Bila mempelajari gaya kepemimpinan Gus Dur, kita akan melihat betapa berani dan tanpa beban ia membuat keputusan. Gus Dur berani menggeser anggota kabinetnya tanpa takut terhadap afiliasi politik sang menteri. Tatkala melihat para pejabat kementerian terlibat kasus tindak pidana pencucian uang dan punya harta tidak wajar akhir-akhir ini, saya jadi teringat Gus Dur. Andai Gus Dur menjadi presiden hari ini, barangkali sang menteri sudah dicopot.
Dalam menanggapi skandal besar di Kementerian Keuangan saat ini, Presiden Jokowi seolah tidak melakukan tindakan apa pun. Hal ini tentu membuat kita mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi terhadap nilai-nilai demokrasi dan penegakan hukum. Kemenkeu Sri Mulyani dinilai terlalu sibuk bermain citra di luar, sementara tidak ada gebrakan tindakan di dalam. Oleh karena itu, tak heran bila banyak orang merasa kecewa dengannya. Dulu ia dianggap hebat, tetapi adanya kasus ini membuat orang-orang meragukannya.
Baca juga:
Keyakinan Gus Dur terhadap nilai-nilai demokrasi dan keberaniannya untuk menegakkan hukum tidak perlu diragukan. Misalnya ketika ia berurusan dengan anak buah. Gus Dur tak sungkan memecat anak buahnya walaupun itu bisa berdampak pada daya tawar kekuatan politiknya. Wiranto, Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, Hamzah Haz, Kwik Kian Gie, Yusril Ihza Mahendra, Bambang Sudibyo, Bondan Gunawan, dan lainnya adalah beberapa nama yang dicopot atau diminta mengundurkan diri oleh Gus Dur. Bagi Gus Dur, memecat ataupun menggeser orang adalah hal biasa.
Dengan masa kepemimpinannya yang singkat (1999-2001), Gus Dur meninggalkan warisan kepemimpinan yang akan dikenang banyak orang. Bagi ekonom, Gus Dur diakui mampu mendongkrak daya beli rakyat pascakrisis dan mengubah pertumbuhan dari -3% ke 4,5%. Bagi pegiat HAM, Gus Dur diakui berani memberhentikan Wiranto yang waktu itu dinilai terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor-Timur. Di mata kelompok pro good governance, Gus Dur tidak takut memberhentikan Jusuf Kalla yang dinilai terlibat konflik kepentingan sebagai Kabulog dan Menteri Perdagangan. Bagi orang Papua, Gus Dur dikenang sebagai orang yang berani memberi kebebasan berekspresi. Bagi kelompok minoritas, Gus Dur dikenang sebagai orang prokesetaraan dan antidiskriminasi.
Tiga Pelajaran dari Gus Dur
Ada tiga pelajaran penting dari gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menangani tim atau bawahannya.
Pertama, walaupun menerima usulan kandidat dari partai politik penyokong, Gus Dur menggunakan hak prerogatifnya untuk menentukan siapa yang layak dipilih, digeser, ataupun dipecat. Dengan begitu, Gus Dur tidak ingin diatur oleh siapa pun karena dia merasa berhak menjalankan fungsinya sesuai konstitusi.
Bila pada awal-awal pemerintahan kabinet Gus Dur dinilai “warna-warni” (sebagai hasil kompromi “politik dagang sapi” dengan parpol penyokongnya untuk menentukan posisi menteri), lambat laun keputusan Gus Dur jauh lebih dominan. Kuatnya dominasi Gus Dur ini sesungguhnya memiliki dua sisi. Di satu sisi, Gus Dur jadi leluasa menciptakan orkestrasi kabinet sesuai kebutuhannya, tetapi di sisi lain ini menjadi bom waktu ketidakharmonisannya dengan Wakil Presiden Megawati dan koalisinya.
Harus diakui, hak pregrogatif Gus Dur terbilang efektif dalam mencari format kabinet yang diinginkan. Efektivitas pemerintahan Gus Dur dalam mencapai banyak hal tidak terlepas dari kemampuannya memilih orang untuk menjadi menteri.
