Belakangan ini pemerintah Indonesia menggagas program percepatan kendaraan listrik berbasis baterai (KLBB). Tujuannya untuk transisi massal kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan. Pemerintah bahkan sangat ambisius dengan menargetkan penghapusan total kendaraan konvensional pada tahun 2035. Namun, pertanyaannya, apakah transisi massal ke kendaraan listrik merupakan solusi paling tepat untuk mencegah perubahan iklim?
Bukan Solusi Paling Baik
Jika dilihat sebagai barang jadi, kendaraan listrik memang lebih ramah lingkungan. Namun, jika dilihat secara holistik, kendaraan listrik tidaklah seramah yang dibayangkan. Kendaraan listrik membutuhkan baterai lithium-ion sebagai bahan baku utamanya. Lithium-ion sendiri berasal dari logam nikel, kobal, nithium, dan mangan yang merupakan produk tambang. Sulit memisahkan antara industri pertambangan dengan kerusakan lingkungan.
Baca juga:
Berdasarkan laporan Giljum, et al., (2022), sepanjang tahun 2000-2019 Indonesia tercatat kehilangan 190,1 kha (ribu hektare) hutan tropis akibat industri pertambangan. Indonesia berada di urutan pertama atau penyumbang 58,2% deforestasi akibat industri pertambangan di dunia, disusul Brasil (32,7 kha atau 10,1%), Ghana (21,3 kha atau 6,6%), dan Suriname (20,3 kha atau 6,3%).
Saat ini, merujuk laporan Auriga (2022), 3,4 mha konsesi pertambangan di Indonesia berada di areal hutan. Oleh karena itu, pertambangan pasti mengakibatkan deforestasi. Lebih dari setengah konsesi tambang (2,2 mha) diperuntukkan bagi pertambangan mineral, dan 1,2 mha untuk pertambangan batu bara yang sebagian besarnya digunakan PLTU untuk menghasilkan listrik. Industri pertambangan juga meninggalkan lubang-lubang seluas 368,4 kha yang tersebar di pelbagai daerah di Indonesia. Karena alasan itu, industri pertambangan tidak hanya memengaruhi keseimbangan ekosistem, tetapi juga akan menghilangkan keanekaragaman hayati, sumber air, dan yang paling utama meningkatkan emisi akibat pembukaan hutan.
Selain masalah industri pertambangan, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia (85%) juga masih bergantung pada energi fosil, terutama batu bara yang mencapai 50%. Artinya, energi listrik yang nanti digunakan juga masih mengandalkan energi kotor. Walaupun jika dihitung emisi hasil pembakaran batu bara diklaim mampu memangkas hingga setengah emisi kendaraan listrik, itu belum menghitung dampak pembukaan hutan akibat aktivitas tambang.
Walau demikian, pemerintah tetap melanjutkan programnya dan mulai mengembangkan kendaraan listrik nasional. Pemerintah bahkan bercita-cita merajai pasar baterai listrik dunia. Pemerintah optimis bisa merajai pasar baterai global karena memiliki cadangan bahan baku logam baterai lithium-ion yang besar, terutama nikel yang mencapai 30% dari cadangan dunia. Greenpeace (2022) mencatat kebutuhan bahan baku baterai akan meningkat 1.000% pada tahun 2050. Tentu ini akan berdampak terhadap meningkatnya ekstraksi tambang di Indonesia, dan akhirnya akan berpengaruh terhadap peningkatan kerusakan lingkungan dan emisi.
Jargon Zero Emission
Transportasi mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Selain sebagai sarana sosial, transportasi juga menjadi sarana ekonomi dan politik untuk menghindari suatu wilayah terisolasi dan terbelakang. Namun, peningkatan jumlah penduduk yang diikuti peningkatan penggunaan transportasi terutama kendaraan pribadi, menyebabkan masalah baru. Misalnya kemacetan, tundaan berkepanjangan, pemborosan energi, polusi udara, hingga emisi karbon.
Belakangan ini berkembang konsep sustainable transportation (transportasi berkelanjutan) untuk menjawab masalah tersebut. Transportasi berkelanjutan memberikan perhatian pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta lebih difokuskan pada sistem berbasis angkutan umum ketimbang kendaraan pribadi. Artinya, memaksimalkan pengembangan dan penggunaan transportasi publik lebih mendesak.
