Pelbagai gulana dibalut daging.

Hati-Hati Sesat Pikir dalam Berdemokrasi!

Salma Nida

5 min read

“Democracy is the worst form of government, except for all the others.”  – Winston Churchill.

Pendewasaan diri adalah menyadari bahwa ungkapan Churchill mungkin adalah kebenaran yang tidak absolut tetapi nampak di depan mata. Untuk mempertebal argumen Churchill, saya akan mengutip pandangan dalam buku The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad yang ditulis oleh Fareed Zakaria. Ia mengenalkan konsep “illiberal democracy” atau “demokrasi tanpa kebebasan”. Ia berargumen bahwa di beberapa negara, demokrasi tidak menghasilkan kebebasan dan keadilan, melainkan melanggengkan otoritarianisme terselubung di mana pemimpin menggunakan demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan. Ia juga menyoroti bahwa pemimpin populis sering kali memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk meraih dukungan.

Sejak di bangku sekolah dasar, kita semua didoktrin bahwa sistem demokrasi yang diaminkan di negeri ini, terlebih dengan menabuh label Pancasila di dalamnya, merupakan sistem pemerintahan paling baik dan adil karena berorientasi pada rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dalam konstitusi. Namun, hari ini kita patut untuk mempertanyakan kembali realitas tersebut.

Jika kita melihat dengan jernih implementasinya, demokrasi di negeri ini sangat mungkin hanyalah ilusi dan fatamorgana yang selalu digembor-gemborkan. Oleh karenanya, bagi mereka yang tidak menyadari, ilusi yang disuapi ke dalam nestapa perut-perut yang kosong melalui bansos atau amplop, dan didiktekan dalam kurikulum usang yang dikonsumsi anak-anak bangsa tersebut menjadi realitas nihil yang menunggu waktu untuk meledak menjadi bencana.

Baca juga:

Sebenarnya tak ada yang salah dari mengajarkan dan mengenalkan kepada masyarakat sejak dini bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Yang menjadi kekeliruan adalah apabila nilai-nilai tersebut tak diaminkan dalam penyelenggaraannya. Nilai-nilai tersebut diselewengkan oleh pihak-pihak yang tak berpihak pada kepentingan rakyat, sebab demokrasi yang berdasarkan asas Pancasila di negara ini justru rawan dijadikan alat bagi para oligarki untuk melanggengkan kekuasaan dan dinasti mereka yang diamunisi oleh ketidaktahuan masyarakat.

Demokrasi Illiberal adalah salah satu senjata bunuh diri bagi mereka yang tak berpengetahuan.

Titik Vital Demokrasi Indonesia

Patut kita sadari bahwa titik vital dalam demokrasi kita sangat bertumpu pada pengetahuan masyarakat. Dalam karya “The Republic”, Plato menyebutkan bahwa demokrasi memiliki kelemahan mendasar karena memberikan kekuasaan kepada mereka yang belum tentu bijaksana atau berpengetahuan. Ia berpendapat bahwa masyarakat yang tidak cukup terdidik rentan memilih pemimpin yang manipulatif, yang pada akhirnya dapat menyebabkan tirani dan korupsi. 

Salah satu jalan pintas untuk menakar apakah demokrasi kita didominasi oleh publik yang berpendidikan atau justru didominasi oleh yang kurang teredukasi adalah dengan melihat demografi berdasarkan jenjang pendidikan dalam pemilu terbaru, yaitu Pemilu 2024. Dari data yang dihimpun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mayoritas pemilih di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang tidak lebih dari sekolah menengah. KPU melaporkan bahwa pemilih dengan pendidikan dasar atau SMP dan yang tidak tamat SMP cukup mendominasi dalam daftar pemilih tetap (DPT). Konkretnya, persentase pemilih dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi tidak lebih dari 12% dari total popoulasi pemilih.

