Pedagang Martabak dari Mars

Polisi Bebal, Masyarakat Kanibal

Alfian Bahri

3 min read

Polisi Indonesia sudah tidak malu lagi untuk terang-terangan melanggar nilai paling dasar dan universal bagi sebuah penegak hukum di manapun di dunia yaitu memberi perlakuan yang sama terhadap warga negara dan tidak berpihak pada kekuasaan.

Biasanya polisi masih menerima laporan dari warga negara biasa terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seorang pejabat tinggi negara untuk kemudian tidak menindaklanjutinya. Tapi kali ini, mereka bahkan tidak berpura-pura lagi. Laporan balik Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti terhadap indikasi keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di pertambangan emas Blok Wabu di Papua bahkan langsung ditolak oleh polisi tanpa tedeng aling-aling.

Sebagai perbandingan, laporan Luhut, salah seorang paling berpengaruh di Indonesia, terhadap Haris dan Fatia dengan tuduhan pencemaran nama baik bukan saja secara khusus disambut dan diterima oleh satu tim polisi khusus, laporan tersebut langsung ditindaklanjuti dan hanya dalam beberapa minggu saja polisi sudah berhasil mendapatkan bukti yang cukup untuk menetapkan kedua pegiat HAM tersebut sebagai tersangka.

Padahal jika dilihat dari penting dan mendesaknya bagi masyarakat, pelaporan Luhut hanya menyangkut diri pribadi seorang pejabat publik atau hanya ego pribadi yang terluka karena dikaitkan dengan suatu skandal. Tetapi, pelaporan Haris dan Fatia adalah untuk kepentingan masyarakat luas. Bayangkan berapa kerugian negara dan rakyat dalam eksploitasi blok Wabu yang mengandung emas dan mineral lain senilai hampir Rp 200 triliun. Menurut laporan kelompok-kelompok masyarakat madani yang kredibel dan punya rekam jejak yang kredibel, blok tersebut hanya dibagi-bagi antar segilintir pengusaha, mantan pejabat serta pejabat aktif militer dan polisi.

Satu hal lagi yang sulit diterima akal sehat adalah sebagai pejabat publik Luhut sudah seharusnya dikritik dan siap untuk dikritik dan kalau salah satu orang terdekat Presiden Jokowi ini memang tidak terlibat dia hanya perlu membeberkan bukti-bukti ke publik bahwa dia tidak terlibat dan menangkal semua tuduhan kepada dirinya. Dengan demikian, namanya akan bersih dan masyarakat akan bahkan dia akan lebih dihormati dan dipercaya lagi.

Tindakannya yang justru melaporkan Haris dan Fatia justru menunjukkan kepanikan dan bahwa tuduhan kedua orang tersebut bisa jadi benar sehingga ia perlu mengandalkan kekuasaannya untuk membungkam kritik dan tuduhan tersebut.

Tindakan Luhut ini juga menunjukkan situasi masyarakat Indonesia yang sangat mudah untuk mempolisikan orang lain.  Tingkah kekanakan semacam itu justru diproduksi atau dicontohkan oleh pemimpin negeri dengan dalih menciptakan efek jera, demokrasi, NKRI, dan keadilan.

Baca juga: 

Yang bikin geleng kepala, kasus-kasus seperti itu selalu memiliki model pelaporan yang berbasis data penggalan video beberapa detik. Kalau modelnya begini,  alih-alih atas nama membela diri, bukankah ini lebih mirip pencarian kesalahan? Karena kita mencabut konteks hanya untuk mencari sepenggal teks yang salah. Di sini, kesalahan bukan  cuma dicari, melainkan dicari-cari.

Dalam kasus Haris-Fatia, mereka menyebut keterlibatan Luhut dalam tambang emas Papua. Harusnya, pemimpin negeri ini beserta instrumen hukumnya menjadikan itu bahan refleksi. Dalam demokrasi yang sehat, metode berpikir harus dilawan dengan metode berpikir. Bukan malah dipentung dengan pelaporan. Apalagi status LBP adalah pejabat pemerintahan.

Bila hal semacam ini terus menerus diproduksi, efeknya akan melebar dan meresap ke dalam alam pikiran masyarakat luas. Hal yang salah kaprah ini bila terus diproduksi akan menciptakan kebenarannya sendiri. Tahap lebih lanjut, ini akan menjadi budaya. Sungguh potret yang mengerikan.

