Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Rekonstruksi Emansipasi: Melebur Dikotomi Otoritarianisme dan Demokrasi

Mohammad Rafi Azzamy

5 min read

Akhir-akhir ini, barangkali kita amat sering mendengar seruan-seruan semacam “demokrasi telah mati”, “negara kita kembali pada otoritarianisme”, “demokrasi telah dikorupsi oleh para politisi”, dan seruan-seruan semacamnya. Seruan-seruan ini awalnya terdengar bak terompet kiamat sangkakala yang membuat pikiran masyarakat kocar-kacir. Lambat laun, seruan yang masih terus keras ini menjadi seruan normatif yang mungkin tak heroik di kepala masyarakat.

Terbukti dari sikap pewajaran masyarakat terhadap tindak-tanduk brengsek dari pemerintah. Sikap ini lahir dari mulai layunya semangat emansipatoris yang berawal dari perasaan tak berdaya. Perasaan ini bisa dilihat dari narasi masyarakat, seperti “yah, mau bagaimana lagi, kita kan rakyat kecil.”

Perasaan tak berdaya dan fenomena pewajaran inilah yang kemudian membuat seruan-seruan kritis terhadap pemerintah hanya menjadi tuntutan moral semata—mengasihani wong cilik. Kita dapat mempertanyakannya lewat psikoanalitis: Apa yang membuat seruan-seruan kritis itu menjadi hal yang biasa saja di mata masyarakat sehingga menimbulkan sikap pewajaran dan rasa ketakberdayaan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, rasanya kita dapat memulainya dengan mencurigai seruan-seruan itu terlebih dahulu, misalnya seruan “demokrasi telah mati” dan “negara kita kembali menuju otoritarianisme”, baik secara filosofis maupun secara sosiologis. Kemudian kita melanjutkan kecurigaan ini dengan mengajukan dua pertanyan naif: apa itu demokrasi? dan apa itu otoritarianisme?

Dua pertanyaan ini adalah satu bentuk manifes kecurigaan—jika dinarasikan mungkin akan seperti ini: apakah bangunan filosofis dari seruan-seruan “demokrasi telah mati” dan “negara kita kembali menuju otoritarianisme” sudah cukup kukuh sejak awal dikumandangkan menurut pemahaman masyarakat? Sejatinya, landasan filosofis dari seruan inilah yang menjadi spirit gerakan yang menyertai pikiran dan perasaan masyarakat atas kondisi negara.

Pelampauan Demokrasi dan Otoritarianisme pada Umumnya

Kita bisa mulai dengan mengobservasi pertanyaan naif pertama, yakni “apa itu demokrasi?”. Di bangku sekolah dan perguruan tinggi, pertanyaan ini sering kali dijawab mula-mula dengan melacak etimologinya yang tersusun dari diksi demos (rakyat) dan kratos (kekuatan). Lalu dilanjutkan dengan penjabaran bahwa demokrasi merupakan pemerintahan dengan rakyat sebagai kekuatan tertinggi—definisi ini saya rasa cukup naif dan perlu dilampaui.

Demikian pula pertanyaan kedua terkait otoritarianisme. Di bangku sekolah dan kuliah, pemaknaan terkait otoritarianisme kerap kali disimplifikasi, yakni suatu bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan, di mana kekuasaan politik terkonsentrasi dan ditekankan pada suatu pemimpin tertentu—Ajaibnya, secara naif konsep otoritarianisme dianggap sebagai konsep yang kontras alias bertentangan dengan demokrasi.

Baca juga:

Mari kita kupas pemahaman ini.  Dalam esai Membaca Politik Dunia Setelah Corona, Martin Suryajaya menjelaskan bahwa konsep fundamental demokrasi adalah penitikpusatan hak sebagai sentral kajian dan praksisnya. Inilah yang membuat demokrasi dipandang sebagai sistem ideal, sebab pendistribusiannya akan hak yang kurang-lebih merata.

Ada hal yang menggelitik dari persoalan hak dalam demokrasi ini, yakni alegori terkenal dari matematikawan Austria bernama Kurt Godel yang disebut ‘celah Godel’ atau ‘kalimat Godel’. Kira-kira bunyinya seperti ini: “Apakah orang memiliki hak untuk menghilangkan sistem hak?—apakah hak dalam demokrasi memungkinkan orang memiliki hak untuk otoriter? Dengan kata lain, sahihkah hak kita untuk membatalkan sistem hak yang melandasi seluruh hak, termasuk hak kita tadi?”

