Kota itu tampak kelabu. Gedung-gedung berdiri lesu, penuh grafiti yang merupa bayangan-bayangan keputusasaan, pesan-pesan yang dilukis orang-orang yang barangkali sudah lupa bagaimana cara berteriak. Jalan-jalan di kota itu sepi, namun selalu penuh dengan sesuatu yang tak terlihat—rasa takut yang berdesir di antara bisik-bisik. Orang-orang yang lewat dengan kepala tertunduk, seolah dinding-dinding kota punya telinga dan mata, memantau setiap gerak-gerik mereka. Bayang-bayang malam sudah menutup matahari, tapi kota ini seolah tak lagi membedakan siang dan malam.
Randa menatap kota dari sudut jalan, membiarkan matanya menyapu dinding yang penuh coretan, retakan, dan bekas peluru yang membekas di sana-sini. “Inikah yang disebut rumah?” gumamnya, suara yang tenggelam dalam riuh pelan kendaraan yang berlalu. Suara itu, suara dalam hati, yang terus bertanya tanpa henti: sampai kapan semua ini bertahan? Sampai kapan kota ini akan dibiarkan runtuh?
Warga kota tahu siapa yang menguasai tempat ini. Tumaya, walikota yang berkuasa dengan tangan besi, menjadi momok bagi setiap orang. Tiap langkah Tumaya membawa ketakutan dan kengerian, namun tak seorang pun berani menyuarakan penentangan secara terbuka. Semua diam. Menunggu. Namun tidak ada yang tahu, menunggu apa.
Randa sendiri—masih muda, masih penuh harapan yang barangkali hanya ilusi—sudah lama mendambakan perubahan. Ia bukan orang besar, bukan orang yang punya kekuatan. Pekerjaannya hanyalah pengantar barang, menyusuri lorong-lorong gelap dan jalan sempit, bertemu berbagai orang yang bahkan namanya tak diingat. Kadang ia merasa seperti bayangan yang melayang tanpa tujuan, tenggelam dalam keputusasaan.
Namun, semua berubah ketika kabar tentang Sampara mulai tersebar di seluruh kota. Nama itu, yang sebelumnya hanya cerita bisik-bisik, kini jadi legenda. Konon, Sampara adalah sosok yang berani menantang Tumaya, mengekspos dokumen-dokumen penting, dan bahkan merampok uang haramnya untuk dibagikan kepada warga miskin. Entah benar entah tidak, cerita itu terus menyebar, berkembang seperti nyala api yang tak bisa dipadamkan.
Dan pagi ini, di tengah lapang kota yang dulu pernah menjadi tempat berkumpulnya anak-anak kecil bermain, Sampara kini disalib—tubuhnya terikat erat di atas kayu yang menjulang tinggi, menjadikan dirinya pusat perhatian semua mata yang berani menengadah. Matahari bersinar terik, membuat keringat bercucuran di dahi semua orang yang menonton, tetapi suasana tetap dingin, penuh ketegangan yang tak terucap.
Randa berdiri di sana, di antara kerumunan yang saling berbisik. Ia mendengar percakapan samar, suara-suara yang mencerminkan perpecahan dalam hati masing-masing orang. Beberapa orang mengutuk Sampara sebagai pengkhianat. “Dia melawan walikota, itu artinya dia melawan kita semua,” bisik seorang ibu tua kepada anaknya yang menatap dengan bingung.
Namun ada pula yang berani memuji, suara yang nyaris tak terdengar di tengah kebisuan itu. “Kalau bukan karena dia, siapa lagi yang berani? Sampara mungkin salah, tapi setidaknya dia berani…”
Randa diam, matanya tak lepas dari tubuh Sampara yang tergantung kaku. Ada sesuatu dalam wajah Sampara yang menyentuh dirinya—campuran rasa sakit dan ketenangan yang tidak biasa. Seolah-olah Sampara, dalam sekaratnya, sedang berbicara langsung pada Randa, mengirim pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendambakan perubahan.
“Sampara,” gumam Randa pelan, suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk bisik-bisik. Ia tak bisa menahan perasaan kagum yang menggelayut di hatinya, meskipun perasaan itu bercampur dengan ketakutan yang menyesakkan.
