Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember lalu sepatutnya menjadi refleksi pemberantasan korupsi di negeri ini. Tak bisa dibantah, praktik korupsi yang dilakukan para pejabat negara sudah seperti penyakit kronis. Presiden Jokowi sendiri membawa agenda besar pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2022. Salah satunya mengenai klaster pemberantasan korupsi sebagai isu prioritas pembangunan jangka panjang. Barangkali pesan Presiden tidak sampai ke telinga para birokratnya yang masih kerap kedapatan melakukan korupsi. Bisa jadi Presiden terhalang bongkahan batu besar ketika hendak menunaikan ide cemerlang ke sistem birokrasinya. Maklumat Presiden itu tidak satu tarikan nafas dengan kerja-kerja para pejabat di bawahnya.
Benturan Kepentingan
Rasa-rasanya korupsi dan konflik kepentingan ditakdirkan untuk selalu bersama. Tak terkecuali pada era kepemimpinan Presiden Jokowi. Catatan Evaluasi Kebijakan Pemberantasan Korupsi Tiga Tahun Pemerintahan Joko Widodo–Ma’ruf Amin yang dirilis Indonesia Corruption Watch menunjukkan bagaimana benturan kepentingan begitu masif terjadi di rezim pemerintahan Jokowi. Dalam rilis yang berjudul “Setengah Hati Berantas Korupsi hingga Regresi Demokrasi”, ICW mencontohkan beberapa peristiwa yang terjadi selama periode kedua Jokowi-Ma’ruf Amin. Misalnya kasus anyar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang membagi-bagikan minyak goreng di salah satu daerah dengan menitip pesan bahwa masyarakat harus memilih anaknya, Fitri Zulya Savitri, sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Nuansa benturan kepentingan begitu benderang ketika Presiden Jokowi membentuk anggota tim seleksi pemilihan anggota KPU-Bawaslu yang salah satu anggotanya merupakan tim kampanye nasional Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019. Secara gamblang Presiden membiarkan konflik kepentingan menghinggapi tubuh kabinetnya.
Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang, saling mengiringi jalannya kekuasaan atau sebaliknya, kekuasaan adalah pintu masuk bagi perilaku koruptif. Rezim ini seolah-olah mengamini dan memuluskan langkah-langkah perilaku koruptif. Mulai dari pengondisian KPU-Bawaslu, mengizinkan menteri mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres tanpa menanggalkan jabatan, dan membiarkan perbuatan tak senonoh Zulkifli Hasan tanpa ada teguran apalagi sanksi pemecatan.
Benturan kepentingan tidak hanya merobek citra negara hukum yang termanifestasikan dalam hukum positif, tetapi juga mencederai moralitas pejabat publik yang sedianya diasuh dengan nilai-nilai keagamaan, hati nurani, etika, kebijaksanaan, dan lain sebagainya.
Baca juga:
Isu Prioritas Anti Korupsi G20
Dalam G20 Bali, isu anti korupsi disuarakan forum Anti-Corruption Working Group (ACWG) sebagai Side Even Civil 20 Summit. KPK sebagai delegasi Indonesia memaparkan beberapa poin krusial terkait penanganan korupsi, yaitu peningkatan peran audit dalam pemberantasan korupsi, peningkatan pendidikan antikorupsi dan peran serta masyarakat, perumusan kerangka regulasi dan supervisi peran profesi hukum pada kasus pencucian uang hasil korupsi, dan mitigasi korupsi pada sektor energi terbarukan.
Ada catatan kritis tekait beberapa poin di atas, yang pertama tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meningkatkan peran audit dalam pemberantasan korupsi masih jauh dari kata rampung. Sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, tampaknya BPK memiliki kendala-kendala internal. Misalnya dalam kasus korupsi Bupati Kabupaten Bogor, Ade Yasin, yang disangka menyuap anggota tim audit BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai Rp 1,024 Miliar. Predikat “auditor nakal” oleh para pakar anti rasuah tampaknya patut disematkan kepada empat auditor BPK yang menggunakan kuasanya untuk memeras. Tak ayal ada spekulasi bahwa BPK tidak serius dalam melakukan pembenahan dan pengawasan internal. Hal ini menandakan pengawasan internal BPK melalui kontrol etik gagal mengamalkan fungsinya sehingga kasus korupsi masih kerap terjadi.