Baca juga:
Di pelbagai wilayah Indonesia sendiri, terutama di Jakarta, sudah memiliki beragam moda transportasi publik yang dapat diandalkan, seperti Transjakarta, angkot, KRL Commuter Line, LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rapid Transit), bus, metromini, bajaj, kopaja, dan taksi. Akan tetapi, hanya beberapa yang mengandalkan listrik, terutama KRL Commuter Line, LRT (Light Rail Transit), MRT (Mass Rapid Transit). Sedangkan transportasi publik lainnya sebagian besar masih bergantung dengan bahan bakar fosil. Artinya, PR utama pemerintah yang mendesak adalah transisi bahan bakar transportasi publik berbasis listrik.
Selain itu, ada beberapa PR lainnya yang harus diselesaikan untuk mencapai transportasi publik berkelanjutan, seperti pemerataan transportasi publik yang saat ini masih terkonsentrasi di Jakarta (secara umum Pulau Jawa), menciptakan transportasi publik yang inklusif (ramah penyandang disabilitas, ibu hamil, dst), serta yang terpenting adalah bagaimana mendorong masyarakat untuk menjadikan transportasi publik sebagai pilihan utama dalam beraktivitas.
Jejak karbon yang dihasilkan nantinya relatif hilang sama sekali apabila transportasi publik berkelanjutan sudah tercapai, terutama jika menggunakan energi listrik terbarukan. Jika dibanding dengan kondisi saat ini yang masih mengadalkan kendaraan berbahan bakar fosil, jejak karbon kita juga akan berkurang andai menggunakan transportasi publik. Contohnya jika Anda menggunakan mobil pribadi sejauh 20 km setiap hari, Anda akan menghasilkan 1,3 ribu kilogram karbon dioksida per tahunnya. Sementara jika Anda mengadalkan transportasi publik, jejak karbon Anda berkurang sekitar 400 hingga 900 kilogram per tahunnya, tergantung transportasi publik apa yang digunakan.
Namun, berdasarkan wacana yang berkembang, tampaknya pemerintah lebih fokus pada transisi massal kendaraan pribadi dibandingkan mencari cara agar mencapai transportasi publik berkelanjutan. Misalnya soal wacana subsidi pembelian atau konversi kendaraan listrik pribadi sebesar 7 juta rupiah untuk kendaraan bermotor, dan 80 juta rupiah untuk mobil atau insentif pengurangan pajak.
Menurut Sekretaris Kementerian ESDM, Rida Mulyana, tujuan subsidi adalah untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik di Indonesia ke depannya. Pernyataan Rida dan target pemerintah untuk merajai pasar baterai global mengonfirmasi bahwa motif transisi massal kendaraan listrik, terutama kendaraan pribadi basisnya juga kepentingan bisnis—atau malah alasan pengurangan emisi hanya dalih semata.
Lebih jauh, banyak pihak menduga bahwa program KLBB sarat kepentingan elite, terutama pengusaha tambang dan otomotif. Indikasi ini, menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam siaran pers berjudul “Inpres Mobil Listrik: Manjakan Oligarki, Korbankan Rakyat”, terlihat dari upaya perluasan bisnis elite ke pertambangan nikel (hulu) dan ekosistem kendaraan listrik (hilir). Elite yang dimaksud oleh JATAM ialah Luhut Binsar Pandjaitan (Kemenko Marves), Nadiem Makarim (Mendikbud), Sandiaga Uno (Menparekraf), Moeldoko (Kepala Kantor Staf Presiden), Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI), hingga Ahmad Ali (DPR RI, Fraksi NasDem).
Jika benar demikian, tujuan zero emission jadi tampak sekadar jargon untuk menyembunyikan hasrat elite memperkaya diri. Terlebih jika tidak diikuti transisi energi di sektor pembangkit listrik dan pembatasan ekstraksi tambang pada waktu yang bersamaan, program percepatan KLBB cenderung tidak akan berarti.
Editor: Prihandini N