Ia ingin melakukan sesuatu. Tapi apa? Bagaimana seorang pemuda pengantar barang seperti dirinya bisa melawan kekuasaan Tumaya yang besar dan mengerikan?
Kerumunan mulai beranjak, tetapi Randa masih terpaku di tempatnya, menatap tubuh Sampara yang kaku di atas salib. Orang-orang mulai bubar, kembali ke rumah masing-masing seolah tak terjadi apa-apa, seolah nyawa yang melayang di tengah lapang kota adalah sesuatu yang lumrah.
Dan di antara riuh rendah itu, di tengah hiruk pikuk yang mulai mereda, Randa mendengar seseorang mendekat. Suara langkah pelan itu berakhir di sampingnya. Randa menoleh dan menemukan Kiara berdiri di sana, teman masa kecilnya yang selama ini jarang ia temui. Kiara memandang Sampara dengan sorot mata sedih dan penuh kekaguman.
“Kamu tahu,” kata Kiara dengan suara pelan, “Sampara tidak melakukannya untuk dirinya sendiri. Dia tahu dia akan mati, tapi tetap melawan. Apa kita akan selamanya jadi penonton?”
Kata-kata Kiara itu, seolah menampar Randa.
***
Randa menelan ludah, matanya tetap terpaku pada Sampara yang tergantung di salib. Tubuhnya penuh luka, darah mengering di pelipis dan sudut bibirnya, namun ada ketenangan yang ganjil di wajah itu, seperti orang yang sudah menerima nasibnya jauh sebelum eksekusi ini terjadi.
“Aku… aku tidak tahu, Kiara,” jawab Randa akhirnya, suaranya nyaris tenggelam dalam kebisingan samar kerumunan yang perlahan membubarkan diri. “Bagaimana bisa kita melawan? Tumaya punya semua kekuasaan di kota ini. Kita hanya… orang kecil.”
Kiara memutar pandangannya dari Sampara ke arah Randa. “Sampara juga orang kecil, tapi dia berani. Dia tahu apa yang dia hadapi, tapi itu tidak menghentikannya.” Mata Kiara menajam, suaranya merendah seolah menyimpan rahasia besar. “Apa kamu ingat, dulu kita bermimpi kota ini akan berubah? Bahwa suatu hari, kita bisa hidup tanpa ketakutan?”
Randa terdiam. Ia ingat betul masa-masa itu, masa di mana ia dan Kiara hanyalah anak-anak yang berlari di jalanan kota tanpa rasa takut. Kota ini dulu penuh dengan kehidupan, dengan senyum, sebelum Tumaya mulai memaksakan kekuasaannya. Sejak itu, ketakutan merayap pelan-pelan ke dalam kehidupan semua orang, membunuh setiap harapan yang tersisa.
“Aku ingat, Kiara,” jawab Randa pelan. “Tapi kenyataan selalu berbeda dari mimpi.”
Kiara tersenyum samar, tetapi ada kesedihan di balik senyumnya. “Mungkin kita terlalu lama hidup dalam kenyataan yang sudah diatur Tumaya. Kita lupa, kenyataan pun bisa diubah.”
Randa tak menjawab, tapi kata-kata Kiara terngiang di kepalanya. Saat Kiara berpamitan dan meninggalkan tempat itu, Randa tetap berdiri di sana, sendirian, memandangi tubuh Sampara yang tergantung kaku di tengah lapang kota. Ada rasa sakit yang dalam di dadanya, rasa sakit karena ketidakmampuannya sendiri, karena keinginannya yang terpendam untuk menjadi seperti Sampara—berani, tegar, dan tak gentar menghadapi ancaman apa pun.
“Sampara,” gumam Randa pelan, seolah nama itu sendiri punya kekuatan. Di dalam namanya, Randa merasakan sesuatu yang asing tapi hangat, sebuah keberanian yang menggetarkan hati. Namun di saat yang sama, ia juga merasakan ketakutan yang begitu dalam, seperti jurang yang siap menelannya jika ia melangkah lebih jauh.
