suram, tragis, ataupun sinis. Hal itu wajar karena konflik adalah negasi dari keteraturan atau ketenteraman masyarakat. Artinya, konflik sering kali membuat orang-orang resah. Konflik juga menjadi musuh besar bagi otoritas. Sebagai “tokoh protagonis” dalam masyarakat, otoritas memiliki tugas, salah satunya membuat masyarakat tertib. Di sisi lain, ada oposisi yang berperan sebagai “tokoh antagonis”. Konflik merupakan sebuah langkah awal untuk melucuti otoritas agar bisa lepas dari kekuasaan.
Baca juga:
Protagonis dan antagonis di sini tidak diartikan sebagai pihak yang baik dan yang jahat layaknya yang orang-orang lakukan. Maksud dari otoritas sebagai protagonis adalah kelompok yang mempunyai peran utama dalam menguasai dan mengatur masyarakat. Sedangkan oposisi sebagai antagonis adalah kelompok yang berperan sebagai ‘musuh’ dari otoritas.
Merebut dan Menjaga Status Quo
Oposisi yang mempunyai perbedaan ideologi atau pandangan dengan otoritas, menginginkan kelompoknya untuk mendaki hierarki menjadi kelompok otoritas. Sementara itu, kelompok otoritas mempunyai kepentingan untuk menjaga konformitas struktur dan sistem yang sudah dibuat dan dijalankan agar tetap berjalan mulus. Pendek kata, otoritas ingin menjaga status quo-nya, sementara oposisi ingin mengubah sekaligus merebutnya.
Kelompok oposisi memandang bahwa konformitas yang dibangun oleh kelompok otoritas sebagai suatu keadaan yang penuh kekurangan atau tidak ideal. Hal itulah yang membuat oposisi mempunyai hasrat untuk menjadi pengganti dari otoritas yang ada. Jika pada akhirnya para oposisi berhasil meraih kemenangannya itu, oposisi yang mulanya berposisi sebagai kelompok alternatif, beralih menjadi kelompok yang berjalan di arus utama.
Hubungan otoritas-oposisi ini secara tidak langsung menjadi sebuah prasyarat perubahan sosial. Karena ketika suatu oposisi berhasil berganti status menjadi otoritas, maka akan terjadi perubahan dalam masyarakat. Hal Ini terjadi lantaran perancang masyarakatnya berubah. Kebijakan-kebijakan baru akan bermunculan, sebab visi dan misi yang dibawa berbeda dari kelompok otoritas sebelumnya.
Perbedaan Memandang Konflik
Dari sini, akan terlihat perbedaan di antara kedua kelompok itu dalam memandang konflik yang ada di masyarakat. Bisa saja kelompok yang berkuasa sebelumnya lebih menyoroti isu-isu klasik dibanding isu temporer, atau ada saja yang lebih menitikberatkan persoalan kemajuan ekonomi dibanding kesejahteraan sosial. Lain hal lagi, satu orang akan menganggap bahwa urgensi di masyarakat adalah tentang toleransi beragama, sedangkan orang yang lain akan menganggap bahwa urgensi di masyarakat adalah tentang banyaknya pengangguran.
Dari contoh perbedaan pandangan itu, dapat diartikan bahwa setiap kelompok mempunyai paradigma berbeda dalam mengidealisasikan realitas kehidupan masyarakat. Perbedaan ini dihasilkan oleh kelompok-kelompok yang terus berseberangan, yakni antara tokoh protagonis dan antagonis.
Memang bahwasannya subjektivitas dalam suatu sistem dihasilkan dari perbedaan subjeknya (manusia) dalam melihat dunia. Sebuah sistem masyarakat yang mutlak-final—di mana tidak akan terjadi lagi pembaruan sistem karena sistem tersebut sudah dipercaya sebagai yang paling canggih—tidak akan tercipta karena manusia yang berbeda paradigma akan melihat suatu sistem dengan kacamata yang berbeda pula.
Baca juga:
Kelompok kapitalis akan melihat gagasan komunis sebagai pemikiran yang merampas kemerdekaan manusia sebagai individu dan harus berkorban menjadi seorang yang altruistik. Sementara para komunis akan melihat kapitalisme sebagai bentuk manifestasi pemenuhan hasrat individual yang egoistik. Ada kelompok yang ingin menciptakan masyarakat komunal, ada pula kelompok yang ingin menciptakan masyarakat individualis. Ada seorang yang memegang nilai-nilai kemajuan, ada pula yang memegang nilai-nilai lama. Perbedaan-perbedaan ini akan membuat proses perubahan masyarakat berlangsung secara kontinu.
Pergantian posisi atau status otoritas-oposisi ini menjadi siklus berkelanjutan yang dinamis. Artinya, siklus ini dapat menghasilkan progresi sekaligus regresi. progresi berarti masyarakat mengalami sebuah kemakmuran, kesejahteraan, maupun keadilan dibanding dari keadaan sebelumnya. Regresi berarti semua hal itu berbalik menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi tidak selalu naik, tetapi dapat turun pula.
Konflik antara otoritas dan oposisi ini pada akhirnya menjadi sebuah hubungan dialektis untuk mengembangkan sistem dalam masyarakat yang lebih mutakhir. Otoritas dan oposisi akan terus saling bergilir statusnya. Kekuasaan akan silih berganti, suatu sistem akan terus direvisi.
Tidak Bisa Diwajarkan
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa proses dialektika antara otoritas dan oposisi ini, beserta konflik yang menyertainya, bisa dibilang merupakan gejala alamiah sosial. Artinya, kita tidak bisa membiarkan, mewajarkan, dan memasrahkan diri terhadap segala konflik yang terjadi antara otoritas dan oposisi demi kepentingan sebuah visi ‘pembaruan masyarakat’.
Seperti halnya emosi negatif manusia yang merupakan sebuah kondisi alamiah pada manusia, bukan berarti kita harus pasrah dan terombang-ambing dalam menghadapi emosi negatif dengan dalih bahwa emosi negatif merupakan ‘keadaan alami manusia’. Jika kita berlarut-larut dalam emosi negatif, pikiran kita menjadi tidak jernih. Pembunuhan, pencurian, dan bunuh diri adalah contoh dari dampak emosi negatif jika kita sudah kalah darinya.
Hal itu berlaku juga pada konflik yang merupakan gejala alamiah sosial di masyarakat. Konflik tetap saja sebuah konflik. Konflik bisa menjadi destruktif terhadap eksistensi masyarakat, seperti emosi negatif yang bisa menjadi destruktif bagi individunya. Sudah menjadi tugas individu untuk keluar dari perasaan negatifnya, seperti tugas kita untuk tetap was-was terhadap konflik-konflik yang bermunculan di sekitar kita.