Ini menunjukkan adanya potensi kesenjangan pengetahuan di kalangan pemilih yang bisa berisiko dalam menentukan pilihan yang rasional dan informasional selama pemilu. Dalam kata lain, demokrasi Indonesia berpeluang besar untuk dilemahkan dan ditunggangi melalui “titik vital” yang terbuka lebar untuk diserang melalui propaganda-propaganda di jagat media sosial berbasis audio visual yang disederhanakan, minim tulisan, dan dapat dengan mudah ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang kurang memiliki kesadaran dan pengetahuan.

Hati-Hati Dikelabui!

Pasal sesat pikir paling fundamental ihwal demokrasi di Indonesia adalah “jika ada pemilu, di situ ada demokrasi”. Esensi demokrasi kita terkesan disimplifikasi melalui pemilu. Kita sering kali hanya disuapi pengetahuan setunggal bahwa demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang mewakili suara mayoritas dan menunjukkan kesetaraan dalam berpendapat.

Baca juga:

Masalahnya, kualitas demokrasi yang ideal tak bisa ditakar melalui satu aspek tersebut saja, justru aspek yang selalu digembor-gemborkan itu hanyalah penunjang. Sayangnya, kesetaraan dalam kemampuan berpikir masyarakat, akuntabilitas, transparansi, kebebasan berpendapat yang sehat dan konstruktif, serta checks and balances yang berjalan konsisten acap kali dikesampingkan.

Banyak orang mengira bahwa peran mereka dalam demokrasi usai setelah memberikan suara dalam pemilu, padahal partisipasi aktif dalam bentuk keterlibatan seperti diskusi politik, kritik terhadap kebijakan, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan sangat penting untuk memastikan apakah demokrasi sudah secara nyata diselenggarakan, tidak dibajak untuk kepentingan segelintir kelompok. Tanpa partisipasi kita dalam mengawal penyelenggaraan negara, pemilu hanya akan jadi cangkang formalitas demokrasi. 

“lho, itu sampeyan bisa bebas mengritik pemerintah di media sosial dan masih bebas berkeliaran tidak ditangkap. Lalu itu apa? Bukan demokrasi itu?” Apakah tulisan-tulisan dan kritik kami pernah dijadikan bahan pertimbangan dan opsi untuk memperkaya sudut pandang dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di pemerintah? Kalau tidak, itu bukan demokrasi.

Menyederhanakan demokrasi sebagai kebebasan mutlak juga merupakan sesat pikir, sebab kebebasan berbicara sudah menjadi hak dasar manusia. Apabila suara rakyat dan akademisi menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan pemerintah tanpa mahasiswa harus menggerebek pagar Senayan dahulu lalu ditransparansikan setiap prosesnya, di situlah demokrasi sejati yang utopis itu bisa kita akui kehadirannya.

Seharusnya Demokrasi Riuh dan Berisik

Anggapan bahwa keberagaman pendapat dalam pandangan politik adalah sumber konflik juga merupakan sesat pikir, sebab dalam demokrasi, keberagaman adalah kekayaan yang memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih adil dan komprehensif. Demokrasi yang sehat harus mengakomodasi pandangan dari berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya pandangan mayoritas atau golongan yang berkuasa.

Indonesia ini menaungi lebih dari 270 juta kehidupan yang sepaket dengan pemikirannya, apabila konstitusi mantap menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraannya, maka harus bersiap dengan keriuhan dan keberisikan berbagai suara dan sudut pandang. Kita sebagai warga negara juga harus merefleksikan diri, Jika kita ingin mengaminkan demokrasi, terlebih demokrasi yang sehat dan adil, kita juga harus siap dengan konsekuensi belajar. Belajar memahami politik, belajar berpartisipasi aktif, belajar kritis dalam mengawal isu nasional atau lokal, rajin membaca bukan hanya sebatas pada headline berita atau hook TikTok, tapi membaca permasalahan dengan komprehensif di media-media yang menawarkan pandangan objektif, netral dan berpihak pada kemaslahatan rakyat.

Sudah Siapkah Indonesia Berdemokrasi?