Orang-orang mulai bubar, kembali ke rumah masing-masing seolah tak terjadi apa-apa, seolah nyawa yang melayang di tengah lapang kota adalah sesuatu yang lumrah. Di antara suara langkah kaki yang semakin menjauh, Randa berdiri kaku, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Pertanyaan Kiara masih menggelayuti benaknya—apakah ia akan selamanya menjadi penonton?
Namun, di tengah kebisuan itu, di tengah malam yang mulai merambat masuk, Randa mendengar sesuatu. Suara itu halus, nyaris seperti bisikan. Tanpa disadari, ia mendapati dirinya menggumamkan nama Sampara berulang kali, seperti mantra yang anehnya membawa kedamaian di tengah kegelisahannya.
Dan dalam hati yang bergolak, ia tahu, meski masih samar, bahwa mungkin, inilah awal dari sesuatu yang berbeda.
***
Malam semakin larut, dan kota mulai tenggelam dalam kegelapan. Lampu-lampu jalan menyala redup, menciptakan bayangan yang panjang dan meliuk di antara gedung-gedung yang usang. Randa berjalan pelan menyusuri lorong sempit, hendak kembali ke kamar kontrakannya di pinggiran kota. Pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Sampara dan kata-kata Kiara yang terus terngiang dalam benaknya.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang familiar duduk di ujung jalan, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.
“Lanung?” Randa memanggil pelan, setengah ragu. Sosok itu menoleh, dan senyum tipis yang penuh sindiran muncul di wajahnya. Lanung, teman lamanya, yang dulu sering bermain bersamanya dan Kiara di gang-gang kecil kota ini, kini tampak berbeda.
“Randa,” jawab Lanung sambil tertawa kecil. “Masih hidup rupanya.”
Randa melangkah mendekat dan duduk di sampingnya. Sudah lama ia tidak bertemu Lanung, yang sekarang terkenal sebagai salah satu preman bayaran yang bekerja di bawah perintah Tumaya. Penampilan Lanung berubah—pakaiannya lebih rapi, tetapi kesan liar terlihat jelas di matanya. Tatapan penuh ejekan yang membuat Randa merasa tak nyaman.
“Kamu masih sibuk dengan pikiran-pikiran besar itu, ya?” tanya Lanung, nadanya sinis. “Tentang revolusi, perubahan, dan semua omong kosong itu?”
Randa mengernyit. “Ini bukan omong kosong, Lanung. Lihat apa yang Tumaya lakukan pada Sampara. Dia hanya berusaha membela rakyat kecil, tapi sekarang… sekarang dia disalib seperti penjahat.”
Lanung tertawa keras, tawanya menggema di gang sempit itu. “Sampara bodoh. Dia pikir dia bisa mengubah segalanya hanya dengan beberapa aksi kecil? Dunia ini tidak seindah itu, Randa. Kau tahu sendiri, kekuatan bukan milik orang-orang lemah.”
Randa merasa panas di dadanya, tapi ia berusaha menahan diri. “Tumaya yang lemah, Lanung. Dia hanya kuat karena semua orang membiarkan dia berbuat semaunya. Kalau kita bersatu…”
“Bersatu?” Lanung memotongnya dengan tawa meremehkan. “Mimpi besar untuk orang kecil, Randa. Kau mungkin pernah jadi teman baikku, tapi aku sudah lama paham satu hal: kalau ingin bertahan, kita harus mengikuti aturan yang ada. Kau pikir aku menikmati bekerja untuk Tumaya? Tidak. Tapi hidup tak memberiku pilihan lain.”
Randa menggigit bibirnya, kecewa. Dulu, Lanung adalah teman yang setia, yang punya jiwa pemberontak seperti dirinya. Tapi sekarang, ia hanya melihat sosok yang telah menyerah pada keadaan, seseorang yang memilih berjalan di bawah kendali kekuasaan.
“Lalu apa bedanya kamu dengan Tumaya?” kata Randa pelan, suaranya penuh rasa sakit. “Kamu hanya jadi bagian dari sistem yang menindas orang-orang seperti kita.”
Lanung mendengus, menatap Randa dengan pandangan yang dingin. “Bedanya? Bedanya aku masih hidup. Sampara mungkin pahlawan dalam cerita rakyat, tapi lihat bagaimana akhirnya dia? Tergantung seperti binatang. Kau mau jadi seperti dia? Silakan saja.”
