“Selama beberapa dekade, terutama saat cuaca dingin, ayah saya menderita semacam rasa sakit yang tidak kelihatan. Seluruh keluarga harus hidup dengan trauma karena ayah, pencari nafkah kami, nyaris terbunuh dalam sekejap. Sebuah trauma yang bayang-bayangnya masih kami rasakan.” (hlm 29)
Begitu mendiang Refaat Alareer menceritakan dampak psikologis yang ia dan keluarganya alami setelah mendapati sang ayah yang nyaris terbunuh di suatu malam tahun 1985. Saat itu, sang ayah bersama salah seorang rekannya sedang dalam perjalanan pulang setelah seharian bekerja. Nahasnya sewaktu keduanya melintas di persimpangan Nahal Oz dari Israel ke Palestina, mobil yang mereka kendarai tiba-tiba ditembaki dengan membabi buta. Tidak jelas siapa aktor dan apa motif di balik penembakan itu, mengingat hingga kisah ini dibagikan oleh mendiang Refaat dalam tulisannya “Gaza Asks: When Shall it Pass?“, belum pernah ada investigasi serius terhadap peristiwa yang terjadi malam itu. Ketiadaan tersebut seolah membangun kesan bahwa kejadian yang menimpa sang ayah bersama rekannya sudah seharusnya mereka alami.
Cerita di atas hanya sebagian kecil dari keseluruhan cerita pilu yang termuat dalam buku Light in Gaza: Writings Born of Fire (2022). Cerita tersebut menjadikan latar suasana yang terbangun dari buku ini cenderung kelam. Ada perasaan ngeri, sedih, serta marah yang campur aduk menjadi satu setiap kali saya membolak-balik halaman buku untuk menyimak pengalaman yang secara keseluruhan terurai dalam bentuk puisi dan prosa. Apalagi pengalaman tersebut ditulis dari sudut pandang penulis yang merasakan hidup di Gaza sebagai rakyat Palestina.
Bukan Perang, melainkan Penjajahan
Gaza sering dijuluki sebagai penjara terbuka di dunia menyusul diberlakukannya blokade atas air, darat, dan udara yang diberlakukan Israel. Blokade tersebut ibarat dinding yang menghalangi berbagai hal, tidak terkecuali, arus informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Akibatnya warga dunia yang ingin terhubung dengan Gaza hanya bisa mengakses informasi tentang Gaza lewat pemberitaan oleh berbagai media informasi yang ada dan hanya terbatas pada saat-saat tertentu ketika konflik telah bereskalasi menjadi perang terbuka.
Baca juga:
Problem yang lebih etis terjadi karena sebagian besar pemberitaan tersebut nyaris tak pernah bertolak dari sudut pandang rakyat Palestina. Dampaknya pemberitaan yang ada cenderung bias dan malah menguntungkan Israel selaku pihak yang mempropagandakan fenomena yang terjadi di Gaza semata adalah perang antara faksi politik Hamas melawan negara Israel.
Inilah pemaknaan saya atas apa yang disebut Jehad Abussalim dalam pengantarnya pada buku ini sebagai blokade intelektual. Blokade ini menempatkan pandangan serta pengalaman orang-orang Palestina sebagai pihak yang tertindas tak lagi relevan digunakan untuk membahas hal ihwal yang menyangkut kehidupan mereka. Karena itu Jehad Abussalim menegaskan bahwa penerbitan buku ini sebenarnya dimaksudkan untuk menantang blokade tersebut dengan mengeksplorasi sebanyak mungkin pengalaman serta pandangan rakyat Palestina.
Pengalaman dan pandangan rakyat Palestina inilah yang menjadi kekuatan utama dari buku ini. Selain membantu setiap orang untuk terhubung dengan Gaza, pengalaman serta pandangan dari tersebut juga semakin mempertegas konteks akar masalah sesungguhnya, bahwa apa yang terjadi di Gaza adalah politik apartheid dan dehumanisasi. Semua itu terangkum dalam sejarah kolonialisme Israel atas bangsa Palestina.
Bayangkan Anda bersama sanak saudara tinggal di sebuah hunian yang sangat nyaman. Lalu suatu hari datang pemberitahuan bahwa Anda dan keluarga musti berbagi hunian dengan sekelompok pendatang dari jauh. Anda berusaha menentang keputusan tersebut. Namun semakin Anda menentangnya, yang Anda dapati justru pengusiran dan penghinaan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Demikian analogi sederhana yang menurut saya dapat menggambarkan sejarah pendirian negara Israel yang diikuti pengusiran besar-besaran rakyat Palestina dari tanah kelahirannya. Dalam memori kolektif rakyat Palestina, peristiwa tersebut dikenang sebagai Nakba (baca: malapetaka). Terkait peristiwa ini, buku ini menawarkan beberapa pengalaman dan perspektif yang penting untuk dilewatkan, salah satunya dari seorang Yousef M. Aljamal. Dalam tulisannya yang berjudul “Travel Restrictions as a Manifestation of Nakba: Gaza, the Path Backward Is the Path Forward“. Yousef menceritakan bagaimana peristiwa Nakba yang meninggalkan dampak yang sangat destruktif bagi kehidupan rakyat Palestina dengan menjadikan mereka sebagai pengungsi tanpa hak untuk kembali. Namun demikian, peristiwa yang pertama kali terjadi pada tahun 1948 itu hanya awal dari rangkaian Nakba yang terus membayangi kehidupan rakyat Palestina hingga tahun-tahun berikutnya di bawah rezim pendudukan Israel.