Gus Dur punya tiga kriteria untuk memilih sang menteri, yakni jujur dan hidup sederhana, tahu apa yang harus dikerjakan, dan diterima oleh masyarakat luas. “So, we don’t base that (cabinet) on political affiliation, but on skill,” ujar Gus Dur ketika diwawancarai media asing.
Kedua, ketika Gus Dur menerima laporan atau pengaduan tentang sang menteri dari pihak-pihak yang dipercaya, ia tak sungkan untuk memecat para menterinya. Ketika mendengar kabar ada orang bermain proyek di Bulog dan punya konflik kepentingan, Gus Dur tak sungkan memecat sang Kabulog. Mendengar laporan Komnas HAM tentang keterlibatan menterinya dalam pelanggaran HAM di Timor-Timur, Gus Dur segera meminta Wiranto untuk mengundurkan diri. Tanpa menunggu keputusan proses peradilan, Gus Dur yang ketika itu sedang lawatan ke beberapa negara mengumumkan melalui media massa untuk meminta Wiranto mundur.
Baca juga:
Ketiga, Gus Dur menganggap kegaduhan di dalam kabinetnya itu hal biasa. Dalam sebuah artikel di Kompas (2000), seorang penulis mempertanyakan apakah sisi kontroversi Gus Dur ketika menjabat presiden itu sebagai berkah atau bukan? Saat itu, tak sedikit pengamat atau media massa menganggap masa kepresidenan Gus Dur itu gaduh. Penyebabnya disinyalir dari ketidakmampuan Gus Dur mengelola pemerintahannya, ketidakkompakkan dalam dapur kabinet, para pembisik yang terlalu didengar sang presiden, lontaran jokes Gus Dur, keberanian ambil risiko dalam mengambil kebijakan, tak segan memecat menterinya, dan lainnya.
Dengan kata lain, susana pemerintahan Gus Dur pun tak pernah luput dari kontroversi. Lantas, menurut sang penulis, kenyelenehan Gus Dur itu harus dilihat dari kacamata rasional. Artinya, apakah langkah yang diambil oleh Gus Dur sudah bisa dianggap masuk akal atau tidak.
Tak bisa dipungkiri, Gus Dur memang dikenal sebagai presiden yang pemerintahannya cukup gaduh dan kontroversial. Namun, bila kita menilai hasil kinerjanya, banyak orang mengaguminya. Gus Dur mampu mendongkrak kinerja ekonomi, mendorong demokratisasi, kesetaraan hak warga, persatuan nasional, dan lainnya. Bila melihat kenyataannya saat ini, hampir sebagian besar keputusan yang diambil oleh Gus Dur diakui kebenarannya.
Ambil contoh, lontaran jokes tentang DPR dan TK banyak diamini orang saat ini. Hal lainnya, keberanian Gus Dur memecat menteri yang berbisnis pun diacungi banyak orang karena menegakkan profesionalisme. Tak hanya itu, Gus Dur juga berani memecat seorang purnawirawan jenderal berpengaruh karena ia menerima laporan tentang keputusan lembaga HAM tingkat dunia yang memvonis bersalah atas aksinya di masa lalu.
Pertanyannya, mengapa Gus Dur berani ambil risiko dan kontroversi? Gus Dur pernah menuliskan artikel Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut (1999), di mana menurutnya orang Indonesia dinilai lebih menyukai Soekarno daripada Bung Hatta. Padahal Bung Hatta dikenal sebagai orang yang rela mengorbankan jabatannya demi mempertahankan prinsipnya. Pilihan ini, menurut Gus Dur, rupanya menyiratkan suatu preferensi gaya kepemimpinan, di mana mayoritas masyarakat Indonesia lebih suka damai, walaupun pemimpinnya memupuk kejayaan pribadi. Ini seolah menjadi hal normal. Dengan demikian, berkaca dari Pemerintahan Gus Dur, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegaduhan di alam demokrasi sejauh dapat mendorong perubahan untuk mementingkan kepentingan rakyat dan negara.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Andai Jokowi Seberani Gus Dur”