Cita-cita Reformasi yakni berdemokrasi sehat semakin jauh dari gapaian. Kita sebagai masyarakat akan terbiasa bertengkar sesama masyarakat itu sendiri, bertengkar dengan penguasanya sendiri. Kondisi seperti itulah yang nyatanya mengancam persatuan. Mungkin ungkapan Bung Karno benar adanya, bahwa tugas kita lebih berat karena melawan bangsa sendiri.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti sedang berjalan dalam dua jalan yang beriringan. Satu di sisi bebas, satu di sisi pantauan. Siapa  pemantau itu? Jelas mereka yang berseberang pendapat, kepentingan, kedudukan, dsb. Entah itu pihak koalisi, oposisi, atau siapa pun berpotensi jadi pemantau demokrasi sekaligus penghukum. Perbedaan yang menjadi modal pertumbuhan kedewasaan berubah menjadi ladang baku hantam. Dan itu semua diberi jalan oleh undang-undang melalui ITE.

Saat Orde Baru, pemantauan itu jelas. Selama tidak mengusik kekuasaan Soeharto, segala argumentasi dan ekspresi bisa dibilang aman. Tapi hari ini, yang katanya sudah demokrasi, pemantau itu tersebar di mana-mana, berserakan setiap waktu, dalam ruang-ruang tanpa batas dan gamblang. Pemantau itu bergerak lebih cepat ketimbang apa pun. Ia siap menghukummu tanpa pernah kau sadari dari mana itu berasal dan terjadi.

Saat seorang ingin mengkritisi jalan tol, harga sembako, aturan toa, dsb, bukan pihak istana yang mempermasalahkan, bisa jadi pendukung istana atau yang sejenisnya itu yang kebakaran jenggot. Atau bisa jadi, pihak istana yang menyuruh pendukungnya. Dan kita sama-sama tahu, pendukung istana ini tersebar secara masif di mana-mana dalam bentuknya yang beragam. Bahkan mereka tanpa ragu lebih siap dari apa pun untuk mencari kesalahan, menggoreng wacana, dan akhirnya menciptakan wacana publik. Bisa saja itu adalah orang lain yang kamu temui di warung kopi saat antri atau tukang parkir yang membantumu di Indomart.

Bagaimana bisa kita menghindari masalah ini? Jelas mustahil selain sikap diam saja. Karena, saat kita beragumen, pemantau itu lebih siap datang dari segala arah. Bisa saja dari saudara, tetangga, kerabat, sahabat, teman, orang lain. Karena di era informasi segalanya terhubung, terikat, dan terjalin. Kalau memang solusinya harus diam, lantas mengapa kita masih menyebutnya demokrasi?

Inilah bahaya yang sesungguhnya. Perasaan takut beragumen akan terbentuk. Di bawah sadar kita. Lebih tepatnya, tubuhku demokrasi, hatiku tidak.

Kita sebagai bangsa masih gagap dengan perbedaan. Kemampuan kita menerima perbedaan hanya sebatas kehadirannya, tapi tidak dengan sikap berbedanya. Akibatnya, kita seperti berjalan dengan dua muka. Satu menerima kehadiran, satunya lagi mencaci kehadiran. Fenomena semacam ini berkembang pesat di Indonesia. Terlebih di era informasi, ini seperti tutup bertemu botol. Media sosial (cyberspace) menjadi ladang subur bagi model hidup dua muka ini.

Pesta Pora Cybersapce

Masyarakat Indonesia termasuk pengguna Internet terbanyak di dunia. Apa itu bukti kalau kita melek teknologi? Tentu saja tidak. Karena di sisi lain, tingkat literasi kita jauh dari cukup. Di sinilah letak masalah dasarnya.

Dalam cyberspace, kehadiran menemukan singgasana terluas dan terbesarnya dalam sejarah peradaban. Di cyberspace, kucing minum susu pun bisa menunjukkan eksistensinya. Jadi, gegap gempita kehadiran benar-benar sedang terjadi dalam kehidupan dewasa ini. Itu berarti perbedaan sudah bukan lagi menjadi “hadir”, melainkan hadir dengan keharusan, kewajaranan, dan kesemestiannya.

Pada titik ini, kita harus memahami budaya baru tersebut. Bahwa di dalam cyberspace, perbedaan sudah tidak bisa lagi dihindari. Jadi, kalau kita terus dan gagal menyikapi perbedaan, kita akan menjadi masyarakat yang “kanibal”.

Satu-satunya jalan untuk hidup damai dalam cyberspace adalah dengan peningkatan literasi. Itu harga mutlak. Argumen harus dibalas dengan argumen, bukan dengan sentimen, apalagi sampai tahap pelaporan. Kalaupun tidak cukup bisa beragumen, sikap refleksi diri harus dikedepankan. Bisa jadi, argumen orang lain itu benar adanya. Ini merupakan konsekuensi dari modernitas (cyberspace).

Tanggung jawab peningkatan literasi bukan cuma untuk pemerintah, ini tannggung jawab semua lapisan masyarakat. Pemerintah minimal wajib menjadi contoh dan menertibkan para pendukungnya. Kalau tidak begitu, kedewasaan demokrasi benar-benar jauh dari harapan.

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email