“Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani” (ibu bumi sudah memberi, Ibu bumi disakiti)
Syair di atas merupakan senandung para perempuan warga Desa Kendeng yang menolak eksploitasi Gunung Kendeng oleh pabrik semen. “Ibu bumi” memiliki makna yang dalam untuk menggambarkan interaksi antara perempuan dan bumi. Hubungan antara ibu dan bumi identik karena adanya kesamaan dalam peran merawat kehidupan melalui alam dan lingkungan. Namun, dengan kondisi lingkungan hidup saat ini, perempuan adalah pihak yang paling rentan terdampak dari adanya kerusakan lingkungan.
Perempuan sebagai Agen Perubahan Lingkungan Hidup
Keterlibatan perempuan dalam bertanggung jawab atas urusan lingkungan sudah eksis di mata pemerintah pada tahun 1985. Kelompok tani Wanita Utama yang berasal dari Kota Pemalang, Jawa Tengah, misalnya, berhasil dianugerahi Kalpataru. Kelompok yang diketuai oleh Nuryati S. Atmo ini juga menjadi kelompok wanita pertama yang memenangkan penghargaan tersebut. Kelompok tani Wanita Utama menggerakkan perempuan desa yang kebanyakan ditinggal suaminya merantau ke kota untuk melakukan kegiatan yang fokus pada isu lingkungan. Misalnya pembersihan lahan, penanaman pohon, pembuatan dan penggunaan pupuk organik dari kandang, dan galian WC.
Baca juga:
Pada tahun 2016, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyebut bahwa perempuan adalah agen perubahan lingkungan hidup. Selain karena interaksi antara perempuan dan lingkungan itu erat, perempuan (dalam hal ini ibu) merupakan media edukasi utama bagi anak. Harapannya agar anak teredukasi soal pentingnya menjaga lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Peran perempuan dalam isu lingkungan juga didukung oleh pemerintah melalui KemenPPPA saat pandemi Covid-19 pada tahun 2020 lalu, yakni saat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPN Perempuan Tani HKTI) menyelenggarakan acara “Tanam Serentak Seluruh Indonesia”, di mana seluruh perempuan dalam berbagai profesi didorong untuk menanam tumbuhan holtikultura. Tujuannya untuk menjaga ketersediaan pangan semasa Covid-19 lalu.
Di ranah individu, kita mengenal nama Aleta Baun, aktivis lingkungan yang menerima penghargaan Yap Thiem Hien pada tahun 2016 serta Goldman Enviromental Prize pada tahun 2013. Aksinya menenun massal di depan gerbang perusahaan tambang dengan penduduk perempuan di desanya adalah wujud penolakan pembangunan dan pemberian izin tambang. Menurut keterangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, apa yang dilakukan oleh Mama Aleta sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam menangani masalah lingkungan hidup.
Sudah Terdampak, Kini Disuruh Tanggung Jawab
Bagaimanakah kondisi perempuan kini saat mereka telah diakui sebagai pihak yang berpengaruh bagi kondisi lingkungan? Di kawasan metropolitan Jabodetabek, pencemaran air menjadi salah satu kerusakan lingkungan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat. Perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kehidupan rumah tangga, banyak yang tidak memiliki akses terhadap air bersih.
Menurut Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, penyebabnya adalah karena infrastruktur rendah, urbanisasi yang tinggi, serta kecilnya pendapatan. Bisa dibayangkan bagaimana kaum ibu harus mengeluarkan sejumlah uang yang didapat dari gaji rendah, atau harus mengangkut air dari sumber mata air dengan jarak yang jauh dan beban muatan yang cukup berat.
Perubahan iklim yang memengaruhi pertanian dan perkebunan juga berdampak bagi perempuan. Misalnya perempuan di desa. Perempuan, baik perannya sebagai petani maupun dalam ranah domestik, bergantung kepada sumber daya alam lokal. Perubahan iklim tak menentu yang akhir-akhir ini terjadi membuat hasil pertanian dan perkebunan juga tak menentu.
Baca juga:
Di tengah kondisinya yang rentan akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, perempuan masih dianggap menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas lingkungan. Misalnya dalam lingkup kecil, seperti urusan memilah dan membuang sampah, memasak, serta mencari sumber pangan dan energi. Tentu ini akan menjadi bias, sebab pada dasarnya persoalan lingkungan hidup adalah tanggung jawab seluruh manusia. Oleh karena itu, urgensi kesetaraan dapat mengurangi beban perempuan dalam interaksinya dengan lingkungan.
Kaum perempuan memang sudah diakui sebagai agen perubahan dalam masalah lingkungan hidup. Interaksi yang terbangun antara perempuan dan lingkungan juga telah diakui secara global. Namun, akses dan prioritas bagi perempuan yang terlibat dalam masalah lingkungan hidup masih terbatas. Bahkan aksesnya sengaja dihilangkan agar mereka berlarian ke sana ke mari demi mendapat seliter minyak goreng, seember air, dan sejumlah uang atas interaksinya dengan lingkungan.