Generasi digital native pada era digital memunculkan harapan kemajuan sekaligus fakta yang memilukan. Di satu sisi, generasi yang sejak lahir telah mampu mengakses dunia digital menghadirkan harapan peradaban yang menyejahterakan. Akan tetapi, di sisi lain, era digital native menghadirkan berbagai tragedi sosial. Interaksi sosial disosiatif justru menjadi kewajaran di ruang-ruang digital.
Tahun 2019, dunia digital dihebohkan dengan kasus perundungan Audrey. Saat perhatian besar didapat, ternyata Audrey melakukan pembohongan publik. Ini menunjukkan bahwa pada era digital native, terjadi kerentanan pembohongan dan kepalsuan jika tidak diimbangi dengan nilai dan norma yang pakem (Soekanto & Sulistyowati, 2013).
Dunia digital juga seakan melepas sekat batas norma kesopanan yang berlaku dalam kehidupan sosial. Di ruang digital, individu seakan mendapat kuasa untuk berkata sembarangan kepada individu lain. Seperti yang dialami Shasa Puspita Dewi yang menikah dengan salah satu anggota keluarga Manurung. Shasa mendapat perundungan hebat di ruang digitalnya. Keluarga Manurung mendapat hujatan yang tidak senonoh karena keadaan fisiknya.
Selain itu, relasi yang terjadi di ruang digital juga memungkinkan berbagai kepalsuan komunikasi untuk mendapat sensasi. Relasi sosial tak lagi tulus untuk mewujudkan kerjasama, melainkan sebagai alat transaksi untuk akumulasi keuntungan ekonomi (Hardiman, 2021).
Fenomena ruang digital yang memanfaatkan interaksi sosial disosiatif untuk mendapat ketenaran kini kian banyak dan dinormalkan. Nikita Mirzani, Denise Chariesta, dan Barbie Kumala Sari menjadi bentuk nyata preseden buruk tragedi komunikasi di ruang digital. Mereka menjadikan sensasi interaksi sosial disosiatif dengan orang lain sebagai konten untuk mendapat adsense.
Nikita Mirzani sendiri mengakui secara gamblang bahwa dirinya mampu menghasilkan uang miliaran rupiah dari endorse jika dirinya sedang bersitegang dengan pihak lain di ruang digital. Begitu pun dengan Denise dan Barbie Kumala Sari yang seringkali menjadikan konflik di dunia digital sebagai momentum mencari konten dan mendapat adsense. Ini menunjukkan bahwa komunikasi tidak lagi menjadi sarana mencapai intersubjektivitas seperti kata Hebermas , melainkan menjadi sarana mencapai ketenaran untuk keuntungan kapital (Kurniawan, 2020; Simmel, 2015).
Baca juga:
Kapitalisme, Ketamakan, dan Kehancuran Relasi Sosial
Semakin jauh gerak kembang digital native, semakin menjadi-jadi ketamakan dan kepalsuan relasi sosial di ruang digital. Relasi sosial hanya menjadi lumbung konten dan adsense yang bertujuan ekonomi. Marcuse menganggap era semacam ini sebagai era manusia satu dimensi, manusia yang hanya merujuk pada kerja-kerja ekonomi tanpa mempertimbangkan dimensi lainnya, seperti dimensi hati nurani (Kant, 2005).
Era digital native akhirnya menjelma menjadi era kapitalisme mutakhir, penuh ketamakan digital, dan era detik-detik hancurnya relasi sosial. Segala hal yang didigitalisasi diupayakan untuk memperoleh untung sebasar-besarnya. Inilah mentalitas kapitalisme gaya baru hari ini. Bahkan, hal krusial dan sakral kian dipermainkan menjadi konten untuk adsense.
Seperti kasus Baim Wong dan Paula yang menjadikan isu KDRT sebagai batu loncatan untuk membuat konten prank ke polisi. Hal ini menjadi contoh paling mencolok hilangnya sekat batas yang legal dan tidak dalam dunia digital. Demi mendapat akumulasi ekonomi, banyak orang memanfaatkan momentum tragedi kemanusiaan.
