Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam pidatonya di kongres nasional Partai Nasdem bahwa oposisi bukan budaya Indonesia dapat diartikan bahwa ia akan menghilangkan oposisi selama masa pemerintahannya. Ini merupakan tanda buramnya demokrasi kita lima tahun mendatang.
Salah satu jalan yang akan ditempuh sebagaimana telah juga dilakukan dengan sukses oleh pendahulunya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo, adalah merangkul semua partai untuk masuk kollisi dengan dalih ‘gotong royong’ membangun negara. Hal ini patut dipertanyakan karena koalisi gemuk partai politik hanya akan membawa dalam jebakan pragmatisme dan membawa Indonesia dengan pemerintahan tanpa kontrol dan pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kekhawatiran akan lemahnya oposisi menjadikan penilaian terhadap pemerintah bias dan kekuasaan rentan disalahgunakan. Sistem saling kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar kekuasaan akan rusak tanpa cukup kuatnya oposisi partai politik di DPR yang hanya akan menjadi stempel pemerintah dalam merumuskan dan mensahkan kebijakan dan undang-undang yang akan dibuat mengikuti bandul kepentingan temporal.
Lalu kemudian mengapa dalam satu dekade di bawah Jokowi oposisi cenderung melemah bahkan hampir tidak ada? Bagaimana masa depan pemerintahan tanpa adanya oposisi?
Pragmatisme Partai Politik
Andreas Ufen memotret problem tercerabutnya jati diri Partai politik di Indonesia adalah karena watak pragmatisme. Mereka terlalu fokus pada citra pimpinan Partai Politik yang seolah-olah bersih dari korupsi dan aib pelanggaran hukum. Parpol luput mengkaji dan memperhatikan isu-isu pada kebijakan mendasar, seperti isu lingkungan, ekonomi maupun kompleksnya kebijakan pajak.
Partai politik menjadi platform yang dipersonalisasi dan instan sebagai kendaraan yang siap pakai. Sebut saja ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono dalam membangun partai Demokrat, Prabowo dengan partai Gerindra-nya, dan Kaesang Pangarep sang pembajak PSI. Bukan hanya itu, fenomena pragmatisme muncul saat presiden terpilih enggan menghendaki adanya oposisi di dalam tubuh pemerintahannya. Tukar guling dan iming-iming jabatan kursi menteri, komisaris perusahaan plat merah maupun dengan cara mengawinkan dua klan politik dengan wasilah kepentingan sesaat agar jadi pemenang dalam pemilu.
Bahkan, untuk melancarkan pemerintahan yang tanpa keseimbangan dalam pengawasannya, dilakukan juga pembajakan partai politik melalui legitimasi pengesahan SK parpol oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Partai digoyang dari luar dengan menciptakan ‘musuh dalam selimut’ berkedok calon ketua umum parpol baru untuk menggantikan pimpinan parpol sebelumnya. Tidak lain adalah agar parpol mudah didikte dan merapat pada lingkungan kekuasaan.
Perilaku patron-client ini cenderung menjauh dari ideologi dan independensi partai politik yang otonom. Hubungannya lebih mirip kartel, permisif membentuk koalisi, tercerabut ideologi dari jati dirinya, hasil pemilu yang nihil dan tidak berpengaruh apapun, dan bergerombol membentuk koalisi, begitu kira-kira Kuskridho Ambardi menggambarkan ciri-ciri kartel politik. Perilaku politik instan membentuk kartel ini dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan. Partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi masyarakat dan jadi representatif parlemen dalam membuat hukum sebagai transformasi sosial untuk membangun tatanan masyarakat kearah yang lebih baik, justru diacak-acak hanya untuk menggelar karpet merah golongan tertentu.
Masa Depan Demokrasi Tanpa Oposisi
Kapitalisasi kekuatan melalui lembaga negara dan instrumen hukum dilakukan rezim penguasa secara telanjang. Penguasa dengan wajah polosnya menikmati produk hukum yang problematik. Pangkal otoritarianisme menjadi perilaku politik otoriter yang banal menjadi lumrah dan diterima sebagai kewajaran, tanpa ada perasaan malu dan jijik secara moral (moral revulsion) (Sukidi; Kompas/2024).
