Banyak pendukung Prabowo Subianto yang melekatkan citra gemoy kepadanya. Bisa jadi citra gemoy itu sengaja dibangun pendukungnya untuk menghapus citra Prabowo Subianto yang sebelumnya terkesan garang. Terlebih bila sosok Prabowo Subianto dikaitkan dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada saat ia masih menjadi menantu dan pendukung setia Soeharto, penguasa rezim otoriter Orde Baru.
Baca juga:
Terlepas dari motif pendukungnya yang melekatkan citra gemoy, capres Prabowo Subianto telah memunculkan gagasan energi hijau. Gagasan energi hijau ini menjadi bagian dari respons desakan dunia internasional yang menghendaki transisi energi untuk menghambat laju emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Gagasan energi hijau ini tentu lebih baik daripada sekadar joget-joget di atas panggung yang tak bermakna. Namun, terkait dengan krisis iklim, benarkah gagasan energi hijau dari capres gemoy ini mampu mengurangi emisi GRK, penyebab krisis iklim?
Energi Hijau dalam Visi-Misi Prabowo
Gagasan energi hijau tertuang jelas pada dokumen visi dan misi capres Prabowo Subianto. Dalam debat calon wakil presiden, Gibran sempat mengungkapkan prioritas energi hijau tersebut. Energi hijau yang dimaksud oleh pasangan capres Prabowo Subianto adalah energi biofuel berbasiskan sawit.
Bila kita hanya melihat di permukaan, sekilas memang tidak ada masalah dengan gagasan energi hijau berbasiskan sawit ini. Namun, bila kita telisik lebih dalam lagi, gagasan energi hijau capres gemoy ini mengandung potensi bahaya, baik dari sisi lingkungan hidup maupun sosial.
Pengembangan energi terbarukan berbasiskan sawit ini berpotensi meningkatkan laju deforestasi di Indonesia. Riset dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengungkapkan bahwa di Indonesia, sekitar 16% hilangnya hutan secara langsung berkaitan dengan komoditas sawit.
Laporan Greenpeace pada 2013 menyebutkan bahwa kelapa sawit bertanggung jawab atas hilangnya 15% habitat harimau. Sebagian besar hutan yang ditebang untuk konsesi kelapa sawit di Sumatera dalam kurun 2009–2011 merupakan habitat harimau. Selama lebih dari dua tahun, sektor ini telah membuka hutan habitat harimau yang tersisa dalam konsesi mereka. Hampir tiga perempat habitat harimau yang dibuka tersebut berada dalam konsesi kelapa sawit di Riau.
Pada tahun 2019, Laporan Greenpeace dan lembaga ahli geospasial TheTreeMap menemukan bahwa pada akhir 2019 terdapat 3,12 juta hektare kelapa sawit ditanam di kawasan hutan. Hilangnya hutan akibat ekspansi sawit bukan hanya terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di Papua, laporan PUSAKA tahun 2023 mengungkapkan deforestasi akibat aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit cenderung meningkat. Sebelumnya pada 2021, kawasan hutan yang hilang seluas 1.552 hektare. Luas ini meningkat menjadi 2.639 hektare pada 2022.
Jika kemudian muncul program energi hijau berbasiskan sawit, hampir dapat dipastikan akan semakin berpotensi merusak hutan Indonesia. Jika itu terjadi, alih-alih melakukan mitigasi gas rumah kaca (GRK), pengembangan energi hijau berbasis sawit justru akan menyumbang kenaikan emisi GRK dan mengancam keselamatan masyarakat, sebab akan semakin rentan terjadi bencana ekologi.
Bukan hanya terkait dengan isu lingkungan hidup, ekspansi sawit yang ugal-ugalan juga telah menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat adat. Hasil riset Rights and Resources Initiative berjudul Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies (2013) mengungkapkan bahwa sedikitnya 56.102 hektare lahan adat di Kalimantan mengalami tumpang-tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit.
Ilusi Palsu
Tumpang tindih lahan sawit akan semakin meningkat bila program energi hijau berbasiskan sawit ini benar-benar dicanangkan. Terlebih hingga kini negara belum mengesahkan UU Masyarakat Adat sebagai payung hukum pengakuan hak-hak masyarkaat adat, termasuk hak atas lahan dan hutan adatnya.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan, pada tahun 2018, dari 144 konflik agraria yang terjadi di kawasan perkebunan, sebanyak 83 kasus atau 57,64% merupakan konflik dalam perkebunan kelapa sawit. Jumlah konflik agraria berpotensi akan terus meningkat bila ekspansi sawit justru terus difasilitasi dengan program energi hijau berbasiskan sawit ini.
Baca juga:
Gagasan energi hijau berbasis sawit dari capres gemoy ini lebih menyasar pada penggantian bahan bakar minyak (BBM). Lantas bagaimana dengan energi berbasiskan batu bara? Padahal sebagian pembangkit listrik di Indonesia sangat tergantung dengan batu bara. Gagasan energi hijau berbasis sawit capres gemoy ini berpotensi mengaburkan persoalan pelik transisi energi di sektor pembangkit listrik yang lebih mendesak untuk dibenahi.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa capres gemoy lebih fokus dengan energi hijau berbasis sawit daripada energi terbarukan yang mampu menggantikan batu bara di sektor ketenagalistrikan? Apakah hal itu terkait dengan bisnis batu bara? Entahlah. Tetapi yang pasti, agenda transisi energi tidak boleh dibajak kepentingan elite melalui solusi palsu yang justru akan menimbulkan kerusakan alam dan ketidakadilan sosial. Publik menginginkan transisi energi berkeadilan, bukan solusi palsu yang hanya menguntungkan segelintir elite yang memiliki bisnis di sektor energi fosil dan perkebunan skala besar.
Editor: Prihandini N