Kini relasi-relasi di ruang digital tidak ada yang benar-benar menghasilkan hubungan yang tulus, kebanyakan terkesan bermotif ekonomi. Segala sesuatu diorientasikan demi konten dan adsense. Dalam bahasa Goffman (1961), ruang digital yang penuh dengan sandiwara disebut sebagai dramaturgi. Berbagai hal yang berseliweran di dunia digital hanyalah sandiwara dan kepalsuan-kepalsuan belaka dengan tujuan konten dan mendapat kembalian adsense. Tubuh manusia lain menjelma angka-angka yang dapat dikeruk nilainya dalam bentuk adsense berdasar jumlah penonton, like, coment, dan subscribe (Hardiman, 2021).
Demi konten dan adsense relasi sosial dibuat-buat (settingan). Kebohongan disebarkan untuk mencapai ketenaran. Fenomena hubungan Kekeyi dengan pacar-pacar palsunya menjadi salah satu contoh relasi palsu untuk tujuan ketamakan konten dan adsense. Relasi dunia digital yang disajikan dalam fenomena tersebut mengubah makna relasi yang tulus menjadi sekadar transaksi profit yang tak berkesudahan (Ramin, 2017).
Penyajian kepalsuan relasi ini memberikan kontribusi buruk bagi potensi generasi digital native di masa depan, mengingat media massa dan digital menjadi sarana sosialisasi bagi individu (Soekanto & Sulistyowati, 2013). Dunia digital yang bernuansa buruk, penuh kekerasan simbolik (perundungan), tamak, dan orientasi profit yang berlebihan akan menghambat potensi generasi digital native untuk perubahan yang lebih manusiawi. Maka dari itu, potensi digital native perlu diselamatkan dengan menghadirkan nuansa digital yang berasas nilai-nilai cinta (Erich Fromm), kemanusiaan (Gayatri Spivak), dan moral (Amitai Etzioni).
Baca juga:
Nilai Cinta, Kemanusiaan, dan Moral
Berbagai kecamuk tentang dunia digital yang tidak sehat memerlukan perhatian yang serius. Maka dari itu, pada tahap inilah eksistensi sosiologi sebagai disiplin ilmu yang menjaga kewarasan manusia perlu ditunjukkan. Secara sosiologis, dunia digital dengan berbagai kebencian kemanusiaan yang bertebaran dapat diredam dengan nilai cinta, kemanusiaan, dan moral.
Nilai cinta bagi Fromm (2018) menjadi esensi dasar kehidupan manusia. Manusia yang memiliki nilai cinta tidak akan menghakimi manusia lain. Sebab, dasar cinta adalah cinta diri. Artinya, sebelum bisa mencintai orang lain, setiap individu harus mencintai dirinya sendiri. Jika individu tidak mampu mencintai orang lain dan memilih mencaci, memaki, dan melakukan perundungan pada orang lain, artinya ia belum mampu mencintai dirinya sendiri (Fromm, 2018).
Spivak (2021) menekankan bahwa nilai kemanusiaan yang sejati berdasar pada kepedulian atas kalangan-kalangan yang tersingkir. Keluarga Manurung bagaimanapun tetaplah manusia yang harus dimanusiakan. Kendati demikian, mereka tetap masuk sebagai kalangan tersingkir, terutama di dunia digital. Suaranya sering diabaikan dan sering direndahkan. Maka sejatinya, perlu pendekatan kemanusiaan yang lebih memihak pada kalangan terpinggirkan ini (Kurniawan, 2020).
Terakhir, nilai moral atau suara moral. Etzioni (1993) menjabarkan secara tegas bahwa suara moral adalah panggilan tulus diri manusia untuk berelasi dengan manusia lain. Suara moral menjadi esensi dasar nilai manusia yang berporos pada hal yang baik atau buruk. Suara moral manusia benar-benar berfungsi ketika relasi tak hanya berorientasi pada angka-angka keuntungan ekonomi, melainkan pada kedekatan sosial dan personal yang tulus tanpa pamrih.
Editor: Prihandini N