Bukan tidak mungkin pada tahun-tahun mendatang kita akan kesulitan mendapatkan kopi gayo yang legendaris itu. Kenapa kopi gayo dan juga kopi-kopi lainnya akan sulit didapatkan? Jawabanya singkat, krisis iklim.
Sejak tahun 2017 lalu, petani kopi di Gayo, Aceh, mulai mengalami penurunan panen hingga 30%. Krisis iklim yang ditandai dengan menghangatnya cuaca, membuat hama penggerek buah kopi Hypothenemus hampei sudah mampu bertahan hidup di ketinggian 1.200 meter, tempat umumnya ladang kopi.
Padahal sebelumnya hama itu tidak bisa hidup di ketinggian 800 meter di atas permukaaan laut. Fakta lapangan itu diperkuat oleh lembaga riset lingkungan hidup CIFOR (Center for International Forestry Research). CIFOR memprediksi pada tahun 2050 jumlah lahan untuk tanaman kopi arabika akan berkurang hingga 80%. Celakanya, laporan ilmiah terbaru menyebutkan krisis iklim datang lebih cepat dari perkiraan. Artinya, tidak perlu menunggu hingga 2050 untuk melihat hilangnya 80% perkebunan kopi akibat krisis iklim.
Baca juga:
Bencana akibat krisis iklim telah menjadi ancaman bagi kehidupan kita sehari-hari. Berbagai bencana akibat krisis iklim ini juga menimbulkan kerugian ekonomi. Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Destry Damayanti, kerugian ekonomi Indonesia akibat krisis iklim telah mencapai 100 triliun rupiah per tahun. Kerugian ini akan terus meningkat seiring berjalannya waktu dan juga makin ekstremnya cuaca.
Semua pihak punya peran menghindarkan bencana ekologi ini agar tidak semakin parah. Salah satu pihak yang memiliki peran besar itu adalah sektor perbankan. Sektor perbankan memiliki kesempatan untuk menyalurkan dana dari publik ke proyek-proyek yang ramah lingkungan hidup. Jika kesempatan itu digunakan, peningkatan gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim akan bisa ditekan. Salah satu bank yang memiliki peluang mengurangi emisi GRK itu adalah Bank Negara Indonesia (BNI).
Bank Hijau BNI
Seperti kopi, hampir kita semua mengenal BNI. Bank ini menjadi salah satu bank yang tidak pernah menolak adanya krisis iklim. Green banking dan go green adalah jargon yang bertebaran dalam laporan-laporan resmi BNI. Bank ini juga menjadi salah satu anggota First Movers on Sustainable Banking.
BNI bahkan merupakan salah satu bank nasional yang mengumumkan terbentuknya Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) dan berkomiten untuk menerapkan keuangan berkelanjutan. Bank ini juga merupakan satu-satunya bank di Indonesia yang menjadi anggota UN Environment Programme Finance Initiative.
Tak heran bila BNI menyatakan mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim hingga 29% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan negara donor pada tahun 2030.
Menjelang RUPS BNI
Pada pertengahan bulan Maret 2023, BNI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Di tengah ancaman krisis iklim, apakah momentum RPUS itu akan menjadi titik pijak untuk memperkuat green banking?
Sebagai bank milik negara, sudah seharusnya BNI mengambil kepemimpinan dalam aksi iklim. Dalam Sustainability Report BNI pada 2022, bank itu mengklaim mendukung ekonomi rendah karbon dan ketahanan terhadap risiko terkait dengan krisis iklim. Namun, realitanya tak seindah klaim yang diungkapkan.
Bagaimana tidak, BNI ternyata menjadi salah satu bank pemerintah yang masih terus mendanai energi batu bara penyebab krisis iklim. Laporan riset 350 Indonesia bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengungkapkan bahwa BNI meminjamkan USD53,4 juta kepada tiga perusahaan batu bara. BNI yang seharusnya menjadi garda terdepan bagi pendanaan energi terbarukan ternyata masih terus memilih mendanai energi kotor batu bara.
Baca juga:
Saat diekspos publik pada tahun lalu, Direktur Keuangan BNI mengungkapkan bahwa bank tersebut hanya akan membatasi pinjaman ke proyek batu bara, tetapi tidak menghentikannya. Menurutnya, komposisi pinjaman BNI ke proyek batu bara akan dibatasi hanya sebesar 2% dari seluruh kreditnya.
Total kredit yang disalurkan BNI pada tahun 2022 mencapai Rp646,19 triliun. Jika dilihat dari total kredit yang disalurkan oleh BNI, 2% dari total portofolio kredit BNI adalah sekitar Rp12,923 trilyun. Angka itu masih lebih besar dari pinjaman BNI untuk proyek energi terbarukan yang hanya Rp9,5 trilyun.
Mempertanyakan Komitmen BNI
Dari komposisi pinjaman itu timbul keraguan, apakah BNI serius menjadi green banking? Di tengah keraguan klaim green banking itulah komunitas Mahasiswa Fossil Free kampus Indonesia, yang dimotori mahasiswa UI dan UGM, telah membuat petisi ke BNI agar menghentikan pendanaan ke batu bara. Petisi tersebut telah mendapatkan dukungan dari dari 19 ribu orang. Seiring berjalannya waktu, jumlah orang yang menandatangani petisi tersebut akan meningkat. Jika itu terus dibiarkan, tentu itu akan menjadi kampanye yang akan merusak reputasi BNI.
Apakah di RUPS nanti bank BNI akan terus meremehkan suara-suara yang menginginkan bank itu agar benar-benar menjadi green banking? Akankah di RUPS itu BNI tetap terus memilih mendanai batu bara dengan segala pencitraan seolah-olah peduli lingkungan hidup?
Kita tentu berharap CEO BNI di RUPS tahun ini tidak hanya mengedepankan kalkulasi laba secara jangka pendek seraya mengabaikan keselamatan masyarakat yang semakin rentan menjadi korban krisis iklim.
Ironis bila di satu sisi pemerintah membuat utang baru melalui skema JETP (Just Energy Transition Partnership) untuk membiayai pengembangan energi terbarukan, tapi bank-bank milik pemerintah, seperti BNI justru memilih mendanai energi batu bara penyebab krisis iklim.
Apapun pilihannya, CEO BNI perlu pula menyadari bahwa para nasabah bank juga memiliki pilihan untuk mengalihkan simpanan uangnya ke bank yang lebih ramah lingkungan, bukan ke bank yang masih mendanai batu bara.
Editor: Prihandini N