Selain alegori dari Godel ini, kita juga dapat mempermasalahkan ‘demokrasi’ secara semiotik—yang kemudian kita lepas dikotominya dengan ‘otoritarianisme’. Merujuk kembali pada definisi etimologisnya, demokrasi diartikan sebagai kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Lalu kita coba ambil salah satu seruan seperti “demokrasi telah mati”, “bukan lagi dari rakyat untuk rakyat, melainkan dari rakyat untuk pejabat” atau “para pejabat tak lagi berpihak pada rakyat”. Timbul pertanyaan menggelitik di sini, bukankah pejabat secara sosiologis (dalam stratifikasi pada variabel-variabel sosial) juga merupakan rakyat? Dan jika demikian, bukankah saat pejabat mementingkan kepentingan dirinya sendiri maka ia juga mementingkan kepentingan rakyat?—sebab pejabat juga merupakan rakyat.

Rakyat dan Masyarakat

Untuk menganalisis problem ini, rasanya kita perlu mengajukan pertanyaan naif ketiga, “apa itu rakyat?” Observasi atas pertanyaan ontologis ini adalah satu bentuk upaya untuk menangani beberapa problem mendasar dalam kajian sosio-politik kita.

Orang-orang “korban” pendidikan yang tidak komprehensif—yang fabrikatif dan korporatif—dengan kapasitas pengetahuan mereka, mungkin akan mendefinisikan ‘rakyat’ sekadar komponen dari negara. Penganut definisi ini akan gelagapan saat timbul lagi pertanyaan: “apakah tidak ada rakyat sebelum adanya negara?” lalu pertanyaan lanjutannya “rakyat itu definisi yudiris atau antropologis?”

Mari kita lampaui definisi ini. Bruno Bosteels, dalam kata pengantar yang berjudul “This People Which is No One” dalam buku What is a People? mengatakan bahwa term ‘rakyat’ hari ini sering kali dipahami sebagai term politis belaka—kata Bosteels:

“While they all to a greater or lesser extent plead in favor of the people as a political category that is still valid today.”

Term ‘rakyat’ semestinya dipahami lebih dari itu, baik secara biologis atau secara antropologis, bukan secara politis semata. Dan jika demikian, penafsiran term ‘rakyat’ sebagai term politis itu dapat disebut sebagai konstruksi dari sistem dunia modern. Tak heran jika kita melihat kebanyakan orang mendefinisikan ‘rakyat’ sangat state-sentris (sekadar komponen dari negara), sebab pengartikulasian historis terhadap term ‘rakyat’ dijangkarkan pada sistem dunia modern.

Alain Badiou secara rigid dan sistematis menjelaskan term ‘rakyat’ dalam esainya Twenty-Four Notes on the Uses of The Word “People”, dalam esai ini Badiou memiliki kesimpulan:

The “people” is therefore a political category, either leading up to the existence of a desired state denied existence by some power or in the aftermath of an established state of which a new people, both interior and exterior to the official people, requires its demise.

Di sini dapat kita lihat bagaimana term ‘rakyat’ itu adalah term politis yang mesti diartikulasikan secara state-sentris—suatu konstruksi dunia modern yang titik-tolaknya ialah perjanjian Westphalia—sebagai suatu term yang tak lepas dari negara.

Baca juga:

Kita menjadi paham perbedaan yang mendasar antara ‘rakyat/people’ sebagai term politis-yuridis dengan ‘masyarakat/society‘ sebagai term sosio-antropologis, yang mana keduanya memiliki jangkar ontologis yang sama yakni manusia.

Dengan memperjelas status terminologis dari term ‘rakyat’, kita dapat mengoreksi orang yang mensimplifikasikan definisi ‘rakyat’ tanpa pemilahan metodologis, di mana ini membuat mereka terjebak di kubangan problem yang dilematis. Misalnya problem yang hadir karena pendefinisian yang mengabaikan status ontologis suatu term, seperti definisi bahwa “rakyat merupakan komponen suatu negara” yang menimbulkan problem “apakah sebelum ada negara tidak ada rakyat?” saat berada dalam medan analisis.