Preseden ini akan menjadi contoh buruk pemerintahan selanjutnya, terlebih trah politik Jokowi telah ditelurkan pada putra sulungnya yang akan mendampingi Prabowo sebagai wakil Presiden. Pemerintahan tanpa oposisi tidak mustahil bisa terjadi, terlebih wacananya telah digaungkan jauh-jauh hari. Ini akan menjadi paradoks terbesar negara demokrasi.
Oposisi dimaknai sebagai kekuatan politik penyeimbang di luar pemerintahan yang fungsinya untuk mengawasi kebijakan pemerintah yang berkuasa (Agus Sjafari/2024). Dalam iklim negara demokrasi, perdebatan di ruang publik secara dialektis merupakan budaya yang seharusnya dibangun dan dijaga. Perbedaan pendapat, saling mengoreksi dan mengkritisi merupakan hak dasar yang dijamin konstitusi. Inilah yang akan membuat ruang publik hidup dan tentu meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam diskursus bernegara alih-alih memberangus oposisi yang pada akhirnya mendorong kooptasi dan indoktrinasi masyarakat.
Jika melihat sejarah politik Indonesia, kita tidak terlalu terbiasa dengan keberadaan oposisi. Gagap dalam menangani oposisi, penguasa inkompeten dalam menangani oposisi yang berseberangan pandangan. Gagap yang dimaksud adalah penguasa mulai dari orde lama, orde baru hingga rezim orde reformasi sekalipun belum berhasil mengelola dan memberikan peranan bagi kelompok oposisi. Sebaliknya, penguasa membredelinya dengan mengintervensi bahkan membubarkan kelompoknya.
Rezim Jokowi sekalipun yang terkesan demokratis dan halus, legitimasi atas demokrasi ini justru malah dibuat untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang beroposisi bagi pemerintahannya. Lembaga penegak hukum dijinakkan, kedudukannya diubah, kewenangannya dipreteli, simpatisannya disuruh duduk dalam kursi-kursi strategis lembaga penegak hukum, sehingga ia dapat digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mengamankan posisinya dan menumpas kalangan oposisi kapanpun yang ia mau.
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah contoh nyata lembaga yang saat ini jadi alat penguasa. Khittah peran dan fungsinya berbalik menjadi lembaga yang permisif saat akan menindak para koruptor. Ia menjadi tebang pilih, jika yang berperilaku koruptif adalah anak presiden, ia buru-buru mencari alasan, “Ia bukan pejabat negara” katanya. Padahal jelas ia berkolusi dan menikmati enaknya kemewahan jet pribadi atas dugaan gratifikasi dari koneksi dan ketenaran sang “Bapak”. Saya bergidik dan prihatin melihat semua kekacauan ini, masa depan demokrasi tanpa oposisi adalah mimpi buruk bagi kita, masyarakat.
Pemerintah tanpa oposisi hanya akan melahirkan rezim status quo yang menganggap dirinya selalu benar, anti kritik dan hipokrit. Ini hanya akan memupuk ‘parasit’ dalam tubuh negara hukum dan demokrasi. KKN semakin menggurita, penyalahgunaan wewenang dimana-mana, pelumrahan pada hal-hal menyimpang yang dilegitimasi hukum dan makin ‘mengeraknya’ watak otoriter.
Pada akhirnya kita membutuhkan oposisi sebagai pengawas pemerintah, sebagai kelompok yang mengoreksi setiap penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Pun, jika pada akhirnya pemerintah tanpa oposisi ini terjadi, kita sebagai rakyat memerlukan wacana tandingan dan oposisi alternatif atas hegemoni yang dilakukan, melalui pencerdasan ruang publik dengan terus menyuarakan kebenaran. Setidak-tidaknya inilah yang bisa kita lakukan, sebagai warga yang mencintai negaranya.