Kata-kata itu menancap dalam di hati Randa. Ia tak membalas, hanya menunduk dan mengepalkan tangannya, berusaha menahan gelombang emosi yang membara di dalam dirinya. Setelah beberapa saat, ia berdiri, memutuskan untuk pergi tanpa pamit.
Di sepanjang jalan kembali, Randa tak bisa menghilangkan kata-kata Lanung dari pikirannya. Ada rasa kecewa yang begitu mendalam pada sahabat lamanya itu, tetapi ada pula rasa ketakutan yang muncul dari perkataannya. Bayangan tubuh Sampara yang tergantung di tengah kota masih menghantui benaknya, seakan memberi peringatan tentang bahaya yang menunggu di ujung jalan perlawanan. Tapi di balik ketakutan itu, ada sesuatu yang lain—keberanian yang perlahan mulai tumbuh di hatinya, meski ia sendiri belum sepenuhnya yakin akan ke mana keberanian itu akan membawanya.
***
Malam semakin larut, dan dinginnya udara kota menyelusup hingga ke tulang. Randa berjalan kembali ke pusat kota. Tubuh Sampara masih tergantung di salib, menjadi simbol kekalahan yang menghantui setiap sudut kota. Namun kali ini suasana sudah sepi. Orang-orang yang tadinya berkumpul sudah bubar, kembali ke kehidupan mereka, seolah tak ada yang berubah.
Hanya ada angin malam yang berembus pelan, membuat salib itu berderit di keheningan. Randa berjalan pelan mendekat, nyaris tanpa sadar, hingga jaraknya begitu dekat dengan tubuh Sampara. Mata Sampara terpejam, wajahnya pucat, dan bibirnya terbuka sedikit, seperti seseorang yang baru saja berbisik kepada dunia.
“Sampara…,” gumam Randa, suaranya nyaris tak terdengar. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk memanggil nama itu, seolah nama itu sendiri punya kekuatan untuk membakar ketakutannya. Di hadapan sosok yang telah menyerahkan hidupnya untuk melawan ketidakadilan, Randa merasa begitu kecil, tetapi juga begitu tergerak. Ia menatap wajah Sampara yang beku, mengagumi ketenangan yang terlihat meskipun tubuhnya sudah tak bernyawa.
Di dalam keheningan malam, pandangan mata Randa bertemu dengan sesuatu yang tak ia duga. Mata Sampara sedikit terbuka, menatap kosong ke arah langit, tetapi seakan-akan masih hidup, menyampaikan pesan terakhir yang tak terucap. Dalam pandangan kosong itu, Randa merasa melihat sesuatu yang lebih dalam—ketabahan, keberanian, dan pengorbanan yang begitu besar.
Dan seolah disihir oleh tatapan itu, Randa mulai berbicara, tak yakin apakah ia sedang berbicara kepada Sampara atau dirinya sendiri.
“Apakah aku harus takut?” bisiknya, suaranya terdengar gemetar. “Apakah aku harus diam… dan menjadi penonton seperti yang lain?”
Ia terdiam sejenak, menunggu jawaban yang jelas tak mungkin datang. Tapi dalam hati kecilnya, ia seolah mendengar bisikan halus, jawaban yang samar tapi menyala terang di relung terdalam jiwanya. Randa mulai mengingat semua ketidakadilan yang telah ia saksikan, bagaimana Tumaya memperlakukan rakyat seperti pion dalam catur kekuasaannya, bagaimana kota ini tenggelam dalam rasa takut yang meracuni setiap hati yang pernah berharap.
Tiba-tiba, Randa merasakan keberanian yang berbeda, sesuatu yang ia tahu telah lama tertanam di sana, tetapi baru kini mulai berakar dan bertumbuh. Dalam hening malam, dalam tatapan terakhir Sampara, Randa menemukan jawabannya. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini.
Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan besok, atau bagaimana ia bisa melawan kekuatan sebesar Tumaya. Tapi malam ini, di tengah dinginnya udara kota dan keheningan yang mencekam, Randa berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan membiarkan kematian Sampara sia-sia.