Dari penjelasan metodologis pada term ‘rakyat’ ini, kita dapat menjawab problem semiotis bukankah pejabat ialah rakyat? dalam seruan “pejabat tidak berpihak pada rakyat” dengan mula-mula membedakan mana ‘rakyat kecil’ dan mana ‘rakyat besar’, lalu mempertegas status sosio-politis bahwa pejabat adalah rakyat besar yang memiliki otoritas politik. Nah sekarang mari kita tarik sistem berpikir ini ke dalam analisis pada demokrasi dan otoritarianisme.

Membaca Kembali Dikotomi Demokrasi dan Otoritarianisme

Untuk mulai analisis, kita mesti melepas sekat dikotomis antara otoritarianisme dan demokrasi yang selalu diamini secara dangkal dengan mempertegas persamaan asumsi metafisis keduanya, bahwa baik otoritarianisme maupun demokrasi sama-sama mempostulatkan ‘rakyat’—otoritarianisme berlandaskan beberapa rakyat, sedangkan demokrasi keseluruhan rakyat sebagai titik berangkat metodisnya.

Perbedaan dan dikotomi keduanya itu hanya dapat dilihat pada level epistemiknya. Kita bisa kutip Popper dalam Open Society and Its Enemies terkait hal ini. Demokrasi adalah sistem masyarakat terbuka yang berlandaskan asumsi bahwa manusia itu bisa salah, sedangkan otoritarianisme memiliki asumsi dasar masyarakat tertutup yang berlandaskan atas apa yang Popper sebut sebagai ‘ramalan sejarah’, suatu asumsi metafisik akan sejarah yang melandasi segala fenomena. Jika disederhanakan secara epistemik, demokrasi memiliki kacamata dinamis akan masyarakat, sedangkan otoritarianisme memiliki kacamata yang statis dalam melihat masyarakat.

Di sini kita perlu menegaskan bahwa dikotomi Popperian ini bergerak dalam tipologi masyarakat (society), bukan rakyat (people). Dikotomi ini hanya akan sah apabila kita terlebih dahulu melepaskan konsep ‘manusia’ dari belenggu yuridis dan politis yang telah menjangkar jauh di dalam konstruksi keberadaannya,  yang menjadi segala pra-kondisi ontologisnya—entah sebagai subjek politik maupun subjek hukum. Popper menyebutnya dengan istilah melepaskan diri dari ‘segala belenggu tribalis’.

Dengan kata lain, dikotomi antara demokrasi dan otoritarianisme berlaku pada masyarakat, bukan sistemnya. Jika dikotomi ini diberlakukan pada sistem, maka ‘celah Godel’ akan muncul menghantuinya.

Rekonstruksi Emansipasi

Dari ekspedisi pikiran ini, mari kita baca seruan-seruan di paragraf pertama. Dengan segenap kecurigaan, kita bisa asumsikan jangan-jangan seruan-seruan heroik terkait “matinya demokrasi” dan “kembalinya otoritarianisme” itu hanyalah onani jargonik dari para aktivis yang kental akan euforia karena kedangkalan asas filosofis.

Seruan-seruan ini menjelma menjadi narasi pseudo-sinis pada kekuasaan, yang kemudian membangun fantasi fundamental masyarakat terhadap ketakberdayaan dan pewajaran pada kekuasaan. Maka sahihlah kata Zizek bahwa demokrasi ibarat menekan tombol lift, seberapa banyak kita menekannya, lift hanya akan berjalan sesuai temponya.

Mari kita lampaui kondisi ini dengan terlebih dahulu melepas segala asumsi tentang ‘demokrasi’, ‘otoritarianisme’, ‘rakyat’, ‘kekuasaan’, ‘hukum’ bahkan ‘negara’. Dan mari kita mulai emansipasi dari hal yang paling kongkrit dalam hidup kita—bukan hanya onani jargon dan ejakulasi audiensi, semisal ‘hidup-mati’, ‘sehat-sakit’, atau ‘lapar-kenyang’.

Berangkat dari sinilah semestinya kita membaca politik, tentang siapa yang lapar dan siapa yang kenyang, siapa yang hidup dan siapa yang mati, siapa yang sehat dan siapa yang sakit. Term-term seperti ‘demokrasi’, ‘otoritarianisme’, dan tetek-bengeknya hanyalah konsep yang membantu kita memahami kondisi kongkrit ini,

Jika konsep tersebut justru menjauhkan kita dari pembacaan akan kondisi kongkrit ini, konsep tersebut adalah suatu bentuk metafora yang merusak peradaban kita—dan ketarberdayaan serta pewajaran atas penindasan penguasa dimulai dari sini.

Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email