Pada 15 November lalu, PBB mengumumkan penduduk dunia telah mencapai 8 miliar orang. Jumlah yang mengkhawatirkan mengingat saat ini bumi sedang dilanda berbagai macam krisis. Setidaknya ada satu pertanyaan etis yang harus dijawab jujur oleh umat manusia: bagaimana mempertahankan kualitas hidup delapan miliar manusia dengan kondisi bumi yang tidak lagi akrab?
Berdasarkan penelitian National Geographic, diperkirakan bumi berusia 4,54 miliar tahun, dengan rentang kesalahan kurang lebih 50 juta tahun. Acapkali dikatakan bumi mempunyai hukum sendiri yang tak bisa diintervensi manusia. Manusia bergantung kepada bumi. Kesehatan bumi amat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Ketergantungan Manusia kepada Bumi
Tema resmi Hari Bumi tahun 2022 adalah Invest in Our Planet. Tema ini mencerminkan ketergantungan manusia kepada planet yang mereka tinggali. Sebelum muncul hasil Perjanjian Iklim Paris, diketahui bumi sudah menuju pemanasan global dengan kenaikan suhu sebesar 3°C. Oleh karena itu, disepakati 1,5°C sebagai batas kenaikan suhu global. Walaupun sampai saat ini komitmen tersebut belum terpenuhi seutuhnya.
Seluruh komponen kehidupan harus bekerja sama guna mengatasi perubahan iklim. Kerja-kerja holistik wajib hukumnya. Manusia harus menyadari bahwa merekalah yang membutuhkan alam, bukan sebaliknya.
Sifat manusia yang dinamis bisa menjadi pemicu krisis iklim. Transformasi teknologi pada akhirnya mengubah gaya hidup manusia menjadi serba instan dan konsumtif. Itulah salah satu penyebab manusia terus menerus mengeksploitasi alam. Pemanfaatan hasil bumi yang berlebihan berimplikasi langsung terhadap kerusakan lingkungan.
Baca juga:
Sonny Harry memaparkan penduduk yang terus membeludak memiliki dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat, dan ketahanan pangan dunia. Momentum 8 miliar penduduk dunia menjadi pengingat pentingnya memahami situasi penduduk, dampak, dan respons kebijakan yang tepat.
Sangat masuk akal apabila kita merasa khawatir melihat krisis iklim yang melanda bumi. Hingga saat ini, negara masih belum punya atensi besar terhadap isu lingkungan. Kebijakan pemerintah Indonesia kelihatan sekali tidak memedulikan aspek lingkungan hidup. Arah kebijakan pemerintah masih menguntungkan kapitalisme dan oligarki.
Belum lama ini, para ahli yang terafiliasi dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memberikan “kode merah” bagi umat manusia. Sekjen PBB Antonio Guterres memberi peringatan bahwa pemanasan global yang menjadi penyebab cuaca ekstrim di seluruh dunia, 20 tahun ke depan berisiko tidak lagi dapat dikendalikan. Peringatan kode merah tak tertuju kepada satu negara saja, melainkan seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Menurut A. Sonny Keraf, teori antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, menjadi penyebab utama dari krisis lingkungan hidup yang saat ini. Pemikiran ini tidak lepas dari pandangan bahwa manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan makhluk lain, hanya kerena manusia satu-satunya makhluk bebas dan rasional.
Teori tersebut mengundang malapetaka kepada bumi dan manusia. Sifat superioritas membuat manusia semakin bengis terhadap alam. Sifat eksploitatif, ekspansif, arogan, dan ingin menguasai segala aspek rupa-rupanya menjadi buah simalakama. Manusia hanya menyusahkan dan merugikan kehidupan tempat ia menumpang. Ketergantungan manusia terhadap bumi tidak serta-merta membuat mereka bijak. Ketamakan itu pula yang akan membuat eksistensi manusia punah dengan sendirinya.
Krisis dan Kapitalisme
Indonesia menjadi salah satu aktor penyumbang kerusakan lingkungan. Eksploitasi hutan di Kalimantan dan Papua, serta aktivitas industri ekstraktif yang sembrono menjadi pangkal krisis lingkungan hidup. Deforestasi demi industri ekstraktif begitu masif. Hal itu menyebabkan penyusutan hutan sebagai penyerap emisi karbon dioksida. Apakah hal ini baik untuk masyarakat? Tentu tidak.
Menurut A. Sonny Keraf, elitisme ekonomi yang terpusat pada segelintir elite mampu membeli kekuasaan politik melalui kolusi dan nepotisme. Hal ini mengakibatkan kebijakan pro lingkungan tidak mempunyai akar yang kuat, sebab patronase politik menjadi labil dan semu demi kepentingan elite. Kelabilan itu dimanfaatkan segelintir pemodal besar untuk melipatgandakan keuntungan lewat eksploitasi sumber daya alam.
Baca juga:
Neo-liberal kental kaitannya dengan akselerasi kapitalisme. Keduanya sama-sama mencuri pundi-pundi profit ekonomi guna memuluskan langkah bisnisnya. Dalam kerangka berpikir kapitalis, profit menjadi orientasi utama dan lingkungan terletak di variabel bungsu. Akhirnya postur kebijakan kapitalis dibangun berlandaskan paradigma energi tak terbarukan. Fosil menjadi faktor teratas dalam melengkapi kecanduan terhadap eksploitasi lingkungan.
Paradigma eksploitatif menjadi monster menakutkan bagi bumi. Kapitalisme merongrong kesehatan bumi dan tak lagi berpatokan pada aturan formal bernegara. Semua hal dipangkas demi keuntungan. Nihilnya solusi sahih negara untuk menghentikan perusakan lingkungan membuat pos-pos mitigasi yang diupayakan masyarakat sia-sia.
Tinggal menghitung waktu untuk sampai di titik nadir. Lingkungan yang sudah tidak lagi akrab akibat ketamakan manusia akan meluluhlantakkan prospek kehidupan jangka panjang. Pada prinsipnya, lingkungan tak semata perihal teknis, melainkan juga praktik yang wajib didasari etika dan moralitas. Etika lingkungan hidup sangat diperlukan dalam upaya menumbuhkan kembali harapan akan kehidupan yang lebih paripurna.
Editor: Prihandini
One Reply to “Delapan Miliar Penduduk Dunia dan Ancaman Krisis Lingkungan”