Tahun lalu, di sela-sela KTT G20 di Bali, negara-negara maju dan Indonesia meluncurkan skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam skema pendanaan ini, Indonesia akan mendapatkan kucuran dana sebesar US$ 20 miliar atau setara dengan Rp311 triliun. Dana itu akan digunakan untuk program transisi energi di Indonesia.
Untuk mendapatkan dana itu, Indonesia perlu menyusun program transisi energi yang akan dibiayai. Dalam konteks inilah diperlukan sebuah sekretariat yang akan melakukan koordinasi bagi program-program yang dibiayai JETP. Pada pertengahan Feburari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara resmi membentuk Sekretariat JETP. Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah apakah terbentuknya Sekretariat JETP akan mampu memperjelas tahapan agenda transisi energi di Indonesia?
Baca juga:
Skema JETP muncul untuk mendukung pembiayaan negara-negara berkembang melakukan transisi energi, dari energi fosil ke terbarukan. Upaya itu sebagai bagian mitigasi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Tentu perlu tahapan-tahapan yang jelas untuk mengimplementasikannya. Sekretariat JETP memiliki pekerjaan rumah memperjelas tahapan-tahapan transisi energi itu. Tahapan pertama dari transisi energi tentu saja adalah keterbukaan informasi.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam siaran pers saat peresmian Sekretariat JETP. Ia mengungkapkan bahwa Sekretariat JETP akan menjadi pusat informasi. Ironisnya, persoalan mendasar agenda transisi energi dalam skema JETP ini justru keterbukaan informasi.
Minim Keterbukaan, Rawan Dikorupsi
Keterbukaan informasi ini adalah pintu masuk bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan transisi energi. Tanpa ada keterbukaan informasi, tidak akan ada keterlibatan publik. Tanpa keterbukaan informasi, agenda transisi energi tidak hanya rawan korupsi, tetapi juga rentan dibajak para pemain lama di sektor energi fosil yang sekarang berada di lingkaran elite kekuasaan ekonomi-politik, baik di elite pemerintahan maupun oposisi.
Salah satu informasi publik yang hingga kini belum dibuka adalah terkait komposisi pembiayaan JETP. Seperti yang sering diungkapkan pemerintah, pendanaan JETP berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah. Namun, hingga kini belum pernah dibuka ke publik berapa persentase pembiayaan proyek yang akan didanai utang luar negeri. Sebagai pembayar pajak, publik perlu tahu berapa persen proyek JETP yang didanai utang luar negeri, meskipun itu berbunga rendah.
Persoalan keterbukaan informasi lainnya dalam JETP juga terkait seputar proyek yang didanainya. Kementerian ESDM sering mengungkapkan bahwa salah satu proyek JETP akan digunakan untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Namun, hingga kini belum dibuka informasi mengenai kajian tentang PLTU-PLTU yang akan dipensiunkan dan dampaknya bagi buruh yang bekerja di sektor tersebut.
Bukan hanya terkait dengan PLTU, JETP juga akan membiayai pengembangan energi terbarukan. Namun, hingga kini belum dibuka informasi tentang energi terbarukan yang seperti apa yang akan dikembangkan skema pembiayaan JETP. Informasi itu penting agar inisiatif-inisiatif energi terbarukan dari komunitas masyarakat juga bisa mendapatkan pendanaan melalui skema JETP ini. Sehingga pendanaan JETP ini tidak hanya jatuh ke korporasi-korporasi besar, apalagi korporasi itu sebelumnya ikut terlibat dalam proyek-proyek energi kotor berbasiskan fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara.
Ironisnya, tak lama setelah Sekretariat JETP diresmikan, muncul informasi dari Kementerian ESDM yang berencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP. Alih-alih mengembangkan energi terbarukan, rencana Kementerian ESDM itu justru membuat tahapan transisi energi jalan di tempat bahkan mundur.
Baca juga:
Kegelapan informasi lainnya terkait JETP adalah informasi terkait bagaimana publik bisa terlibat dalam berbagai pengambilan kebijakan pada agenda transisi energi itu. Keterlibatan publik sangat penting karena energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanpa ada keterlibatan publik, keadilan dalam transisi energi seperti yang digaungkan dalam JETP hanya akan menjadi komitmen palsu.
Pentingnya Keterlibatan Masyarakat
Masyarakat Indonesia, sebagai pembayar pajak, tentu tidak ingin uang yang sangat besar dalam skema JETP hanya akan jadi ajang pesta pora elite ekonomi-politik yang korup. Apalagi sebagian dari pembiayaan JETP berasal dari utang luar negeri yang akan dibayar masyarakat melalui uang pajaknya.
Publik, sebagai pembayar pajak, di negara-negara G7 tentu juga tidak akan rela bila uang pajaknya, yang diberikan dalam bentuk hibah dan utang di JETP, justru akan dijadikan ajang korupsi elite ekonomi-politik di Indoensia.
Untuk mencegah uang JETP jadi ajang pesta pora para elite korup, kegelapan informasi seputar JETP benar-benar harus disingkirkan. JETP harus dibuat terang benderang. Setelah transparan, publik perlu aktif terlibat di dalam pengambilan kebijakannya.
Keterbukaan informasi ini adalah pekerjaan rumah yang pertama dan utama Sekretariat JETP. Tanpa mampu menyelesaikan pekerjaan rumah terkait keterbukaan informasi, agenda transisi energi akan sulit diimplementasikan ke depannya. JETP hanya akan mengulang kebijakan-kebijakan energi di Indonesia yang tertutup dan menjadi ajang korupsi para elite ekonomi-politik. Jika itu terjadi, publik akan menjadi korban dalam pesta pora elite ekonomi dalam proyek JETP itu.
Editor: Prihandini N
One Reply to “JETP, Transisi Energi Tanpa Keterbukaan Informasi”