Sejumlah negara global North tengah gencar menggelontorkan dana melimpah demi meredam dampak terburuk dari krisis iklim. Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan kucuran pendanaan hijau tersebut.
Beberapa pendanaan tersebut misalnya Just Energy Transition Partnership (JETP), Norway Climate Deal dengan Indonesia, serta dana khusus loss and damages yang disepakati pada COP27 November lalu. Melalui berbagai skema pembayaran mulai dari hibah hingga pinjaman, ratusan triliun rupiah akan disalurkan guna menyokong pemerintah mengimplementasikan sejumlah kebijakan pro-iklim serta strategi akselerasi transisi energi bersih yang konsisten dengan Paris Agreement. Pemberhentian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara secara bertahap merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dimaksud.
Kutukan Sumber Daya Alam
Pada prinsipnya, segala bentuk kebijakan yang mendukung agenda penyelamatan bumi dari kehancuran ekosistem patut diapresiasi. Namun, apabila berkaca pada sejarah, suntikan dana masif serta hadirnya berbagai megaproyek tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan publik. Layaknya kutukan sumber daya alam (resource curse) yang telah banyak divonis tengah menjangkit Indonesia, melimpahnya kekayaan tersabotase oleh korupsi sistemik. Dalam konteks ini, gelombang pembiayaan hijau yang masuk ke Indonesia justru sangat mungkin menjadi bancakan para koruptor.
Baca juga:
Lazim diketahui kasus-kasus megakorupsi acap kali hadir mengiringi pengelolaan proyek di Indonesia. Terutama ketika ada sokongan investasi besar-besaran dari pihak asing. Ini bertalian erat dengan minimnya budaya transparansi serta cengkraman pebisnis oligarkis yang membajak pengambilan keputusan-keputusan publik. Sulit untuk dibantah, tergambar dengan terang contohnya dalam kasus korupsi PLTU Riau-1, bagaimana aktor eksekutif dan legislatif secara bahu membahu berbuat curang demi kepentingan swasta untuk memenangkan proyek energi kotor.
Oleh karena itu, dalam melihat masuknya sejumlah pendanaan hijau ke Indonesia, haruslah diiringi dengan perubahan paradigmatis dalam tata kelola pemerintahan. Orientasi yang dikedepankan haruslah sungguh-sungguh guna mencapai cita-cita luhur transisi energi bersih. Perlu diingat bahwa semangat transisi energi berfokus pada terupayakannya keadilan ekologis. Terdapat penekanan pada kesinambungan ekosistem. Pendekatan yang sepatutnya dikedepankan bukanlah sekadar berorientasi pada keuntungan ekonomi. Apalagi jika hanya menggunakan logika pembangunanisme yang identik dengan rezim Presiden Joko Widodo dewasa ini serta rezim Soeharto kala itu.
Apalagi pasca diteken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja, komitmen hijau pemerintah semakin perlu untuk dipertanyakan keseriusannya. Pasalnya, paket ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang melancarkan investasi kotor seperti fasilitas royalti nol persen bagi perusahaan batu bara dan limitasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL) justru dipertahankan. Ini mengkontradiksi semangat kegentingan memaksa dalam Perppu tersebut yang menyatakan dalam salah satu konsideransnya bahwa perubahan iklim menjadi landasan pembentukan peraturan teranyar tersebut.
Salah satu pengejawantahan transisi energi bersih yang serius adalah dengan mencegah masuknya kepentingan para pebisnis energi kotor. Transisi energi akan menjadi suatu cita-cita yang sulit terwujud apabila komposisi pemain bisnis energi terbarukan justru masih mengakomodir keberadaan oligark batu bara.
Sayangnya, tercermin jelas dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT), pemerintah bersama dengan DPR hendak mengklasifikasikan produk energi fosil seperti pencairan maupun gasifikasi batu bara sebagai “sumber energi baru.” Pada mayoritas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan memanfaatkan teknologi energi bersih, nama-nama sejumlah perusahaan tambang batu bara seperti Adaro Energy Indonesia dan TBS Energi Utama juga tercatat masih aktif dilibatkan secara substansial oleh Pemerintah. Salah satu komitmen konkret yang dapat ditunjukkan negara dalam merespons krisis iklim adalah dengan melakukan phasing out batu bara dalam rangka meninggalkan ketergantungan energi fosil. Masih dilibatkannya para pemain batu bara di energi terbarukan harus dilihat dengan kaca mata yang kritis. Jangan sampai para perusahaan batu bara justru hanya melakukan diversifikasi portofolio mereka semata tanpa betul-betul meninggalkan investasi mereka di energi kotor yang kian destruktif bagi alam.
Maraknya Praktik Korupsi
Pertambangan merupakan kontributor kerusakan ekologis yang paling destruktif dan tidak jarang membuat negara merugi akibat kasus korupsi yang terjadi di dalamnya. Legal ataupun ilegal, proses bisnis tambang dan energi kotor membawa kerentanan yang membuat marak praktik koruptif hingga tindak pidana korupsi. Bentuknya beragam, namun yang paling lumrah ialah suap-menyuap demi mengantongi perizinan konsesi ataupun prasyarat administratif lainnya.
Baca juga:
Beberapa pola korup lain yang telah tercatat oleh Indonesia Corruption Watch (ICW): mengeruk kekayaan di luar batas izin yang diberikan; mengambil sumber daya lain yang tidak termasuk dalam kontrak; tidak melaporkan pendapatan perusahaan yang seharusnya kepada negara; menyelundupkan material yang didapat ke negara lain; hingga merambah area penambangan yang sebenarnya masuk dalam kawasan yang dilindungi.
Jangan sampai ada pembiaran terhadap direplikasinya praktik-praktik koruptif sektor bisnis energi kotor ke sektor energi terbarukan. Oleh karena itu, amat genting untuk mengedepankan transparansi dan partisipasi publik sedari awal pendanaan-pendanaan hijau tersebut direncanakan hingga akuntabilitas dari aktualisasi penggunaan dananya oleh pemerintah. Ini selaras dengan dua prinsip Equator Principles: pelibatan komunitas terdampak secara layak dan transparansi.
Tentu peran masyarakat sipil juga menjadi hal yang krusial dalam mendesak transparansi tersebut. Khususnya dalam hal menjamin bahwa pemerintah memberikan laporan yang merefleksikan situasi sebenarnya di lapangan ketika diminta oleh para pemberi dana hijau. Satu cara yang dapat diupayakan adalah dengan mengirimkan laporan bayangan (shadow report) versi masyarakat sipil agar lebih representatif terhadap kondisi sebenarnya. Ini berkaca dari tabiat buruk pemerintah Indonesia yang tidak jarang menutup-nutupi hingga memfalsifikasi laporan situasi sebenarnya di Indonesia guna memoles citra rezim di kancah internasional.
Selama skema tata kelola keuangan dan kepemilikan bisnis energi hijau masih akan mempertahankan pola yang serupa layaknya energi kotor, jangan harap “transisi” yang digadang-gadang akan menghadirkan demokratisasi energi, apalagi mencapai keadilan ekologis.
Editor: Prihandini N