Pemilihan anggota BPK oleh DPR atas pertimbangan DPD tanpa melibatkan Lembaga Eksekutif menunjukkan bahwa tidak ada prinsip check and balances. Pada saat itulah monopoli Lembaga Legislatif sangat mungkin terjadi. Di saat yang sama, hal ini cenderung melahirkan dominasi tidak terkontrol sampai pada titik penyalahgunaan kekuasaan. Boleh jadi perkara suap-menyuap empat anggota BPK Jawa Barat merupakan sirine bahwa praktik ini mungkin saja terjadi dalam langgam BPK pusat.
Kedua, partisipasi masyarakat luas untuk mencegah praktik korupsi bisa dibilang jauh panggang dari api. Partisipasi masyarakat bisa tersimpul bila edukasi antikorupsi dapat dengan mudah diakses dan diperoleh, baik melalui sekolah formal maupun pendidikan informal. Beratnya beban KPK dalam mencegah dan mengatasi korupsi sekiranya menjadi refleksi bahwa sistem pendidikan nasional belum mengejawantahkan budaya antikorupsi. Diseminasi wawasan antikorupsi wajib ditunaikan secara berkelanjutan, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi supaya partisipasi masyarakat tumbuh seiring berjalannya waktu.
Ketiga, perumusan kerangka regulasi dan supervisi melalui peran profesi hukum dalam hal pencucian uang hasil korupsi adalah cara untuk mencegah praktik korupsi. Pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di negara-negara tax haven biasanya menyediakan jasa ‘nobel profession’ seperti advokat asing. Hal ini tidak disinyalir oleh advokat atau profesi hukum domestik. Profesi hukum seperti advokat, notaris, konsultan pajak nyatanya belum signifikan menjalankan pengawasan. Mungkin saja mereka belum memahami kewajiban. Selain itu kerangka hukum Indonesia tekait anti pencucian uang juga masih nihil.
Kesukaran itu jelas-jelas tampak dalam proses Mutual Evaluation Review yang dilakukan oleh Financial Action Task Force (FATF) pada Juli-Agustus 2022. Keharusan profesi hukum melaporkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah (PP) 43/2015 perihal pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. Nahasnya aturan tersebut saling tumpang-tindih dengan norma hukum Kode Etik Advokat Indonesia dan UU 18/2003 tentang “advokat yang menyatakan advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien.”
Baca juga:
Harus ada penyelarasan pengaturan saling sikut itu, baik melalui revisi atau prosedur hukum lain sehingga peran profesi hukum betul-betul optimal dalam menihilkan TPPU. Agaknya hal tersebut sukar dimanifestasikan, sebab White Collar Crime (kejahatan kerah putih) memiliki modal besar, menyangkut pasar keuangan, perusahaan cangkang dan perbuatan yang samar-samar.
Keempat, mitigasi korupsi pada sektor energi baru terbarukan (EBT) adalah isu yang umurnya masih seumur jagung tetapi disuarakan masif lewat pangsa global. Tren transisi energi terbarukan menyisakan pekerjaan berat. Misalnya dalam kasus korupsi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), industri hijau, hydropower, geothermal, dan ekosistem mobil listrik yang niscaya bakal menguasai pasar dunia di masa akan datang. Sialnya Indonesia belum siap menyesuaikan regulasi karena cepatnya perubahan zaman.
Bentuk perilaku korupsi di sektor energi terbarukan paling masif terjadi pada belanja publik untuk program subsidi, seperti kecurangan tender, suap, inefisiensi, salah urus, pencurian, penggelembungan biaya pengembangan infrastruktur, serta alokasi kontrak publik yang tidak efisien.
Oligarki dan korupsi umpama saudara kembar yang tak terpisahkan. Korupsi bidang energi yang melanda negeri ini di waktu lalu diprakarsai oleh segelintir orang yang punya harta dan bisa semena-mena mempermainkan hukum. Belajar dari pengalaman relasi kuasa oligarki dan kaitannya dalam kasus korupsi batu bara, di waktu silam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merusak lingkungan dan fondasi antikorupsi yang masih rentan ditundukan.
Belum lagi kini pemberlakuan Omnibus UU Cipta Kerja dan UU Minerba memberi karpet merah izin kepada korporasi besar atau kaum oligarki. Isu korupsi energi yang tidak jauh dari bisnis oligarki telah berhembus kencang di permukaan. Hal ini bisa menjadi malapetaka apabila kerakusan kaum oligarki tidak segera ditangkal.
Dalam hal ini, pemerintah dan para elite politik tidak boleh membiarkan sistem ekonomi-politik disandera para mafia dan bandit korupsi. Pembiaran itu bisa berarti percik di muka sendiri. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia.