Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Diplomasi Kebatilan Pasca Tragedi Kanjuruhan

Mohammad Rafi Azzamy

3 min read

Empat puluh hari berlalu semenjak tragedi yang menewaskan ratusan nyawa di kota tempat tinggalku. Jalanan yang tadinya penuh dengan baliho kemarahan dan kekecewaan perlahan berubah seperti semula—lengang, macet, serta penuh polusi dan polisi. Nyawa-nyawa yang melayang lambat laun berubah menjadi angka belaka—barangkali fenomena ini koheren dengan yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, “Meninggalnya satu nyawa berarti kematian, meninggalnya banyak nyawa berarti data statistika”.

Merawat ingatan tentang Kanjuruhan:

Lambat laun, tragedi Kanjuruhan hanya dianggap sebagai tragedi kemanusiaan yang tak boleh terulang semata, problem-problem sistemis di baliknya semakin tak tampak bak hantu yang hanya menjadi bayang-bayang.

Jujur, sebagai orang Malang yang tinggal sangat dekat dengan lokasi tragedi Kanjuruhan, saya masih merasa sulit untuk menganalisis—atau setidaknya membaca secara jernih—tragedi Kanjuruhan karena emosi yang kuat masih menjerat sekujur pikiran saya. Hingga saat ini, mungkin sudah puluhan bahkan ratusan artikel, postingan, dan aksi terkait tragedi Kanjuruhan berhamburan di beranda pikiran saya. Perlahan-lahan, saya cermati fenomena yang berkembang dan eureka!

Di tengah kesedihan akan tumbangnya teman-teman saya sekaligus kemarahan atas tindak aparat, saya melihat fenomena menarik di balik tragedi Kanjuruhan—yang barangkali luput dari analisis netizen dan akademisi. Fenomena itu terkait dengan pengetahuan dunia internasional atas kebobrokan pengurus bola sekaligus aparat kita.

Telah kita lihat bagaimana tragedi Kanjuruhan disorot sangat intens oleh media-media internasional. Al Jazeera meliput tragedi Kanjuruhan dalam salah satu liputan yang berjudul Witnesses recount chaos, blame police in Indonesia stadium deaths, lalu The Washington Post dengan salah satu liputan yang berjudul How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium, atau The New York Times di salah satu liputannya yang berjudul Indonesian Soccer Tragedy Fans Fled as Police Fired Tear Gas, Causing Deadly Rush For Exits.

Bukan hanya media-media internasional saja yang menyoroti tragedi Kanjuruhan, suporter-suporter dunia pun memberikan dukungan moral sekaligus mengecam brutalitas aparat. Sebut saja suporter Bayern Munchen yang membuat koreo bertuliskan “More than 100 people killed by the police! Remember the dead of Kanjuruhan” di salah satu pertandingan mereka atau suporter Borussia Dortmund yang di salah satu pertandingan mereka membuat koreo bertuliskan Malang, kamu tidak sendirian—Justice for Kanjuruhan.

Berbagai liputan ini menjadikan tragedi Kanjuruhan bukan hanya tragedi bagi warga Malang, bukan pula Jawa Timur atau Indonesia. Tragedi Kanjuruhan adalah tragedi internasional dan duka dunia. Jika kita analisis tragedi Kanjuruhan ini lewat kacamata komunikasi massa, maka dapat kita lihat bahwa:

Tragedi Kanjuruhan merupakan sebentuk fenomena—yang secara diplomatis—membuka mata dunia akan kebobrokan aparat dan manajemen sepak bola kita.

Mari kita analisis lebih jauh bagaimana tragedi Kanjuruhan ini menjadi media diplomasi bagi rakyat Indonesia dalam mengungkap kebatilan aparat.

Genealogi Diplomasi  

Apa itu diplomasi? Terma diplomasi kerap kali dipahami sebagai suatu agenda negosiasi damai antarnegara demi meraih kesepakatan bersama. Dalam kajian hubungan internasional, hal-hal yang menyangkut diplomasi hari ini telah diatur di dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations (VCDR)—perjanjian yang menetapkan kerangka hubungan diplomatik di antara negara-negara yang berdaulat yang ditandatangani pada tahun 1961 di Vienna—dengan banyak ihwal sopan-santun di dalamnya.

