Satu bulan pasca tragedi Kanjuruhan, arek-arek Malang merasa belum ada penanganan berarti dan pengusutan tuntas atas kasus ini. Mereka masih bertanya-tanya, di manakah keadilan bagi ratusan suporter yang menjadi korban?
Tentu kini arek-arek Malang masih terluka dan berduka. Bagaimana tidak, pertandingan antara tim kesayangan mereka, Arema FC, yang melawan Persebaya FC pada tanggal 1 oktober 2022 berakhir menjadi tragedi kemanusiaan yang menewaskan ratusan korban. Banyak pihak merasa dirugikan dalam tragedi tersebut, terutama arek-arek Malang itu sendiri. Sorotan utama dalam tragedi tersebut adalah tindakan represif aparat dan ketidakseriusan pengusutan tuntas dalang kejadian tersebut.
Tindakan represif ini cukup dibenarkan oleh beberapa suporter. Ada banyak video yang menjadi bukti kebiadaban aparat dalam menangani para suporter. Penanganan suporter pada saat kejadian dilakukan seperti penanganan massa demonstrasi. Jelas kedua situasi tersebut berbeda sehingga penanganan di Kanjuruhan tidak dapat dibenarkan.
Tragedi ini juga mengundang simpati suporter sepak bola dari seluruh dunia. Banyak yang menilai kematian ratusan jiwa itu bukan karena kerusuhan, melainkan karena kebiadaban aparat. Bermunculan narasi-narasi yang mengatakan bahwa mereka tewas dibunuh oleh aparat. Tragedi ini juga menjadi bukti betapa tidak profesionalnya pemerintah dan federasi dalam menjamin keamanan kompetisi sepak bola nasional.
Baca juga:
Belum Ada Penanganan Serius
Arek-arek Malang yang menjadi korban tidak sepantasnya diam. Mereka harus terus mendesak pihak-pihak yang terlibat untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan ini. Beragam aksi damai bermunculan setelah tragedi ini terjadi.
Tragedi ini bukan hanya mencoreng identitas Polri, melainkan juga identitas Kota Malang. Arema adalah klub sepak bola kebanggan warga Malang. Banyak orang mengenal Kota Malang melalui Arema. Arema adalah identitas dan jati diri arek-arek Malang. Apakah pantas arek-arek Malang diam saja ketika identitas dan jati dirinya tercemar?
Satu bulan pasca tragedi, arek-arek Malang menilai bahwa tragedi kemanusiaan ini masih belum mendapatkan penanganan yang serius. Salah satunya adalah momen di mana perwakilan Aremania tidak dilibatkan dalam penyidikan. Keresahan arek-arek Malang tidak ditanggapi serius sama sekali.
Di sinilah kecacatan logika berpikir pemerintah dan juga federasi. Pengusutan tuntas tragedi ini harusnya melibatkan Aremania selaku korban. Ketika korban tidak dilibatkan sama sekali dalam pengusutan, maka tak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh arek-arek Malang selain melawan.
Perlawanan ini bukan semata-mata untuk pribadi. Perlawanan ini adalah upaya untuk mengembalikan nama baik Arema sebagai identitas arek-arek Malang, sekaligus memperjuangkan keadilan tanpa pandang bulu. Pengawalan penanganan kasus tidak boleh kendor sedikit pun. Setiap rangkaian penyidikan dan investigasi harus sepenuhnya melibatkan dan dikawal oleh arek-arek Malang.
Otoritas Menghindari Tanggung Jawab
Pernyataan kepolisian yang disampaikan kepada publik selama satu bulan belakangan ini kebanyakan menghindari tanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan. Jika dibiarkan dan tidak dikawal oleh arek-arek Malang, mereka tidak akan memperoleh keadilan sesuai konstitusi yang berlaku. Melihat berbagai pihak yang terus menghindar dan seakan-akan tidak dapat menemukan pihak yang bertanggung jawab, rasa-rasanya, kekecewaan arek-arek Malang merupakan hal yang sangat wajar.
Baca juga:
Terlebih lagi, Humas Kepolisian Republik Indonesia tidak memberikan informasi yang membantu. Ia justru menghindar dari apa yang telah dilakukan anggota institusi tersebut. Salah satu yang menjadi perhatian, ia mengatakan bahwa banyak personel yang turun bertugas tidak membawa senjata. Padahal sudah jelas, di berbagai media tersebar video polisi membawa senjata berjenis senjata gas air mata saat kerusuhan di Kanjuruhan.
Di sini terdapat kecacatan logika berpikir. Sudah jelas pihak kepolisian melakukan hal tersebut. Akan tetapi, mereka justru menghindar alih-alih bertanggung jawab. Selama sebulan ini, investigasi yang dilakukan oleh kepolisian kebanyakan sama sekali tidak membantu. Yang justru banyak membantu adalah Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Dari awal, investigasi TGIPF justru mengungkap problem-problem yang ada.
Klaim-klaim lain dari pihak kepolisian justru semakin membuktikan bahwa mereka memang biadab dan cacat logika. Misalnya klaim mengenai penggunaan gas air mata yang kadaluarsa terhadap para suporter. Gas air mata yang sudah kadaluarsa akan jauh lebih berbahaya dan mematikan. Hal ini dapat dibuktikan dari memerahnya mata korban tragedi Kanjuruhan. Bobroknya logika berpikir kepolisian dapat dilihat ketika mereka mengklaim bahwa kandungan gas air mata yang kadaluarsa akan menurun dan tidak berbahaya.
Klaim ini pun ditolak oleh ahli kimia, Dr. Rob Hendrickson, Direktur Medis di Oregon Poison Center. Menurutnya, senyawa yang terkandung di dalam gas air mata yang kadaluarsa memang akan berkurang dan bereaksi menjadi senyawa sederhana. Akan tetapi, zat tersebut akan berubah menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen. Zat ini akan membuatnya jauh lebih berbahaya dan beracun bagi manusia.
Ada berbagai macam dugaan ketidakseriusan otoritas dalam menanggapi tragedi Kanjuruhan. Apabila arek-arek Malang buta akan jalannya investigasi dan penyidikan, secara tidak langsung kejadian-kejadian ini tidak akan menghasilkan keadilan.
Mengawal Proses Pengusutan
Slogan “usut tuntas” harus terus digaungkan dan tidak boleh mati sedikit pun. Jika slogan ini mati, keadilan akan mati. Walaupun ada banyak pihak yang berupaya menjatuhkan, arek-arek Malang harus tetap bersatu dan bersama-sama mengawal penyelesaian tragedi kemanusiaan ini.
Selain itu, arek-arek Malang juga harus bahu membahu dengan pemerintah kota untuk menjalin komitmen bersama dalam pengusutan tuntas tragedi ini. Arek-arek Malang juga harus membersamai keluarga korban guna menjamin keamanan mereka. Selama satu bulan ini, keluarga korban yang seharusnya mendapatkan pendampingan hukum justru diintervensi agar tidak melakukan autopsi.
Tragedi ini harus tuntas demi nama baik Indonesia, sepak bola, dan Kota Malang. Bagaimana pun, arek-arek Malang harus terus bersatu dan bergerak bersama. Arema, stadion Kanjuruhan, dan Aremania adalah jati diri dan kebanggaan masyarakat Malang. Tragedi kemanusian di Kanjuruhan telah melukai hati para arek-arek Malang, juga menjadi bukti betapa bobroknya pemerintah dan federasi sepak bola nasional.
Editor: Prihandini N