“Saat Nakba menimpa bangsa Palestina pada tahun 1948, hal tersebut meninggalkan luka yang sangat besar, baik secara fisik maupun mental, luka yang belum dapat disembuhkan oleh waktu. Tatanan sosial komunitas Palestina hancur, dan keluarga-keluarga menderita guncangan yang mengubah hidup mereka. Selain eksodus massal, rakyat Palestina juga mengalami kehilangan anggota keluarga, cedera dan pemenjaraan, serta terpencarnya rakyat Palestina ke Jalur Gaza, Tepi Barat, hingga negara-negara Arab tetangga dan sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai Shatat, atau “diaspora”. Nakba hanya awal dari proses fragmentasi yang rumit dan masih berlangsung yang menentukan interaksi sosial, politik, budaya, dan ekonomi rakyat Palestina selama tiga perempat abad terakhir”. (hlm 241)
Tulisan Yousef seolah mengingatkan satu-satunya kecenderungan paling mencolok dari corak penjajahan Israel yang dalam banyak literatur lain disebut kolonialisme pemukim (settler colonialism). Berbeda dari corak kolonialisme pada umumnya yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam suatu bangsa. Corak kolonialisme pemukim lebih bertujuan untuk mengganti komunitas masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu dengan masyarakat penjajah.
Dalam konteks kolonialisme Israel di Palestina, kecenderungan corak kolonialisme tersebut termanifestasikan sepenuhnya lewat peristiwa Nakba yang pertama terjadi pada tahun 1948 dan terus berlangsung hingga hari ini . Selalu ada pola penyingkiran yang diikuti pembangunan pemukiman untuk komunitas masyarakat penjajah yang dilakukan oleh rezim pendudukan Israel di Gaza setiap waktunya. Dan hal tersebut semakin intensif saat ketegangan telah meletus menjadi perang terbuka.
Baca juga:
Imajinasi sebagai Penawar Kebuntuan
Selain menawarkan pengalaman autentik rakyat Palestina, kelebihan utama buku ini ada pada pokok bahasannya yang melampaui realitas dan sekat-sekat pembabakan waktu. Ada masa lalu, masa kini, hingga masa depan yang sebenarnya coba ditawarkan oleh para penulis dalam buku ini. Sulit membayangkan bagaimana para penulis mesti berhadapan dengan luka dan trauma yang mereka alami. Hanya harapan akan masa depan tanah air tercinta yang tampaknya membuat mereka bertahan dan menulis kisahnya pada buku ini.
Kecenderungan tersebut, misalnya, dapat diamati dari tulisan berjudul “Gaza 2050: Three Scenarios” karya Basman Aldirawi. Lewat tulisan ini Basman mengimajinasikan tiga skenario penyelesaian terkait situasi di Gaza. Dari skenario paling buruk berupa pembiaran tanpa solusi, solusi dua negara, hingga solusi satu negara. Basman, ia sendiri lebih menyandarkan harapannya pada skenario solusi satu negara. Dalam bayangannya, ia mengimajinasikan Palestina di tahun 2050 yang telah berdiri menjadi sebuah negara demokratis berbasis kesetaraan hak, di mana negara tersebut dapat memayungi hak seluruh entitas dalam masyarakat terlepas identitasnya sebagai umat Yahudi, Kristiani, dan Islam. Untuk mencapainya dibutuhkan pengenalan yang komprehensif terhadap akar masalah yang kemudian diturunkan menjadi upaya penyelesaian yang konkret.
“Masalahnya adalah Israel, yang pemerintahnya mengklaim mendukung solusi dua negara, namun terus meningkatkan pemukiman, pembatasan, dan blokade. Setelah hampir tiga perempat abad pendudukan, Israel tidak melakukan apa pun untuk memecahkan masalah ini, namun justru memperdalam pendudukan dan konsekuensinya. Yang dibutuhkan oleh rakyat Palestina adalah setiap orang memikul tanggung jawab mereka. Komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia harus memberikan tekanan nyata, berhenti mengkritik perlawanan Palestina, dan mendukung hak pertahanan terhadap penggunaan kekuatan Israel yang ofensif dan destruktif. Berhenti memandang secara setara antara rezim penjajah dan masyarakat yang terjajah. Berikan tekanan pada Israel untuk memikul tanggung jawabnya dan menyelesaikan Nakba Palestina yang diciptakannya.” (hlm 276)
Baca juga:
Menurut hemat saya, tulisan ini pada dasarnya bermaksud untuk mengajak pembaca untuk berimajinasi tentang masa depan Gaza. Sesuatu yang sangat relevan ditawarkan guna mengatasi kebuntuan akibat blokade intelektual Israel yang membatasi cara pandang dunia dalam menguraikan persoalan yang tengah terjadi di Gaza.
Bagaimanapun, kebuntuan ini mendesak untuk segera diakhiri, mengingat dampaknya yang semakin memperpanjang daftar kesewenang-wenangan Israel, yang berarti juga “penderitaan” bagi rakyat Gaza dan umumnya Palestina. Tulisan Basman menjadi salah satu tulisan yang mencoba mewarnai diskursus terkait upaya penghentian tersebut. Pandangannya menuntut realisasi dari masyarakat bebas di seluruh dunia, khususnya yang mengamini ide-ide tentang kebebasan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Untuk ukuran negara dengan keterbatasan literatur yang membahas tentang Gaza dari sudut pandang rakyat Palestina, buku Light in Gaza: Writings Born of Fire (2022) nyaris sempurna tanpa kekurangan berarti. Terlebih karena pembahasan tersebut ditulis dengan bahasa yang sederhana dengan gaya yang bercerita. Hal itu memudahkan pembaca, bahkan dari kalangan awam sekali pun, untuk memahami pesan utama yang terselip dalam buku. Pesan yang saya pikir akan selalu relevan selama kolonialisme Israel masih menapakkan kakinya di tanah Palestina.
Editor: Prihandini N