Sebagai pelajar SMA, saya merasa bahwa kebanyakan teman-teman saya pelajar SMA/sederajat saat ini sedikit sekali bahkan tidak punya pengetahuan tentang hak asası manusia (HAM). Ini membuat saya resah dan curiga dengan model pendidikan di era sekarang.
Mungkin, salah satu yang melatar belakangi kecurigaan saya adalah kenyataan bahwa seseorang yang berstatus terduga pelaku pelanggar HAM berat atas penculikan aktivis reformasi, dan yang selalu absen ketika mendapatkan panggilan dari Komnas HAM, terpilih menjadi seorang presiden dalam pemilu tahun 2024. Selain itu, juga adanya pembiaran beberapa orang yang sudah jelas penjahat HAM bisa masuk dalam jajaran pemerintahan negara.
Kecurigaan saya adalah, apakah pendidikan sampai saat ini masih dijadikan alat oleh para elit untuk melanggengkan kekuasaan rejim penguasa seperti yang terjadi pada masa Orde Baru (ORBA)?
Pengetahuan HAM dan Panjangnya Masa Kekuasaan
Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling fundamental dalam membentuk dan menyusun karakteristik masyarakat. Pendidikan merupakan sebuah institusi yang berfungsi untuk mengkonstruksi pikiran suatu masyarakat. Karakteristik suatu masyarakat juga merupakan hasil dari gaya berpikir masyarakat tersebut. Maka jika ingin merubah karakteristik suatu bangsa, hal pertama yang harus dilakukan adalah mendekontruksi dan merekonstruksi pikiran masyarakat melalui pendidikan.
Lewat pendidikan inilah penguasa, rejim atau pemerintah berusaha mengontrol masyarakat sehingga mereka tidak kiritis dan mempertanyakan kekuasaan mereka. Salah satu hal yang pertama yang lakukan oleh pengusasa adalah menghilangkan atau meminimalisir pendidikan mengenai HAM di sekolah.
Dalam buku berjudul “Hukum Hak Asasi Manusia” yang ditulis oleh Rhona K.M. Smith dkk, dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Sayangnya masih sangat banyak orang, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang tidak paham bahkan mengetahui adaya hak-hak dasar ini. Mereka tidak sadar bahwa mereka punya hak hidup yang layak dan mendapat perlindungan dari negara. Mereka juga punya hak penuh untuk mengemukakan ide, berpendapat dan mengkritisi pemerintah mereka. Mereka juga berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan hidup layak sebagai manusia. Jika mereka tidak puas dengan satu kebijakan publik, mereka juga berhak untuk turun ke jalan dan berdemonstrasi mempertanyakan dan memprotes kebijakan itu dan memprotes penguasa yang mengeluarkan kebijakan itu.
Jika pendidikan tentang HAM sangat dibatasi bahkan ditiadakan oleh pemerintah maka generasi muda tidak mempunyai pengetahuan tentang hak dåsar mereka. Mereka tidak akan tahu akan hak-hak seperti disebut di atas. Mereka akan mandah saja ketika hak mereka dilanggar dan diinjak-injak oleh penguasa, seperti yang terjadi pada masa rejim ORBA.
Ketika masa ORBA, pendidikan diperalat untuk melanggengkan kekuasaan rejim Soeharto dan sistem despot kapitalisnya. Pendidikan begitu diperalat hingga mengakibatkan minimnya ruang oposisi dalam pendidikan dan banyaknya orang-orang yang melegitimasi keputusan-keputusan yang sesungguhnya melanggar HAM. Runtuhnya Orde Baru pada 1998, bersamaan dengan lengsernya rejim Soeharto, membuat sistem-sistem yang dibuat oleh rejim ini hancur, walaupun tidak sepenuhnya.
Apakah rejim yang akan berkuasa setelah ini memiliki ambisi seperti Soeharto akan berusaha untuk membangun ulang apa yang telah dirancang oleh penguasa ORBA tersebut? Jika iya, maka salah satunya adalah membangun ulang kontrol di bidang pendidikan.
Dibungkamnya HAM dalam kurikulum
Dalam dunia pendidikan, khususnya tingkat SMA/Sederajat, kata HAM mungkin masih asing di telinga para pelajar. Jika katanya saja masih asing, terlebih lagi kesadaran tentang hak-hak dasar tersebut. Bnayak dari kita mungkin akan mewajarkan jika HAM masih asing ditelinga mereka. Saya merasa kurikulum pendidikan saat ini tidak pernah benar-benar serius mengajarkan apa yang dimaksud dengan HAM, yang menjadikan para siswa rata-rata tidak tahu-menahu tentang apa yang dimaksudkan dengan HAM yang sesungguhnya. Rata-rata dari mereka hanya tahu bahwa HAM hanyalah sebatas hak asasi manusia, apakah hak tersebut boleh diambil ataupun diberikan dan apakah hak asasi manusia boleh diusik atau tidak, mereka tidak tahu-menahu tentang itu. Saya sendiri, mengetahui tentang HAM yang sesungguhnya melalui suatu aksi yang dinamakan sebagai aksi kamisan dan seminar HAM yang diadakan oleh UKM Advokasi IAIN Kediri.
Sejak masa ORBA pendidikan mengenai HAM masih minim diimplementasikan. Tujuannya adalah mencegah adanya pemikiran murni para siswa yang kritis, supaya para siswa atau institusi pendidikan juga melegitimasi keputusan-keputusan atau program pemerintah.
Dengan minimnya pendidikan mengenai HAM, pikiran para siswa digiring oleh pemerintah ke dalam sesuatu yang sifatnya kapitalistis. Contohnya, indoktrinasi kesuksesan yang memiliki kecenderungan dengan hal-hal yang bersifat materialistik (yaitu uang, yang sangat identik dengan kapitalisme). Hal tersebut mengakibatkan kurangnya rasa empati dan simpati kepada kelompok mayoritas (orang-orang yang tertindas). Dalam sistem kapitalis, secara sadar ataupun tidak, orang-orang memiliki kecenderungan untuk berdiri diatas penderitaan orang lain sehingga hak seseorang untuk tidak menderita dihalangi oleh kesejahteraan yang mayoritas berada pada kaum kapitalis.
Keberhasilan pemerintah dan kebangkitan Neo-ORBA
Dilansir dari Komnas HAM, kasus pelanggaran HAM terbanyak yang terjadi hingga tahun 2022 adalah hak atas kesejahteraan, yaitu sekitar 993. Dengan kata lain, pemerintah tidak saja tidak memberikan pendidikan mengenai HAM di sekolah secara utuh, pemerintah juga menanamkan bibit-bibit pelanggar HAM di generasi saat ini.
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa keberhasilan skema pemerintah untuk membuat masyarakat (yang pastinya pernah menjadi siswa) mengacuhkan HAM, dan seolah tampak selalu melegitimasi sistem-sistem yang diimplementasikan oleh pemerintah. Pemerintah juga berhasil dalam mengikis simpati dan empati para siswa.
Pergerakan skema pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah yang masih sama dengan era kepemimpinan Soeharto ini, tentu saja membuktikan bahwa Orde Baru masih berlanjut hingga saat ini. Atau mungkin memang benar Orde Baru telah runtuh, tetapi puing-puing reruntuhannya dipungut dan dibangun kembali oleh pemerintah saat ini, yang memunculkan apa yang disebut banyak orang sebagai neo-ORBA.