Tergantung, demokrasi apa yang hendak dicapai. Jika hanya sebatas “Demokrasi Omon-Omon”, bukan “Demokrasi Deliberatif” seperti yang diulas oleh Teddy Chrisprimanata Putra pada tulisannya,  “Demokrasi Deliberatif VS Demokrasi Omon-Omon”, saya rasa sudah, kita sudah hidup dalam demokrasi omon-omon yang dimaksud. Tapi, kalau demokrasi deliberatif, demokrasi ideal yang diimpikan oleh Plato dalam The Republic-nya itu, sepertinya kita harus menyadari bahwa:

Pertama, pendidikan politik di Indonesia masih lemah. Demokrasi yang utuh menurut Plato membutuhkan masyarakat mampu berpikir kritis dan punya pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan politik yang bijaksana. Di Indonesia, pendidikan politik dan literasi kritis masih sangat terbatas. Banyak pemilih yang belum memahami esensi demokrasi, sehingga mereka mudah dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, politik uang, dan kampanye yang manipulatif. Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang dapat memahami konsekuensi dari keputusan mereka, serta memiliki kapasitas untuk mempertanyakan kebijakan atau janji politik secara objektif.

Baca juga:

Kedua, oposisi absen dalam kabinet Merah Putih. Budaya anti-oposisi berbahaya karena cenderung monolitik, jelas ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang pluralistik dan terbuka. Keberadaan oposisi yang sehat bukanlah sebuah ancaman, tetapi justru pelengkap yang memastikan bahwa kebijakan tidak hanya berorientasi pada satu kepentingan. Masalahnya, Prabowo sendiri masih menganut kepercayaan bahwa oposisi dalam kabinetnya hanya akan memecah belah. Maka kabinet kebanggaannya akan minim kekayaan sudut pandang dan rawan ditunggangi.

Ketiga, upaya mendobrak hukum konstitusi demi melanggengkan nepotisme. Demokrasi yang adil dan deliberatif harus dibangun di atas kesejahteraan rakyat dan menghormati hukum, bukan untuk melanggengkan dinasti satu keluarga saja. Dalam rangka menempatkan Gibran pada posisinya saat ini, Jokowi mendobrak konstitusi secara ugal-ugalan bersama adik iparnya di Mahkamah Konstitusi. Bahkan hingga titik akhir masa jabatannya, masih ada upaya untuk menghempas peraturan perundang-undangan yang diduga kuat agar Kaesang juga bisa melenggang ke pilkada Jakarta, meskipun upaya tersebut berhasil dibredel dan digagalkan oleh gugatan rakyat semesta melalui aksi meta garuda biru peringatan darurat dan demonstrasi massal.

Keempat, literasi media Indonesia masih bobrok. Penelitian yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) 2022 menunjukkan bahwa sekitar 62% masyarakat Indonesia mengaku sulit membedakan berita fakta dengan berita hoax. Sebagian besar dari mereka juga menyatakan menerima informasi dari media sosial yang rentan terhadap disinformasi. Selain itu, masyarakat kita lebih gemar mengonsumsi sajian berita audiovisual singkat yang instan dan minim proses berpikir yang kritis, hanya menerima informasi satu arah secara mentah-mentah.

Dari berargumentasi dan berkomentar saja dapat kita lihat bahwa masih banyak orang yang cenderung membaca headline berita saja tapi tidak membaca isi beritanya, apalagi crosscheck data. Sedangkan dewasa ini setiap platform mainstream di Indonesia seperti TikTok, X, dan Instagram misalnya, masing-masing sudah memiliki basis media yang tersentralisasi ke pemerintah, lengkap dengan seperangkat buzzer dibayar. Maka, para korban dari rendahnya literasi media akan menjadi sasaran empuk bagi propaganda politik media.

Dengan demikian, sebenarnya Indonesia belum siap untuk Demokrasi yang sehat dan ideal. Namun, apakah mengganti ideologi adalah jawaban? belum tentu. Optimalisasi pencerdasan rakyat melalui pendidikan politik dan memangkas kesenjangan ekonomi sosial adalah jawaban yang harus kita usahakan agar fit dengan deskripsi demokrasi utopis ala Plato.

 

 

Editor: Prihandini N

Salma Nida
Salma Nida Pelbagai gulana dibalut daging.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email