Dalam keheningan itu, Randa membalikkan badan dan melangkah pergi, dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Kini, ia bukan lagi seorang pemuda yang hanya bermimpi tentang perubahan. Ia adalah seseorang yang telah menemukan keberanian, keberanian yang mungkin belum sempurna, tetapi cukup untuk menjadi langkah awal menuju perubahan.
Dan meskipun dunia di sekitarnya masih dipenuhi ketakutan, Randa akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan.
***
Keesokan paginya, langit kota masih diselimuti kabut kelabu, seolah alam pun enggan menyaksikan hari yang baru di tempat ini. Namun, Randa merasa berbeda. Udara pagi yang dingin justru mengisi dirinya dengan rasa segar yang jarang ia rasakan. Ia berjalan cepat, melewati jalanan kota yang perlahan dipenuhi aktivitas. Semua orang tampak seperti biasa—sibuk, tak acuh, dan cenderung apatis terhadap segala yang terjadi di sekitar mereka.
Randa tahu, di balik wajah-wajah itu, ada ketakutan yang membatasi mereka. Ketakutan akan kekuatan Tumaya dan antek-anteknya yang menguasai kota seperti para dewa kecil, dengan Tumaya sebagai dewa utama yang tak terjangkau.
Ia tak punya rencana yang pasti, tetapi Randa tahu ia harus memulai dari sesuatu, sekecil apa pun. Dalam benaknya terlintas bayangan Kiara, teman kecil yang masih memiliki mimpi dan harapan untuk kota ini. Sejenak ia teringat percakapan mereka di depan tubuh Sampara, tentang apakah mereka akan terus menjadi penonton.
Tanpa berpikir panjang, Randa berjalan ke sebuah lorong sempit, menuju rumah kontrakan Kiara yang terletak di ujung gang. Ia mengetuk pintu kayu tua yang sudah mulai lapuk. Tak lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan Kiara dengan wajah terkejut.
“Randa?” tanya Kiara, sedikit kebingungan. “Pagi-pagi begini? Ada apa?”
Randa menarik napas dalam. “Aku ingin bicara. Tentang… apa yang kita bicarakan kemarin. Tentang Sampara, dan tentang kita.”
Kiara tampak ragu, tapi ia kemudian mempersilakan Randa masuk. Di dalam, mereka duduk di lantai, di atas tikar tipis yang sudah agak lusuh. Kiara menatap Randa dengan penuh perhatian, menunggu kata-katanya.
“Aku tidak bisa terus hidup begini, Kiara,” kata Randa akhirnya, dengan suara yang tegas meski sedikit bergetar. “Aku tidak bisa hanya jadi penonton sementara orang-orang seperti Sampara berjuang sendiri. Aku ingin melakukan sesuatu. Mungkin ini terdengar gila, tapi aku ingin melawan Tumaya.”
Kiara menghela napas panjang. “Randa… kamu tahu apa artinya itu, bukan? Tumaya tidak akan membiarkan siapa pun mengusik kekuasaannya.”
“Aku tahu,” balas Randa cepat. “Tapi kalau kita terus diam, semua ini akan terus berlanjut. Aku tidak bisa hidup di bawah bayang-bayangnya selamanya. Kota ini butuh perubahan, dan kalau tidak ada yang memulainya, mungkin kita sendiri yang harus mulai.”
Kiara menatap Randa dengan sorot mata yang tak bisa ditebak. Setelah beberapa saat, ia tersenyum tipis. “Jadi, apa yang kamu rencanakan? Kita ini cuma dua orang, Randa. Tumaya punya pasukan preman yang siap membunuh siapa saja yang melawan.”
Randa berpikir sejenak, mencoba menyusun ide-ide yang sebelumnya hanya berupa kepingan kecil di benaknya. “Aku tidak tahu pasti, tapi kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Kita kumpulkan orang-orang yang merasa seperti kita. Mungkin mereka takut untuk melawan sendiri, tapi kalau mereka tahu ada orang lain yang juga ingin perubahan… mungkin mereka akan berani.”
Kiara mengangguk perlahan, memahami maksud Randa. “Tapi bagaimana caranya? Banyak orang yang bahkan takut menyebut nama Tumaya di depan umum.”