Baca juga:

Mahasiswa hubungan internasional—yang studinya sangat akrab dengan diplomasi—mungkin akan sedikit heran ketika membaca arah tulisan ini yang berupaya menunjukkan bagaimana tragedi Kanjuruhan menjadi media diplomasi masyarakat kita untuk membongkar kebobrokan aparatnya. Untuk memahami arah dan maksud dari tulisan ini, kita mesti membawa terma diplomasi lepas dari jerat yang Gramsci sebut dalam Selection from the Prison Notebook sebagai statolatri atau negara-sentrisme secara definitif.

Definisi diplomasi yang terjerat negara-sentrisme misalnya definisi rumusan Magalhaes dalam bukunya The Pure Concept of Diplomacy. Di situ dijelaskan bahwa diplomasi adalah instrumen kebijakan luar negeri untuk pembentukan dan pengembangan hubungan damai antar pemerintah dari negara-negara yang berbeda melalui perantara yang disetujui bersama oleh masing-masing pihak. Sementara itu, definisi diplomasi yang tidak terjerat oleh negara-sentrisme dapat kita simak dari Hamilton dan Langhome dalam The Practice of  Diplomacy: Its Evolution, Theory and Administration, yakni tindakan hubungan damai antara entitas-entitas politik, para pelakunya, dan agen yang diberi wewenang.

Kedua definisi itu memiliki kesamaan, yakni penekanan pada unsur perdamaian dalam diplomasi. Namun, jika kita lihat pendapat George dan Simons dalam The Limits of Coercive Diplomacy, kita akan menemukan bahwa diplomasi tidak selalu menggunakan cara damai dalam prosesnya. Ada yang disebut diplomasi koersif, yaitu penggunaan ancaman atau kekuatan yang terbatas untuk membujuk lawan agar tidak mengubah status quo yang menguntungkan mereka atau untuk menunda maupun membatalkan intervensi.

Saya kira definisi-definisi diplomasi di atas belum memadai untuk membaca tragedi Kanjuruhan sebagai media diplomasi dalam rangka membongkar kebusukan aparat negeri ini. Artinya, kita perlu melampaui definisi-definisi diplomasi itu dengan mengambil pembacaan lain terhadap diplomasi. Misalnya, James Der Derian dalam On Diplomacy dan Mediating Estrangement: A Theory for Diplomacy yang mendefinisikan diplomasi sebagai mediasi antar individu-individu, kelompok-kelompok, atau entitas-entitas yang terasing.

Diplomasi jugalah merupakan sistem komunikasi masyarakat internasional—perlu diklarifikasi agar tidak kembali terkungkung pada statolatri, masyarakat internasional di sini berarti masyarakat dunia yang melampaui definisi nation yang dibakukan dalam Perjanjian Westphalia—seperti kata Alan James dalam Diplomacy and International Society. Singkatnya, diplomasi dapat dilakukan oleh siapa saja, alih-alih hanya oleh negara.

Tulisan lain oleh Mohammad Rafi Azzamy:

Diplomasi Kebatilan

Dengan mendefinisikan diplomasi sebagai mediasi antar kelompok-kelompok terasing, kita dapat mengetahui bagaimana tragedi Kanjuruhan adalah suatu diplomasi. Tragedi Kanjuruhan memediasi kelompok terasing seperti suporter Arema dengan remuknya manajemen sepak bola dan brutalnya para aparat via media-media internasional. Selain sebagai ajang mediasi, diplomasi—seperti kata Paul Sharp dalam For Diplomacy: Representation and the Study of International Relation—jugalah merupakan bentuk representasi. Diplomasi merepresentasikan identitas suatu kelompok tertentu, tak terkecuali tragedi Kanjuruhan yang menjadi ajang representasi remuknya manajemen sepak bola dan brutalnya aparat Indonesia.

Tragedi Kanjuruhan ialah fenomena yang menunjukkan betapa brutalnya aparat dan betapa kacaunya manajemen sepak bola kita pada dunia. Inilah yang saya maksud sebagai diplomasi kebatilan. Sudah semestinya tragedi ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, bukan malah menjadi ajang saling menyalahkan—karena sudah terlihat jelas siapa yang salah—dan mencari pembenaran atas kebatilan yang telah dilakukan. Walau pembahasan tentang tragedi Kanjuruhan lambat laun tenggelam, tapi fakta bahwa tragedi ini adalah duka dunia yang selalu diingat dalam sejarah tidak akan berubah. Usut tuntas, panjang umur perjuangan!

 

Editor: Emma Amelia

Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email