Randa tersenyum samar. “Kita mulai dengan bisikan. Kita sebarkan pesan bahwa ada yang berani melawan. Kita mulai dengan kabar-kabar kecil, yang cukup membuat orang bertanya-tanya. Semakin banyak orang tahu, semakin banyak yang akan mulai percaya bahwa kita bisa membuat perubahan.”
Kiara menatap Randa dengan tatapan kagum yang bercampur waspada. “Ini berbahaya, Randa. Kau tahu risiko yang akan kita hadapi.”
“Aku tahu, Kiara. Tapi aku tidak bisa mundur lagi,” jawab Randa tegas. “Kematian Sampara menyadarkan aku bahwa ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar hidup nyaman dalam ketakutan. Kalau kita tidak mencoba sekarang, kapan lagi?”
Kiara akhirnya mengangguk, meski ada ketegangan yang jelas di wajahnya. “Baiklah. Kalau memang ini keputusanmu, aku akan mendukungmu. Kita akan mulai dari sini, dari langkah kecil. Tapi berjanjilah, Randa—jangan gegabah. Kita harus cerdas dan berhati-hati.”
Randa mengangguk, merasa bersyukur bahwa Kiara berada di sisinya. Meskipun langkah pertama ini tampak kecil dan tak berarti, baginya ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Sebuah perubahan yang dimulai dari keberanian untuk tidak lagi menjadi penonton dalam kehidupan yang diatur oleh ketakutan.
Mereka pun berdiskusi lebih lanjut, merencanakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Randa akan mencari orang-orang yang ia kenal—orang-orang yang hidupnya telah dihancurkan oleh kebijakan Tumaya. Kiara, dengan kecerdasannya, akan mencari cara untuk menyebarkan pesan-pesan mereka tanpa menarik perhatian langsung dari para preman Tumaya.
Pagi itu, mereka berdua memulai perjalanan kecil mereka, dengan harapan bahwa langkah-langkah mereka, sekecil apa pun, akan membawa perubahan. Meski ancaman dan bahaya mengintai di setiap sudut kota, Randa kini merasa bahwa hidupnya memiliki tujuan. Bersama Kiara, ia merasa tak lagi sendirian dalam perjuangan ini.
Dan di dalam hatinya, Randa tahu, Sampara tidak mati sia-sia.
***
Waktu berlalu. Dalam beberapa minggu, Randa dan Kiara dengan cermat menyebarkan pesan-pesan kecil melalui cara yang nyaris tak terdeteksi. Mereka berbicara pada orang-orang yang paling dipercaya, hanya dalam bisikan singkat di sudut-sudut gelap, di bawah bayang-bayang kota yang dipenuhi ketakutan. Perlahan, mereka membentuk jaringan bisik yang menyebarkan semangat perlawanan.
Kabar tentang “kelompok pembebasan” mulai terdengar di setiap sudut kota, menjadi rumor yang tersebar dari mulut ke mulut. Tak ada yang tahu siapa yang memulai, tetapi semua orang mulai berani membicarakan perlawanan dalam bentuk sindiran atau lelucon yang terselubung. Mereka bicara tentang “hari baru” yang akan tiba, tentang bagaimana Tumaya hanyalah manusia biasa, bukan dewa yang tak tersentuh.
Randa dan Kiara tahu bahwa upaya ini masih jauh dari keberhasilan, tetapi mereka melihat perubahan kecil dalam diri orang-orang di sekitar mereka. Tatapan penuh ketakutan mulai memudar, tergantikan oleh semacam rasa ingin tahu yang baru—sebuah percikan keberanian yang sebelumnya nyaris padam.
Namun, ketika api mulai menyala, bahaya pun semakin nyata.
Suatu malam, Randa sedang bersembunyi di gang sempit, menunggu Kiara. Mereka berjanji akan bertemu untuk bertukar informasi tentang beberapa warga yang tertarik bergabung dalam kelompok. Namun, Kiara tak kunjung tiba. Kegelisahan perlahan menyelusup dalam hati Randa.
Ia menunggu lebih lama, dan ketika Kiara tetap tak muncul, ia memutuskan untuk pergi ke rumah kontrakannya. Jantungnya berdebar-debar, rasa cemas menguasai pikirannya. Sesampainya di sana, Randa mengetuk pintu pelan, berharap Kiara akan muncul dan membantah segala ketakutannya.
Namun, yang ia dapati hanyalah sunyi.
Randa mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka, dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Di dalam, keadaan rumah tampak kacau—kursi terbalik, barang-barang berserakan di lantai. Tidak ada tanda-tanda Kiara.
Panik, Randa berlari keluar, mencari siapa saja yang mungkin tahu apa yang terjadi. Dia menyusuri lorong-lorong kota yang semakin terasa dingin dan menyesakkan. Akhirnya, di salah satu sudut kota, ia melihat seorang pria yang biasa ia temui saat melakukan pengiriman barang.
“Ada yang melihat Kiara?” tanyanya, suaranya terdengar putus asa.
Pria itu menatap Randa dengan wajah penuh rasa takut dan bergumam pelan, “Mereka… mereka membawanya, Randa. Orang-orang Tumaya menangkap Kiara.”
Randa merasa dunia di sekitarnya runtuh seketika. Dadanya berdebar kencang, amarah dan kesedihan memenuhi dirinya. Ia tahu ini adalah risiko yang mereka hadapi, tetapi tak pernah terbayang Kiara, orang yang begitu berani dan berhati-hati, bisa tertangkap.
Tapi di tengah rasa putus asanya, ia mengingat tatapan terakhir Kiara padanya. Tatapan penuh tekad yang sama seperti tatapan Sampara di detik-detik terakhirnya. Kiara telah memilih jalan ini dengan penuh kesadaran, seperti Sampara, seperti dirinya sendiri. Mereka tahu bahwa perlawanan ini bukanlah tanpa resiko, tetapi mereka percaya bahwa hidup di bawah ketakutan adalah kematian yang sesungguhnya.
Randa menarik napas dalam, menguatkan dirinya. Meskipun perasaan kehilangan dan takut menghantui, ia tahu ia tidak bisa berhenti di sini. Kiara telah berkorban untuk perubahan ini, dan jika ia mundur sekarang, semua akan sia-sia.
Dengan keberanian yang semakin menggelegak, Randa kembali ke jaringan bisik-bisik yang telah mereka bangun. Kini, ia tak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang. Ia mulai berbicara lebih lantang, mengajak orang-orang secara terang-terangan untuk melawan Tumaya. Ia menyebarkan pesan bahwa Tumaya tidak bisa menghentikan semuanya hanya dengan menangkap Kiara atau membunuh Sampara.
Berita tentang penangkapan Kiara menyebar cepat, dan bukannya meredam perlawanan, hal itu justru membakar semangat orang-orang yang selama ini bungkam. Mereka melihat Kiara dan Sampara sebagai simbol keberanian yang tak bisa dipadamkan. Keberanian mereka seperti api yang membakar dalam kegelapan, menunjukkan bahwa masih ada harapan di tengah tirani yang menindas.
Kota yang dulunya tenggelam dalam ketakutan kini mulai berubah. Setiap orang yang mendengar cerita tentang Sampara, tentang Kiara, dan kini tentang Randa, merasakan keberanian yang sama tumbuh dalam hati mereka. Perlahan namun pasti, mereka berani mengungkapkan ketidakpuasan mereka, berani mengangkat suara untuk menuntut keadilan yang selama ini dirampas.
Di tengah kegelapan malam, dengan hati yang penuh semangat, Randa berdiri di jalan utama kota, tempat di mana Sampara dulu disalib. Ia menatap bintang-bintang di langit yang tampak jauh, tetapi kali ini terasa lebih dekat. Ia tahu, ini baru permulaan. Perjalanan mereka masih panjang, penuh duri dan rintangan.
Namun, Randa juga tahu bahwa api ini tak akan padam. Seperti tatapan terakhir Sampara dan Kiara, ia akan terus menyala, membakar dalam hati setiap orang yang pernah mendambakan kebebasan.
Dan dengan langkah mantap, Randa menatap ke depan, siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Bukan lagi sebagai penonton, melainkan sebagai bagian dari cerita besar yang akan mengubah kota ini selamanya.
****
Editor: Moch Aldy MA