Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Membedah Doktrin Kesopanan dan Fantasi Kesantunan

Mohammad Rafi Azzamy

5 min read

Saya tergelitik saat orang-orang membahas masalah kesopanan dan kesantunan dalam video saya yang mengkritik otoritarianisme akademik. Yang banyak orang sorot pada video tersebut adalah penggunaan diksi “matamu picek” dan “bajingan” karena dinilai tak sopan dan kasar. Tapi apa benar demikian? Apakah menggunakan moral normatif saja sudah cukup untuk melihat bahwa diksi tersebut tak sopan dan tak layak diucapkan? Sebelum itu, apa itu kesopanan? Saya yakin kebanyakan orang yang mempermasalahkan kesopanan saya akan tidak suka dengan pertanyaan ini, dengan anggapan bahwa saya memunculkan pertanyaan ini semata untuk ngeles.

Tentang Kasus Kesopanan Saya

Saya adalah mahasiswa baru di salah satu kampus swasta ternama di kota Malang. Sebelum menjadi mahasiswa baru, saya tergabung dengan salah satu gerakan di Malang yang bernama ASURO (Aliansi Suoro Raktjat), gerakan kritis terhadap pemerintah yang mewadahi berbagai macam elemen di Malang Raya. Sehubung dengan panasnya negara kita sebelum saya PESMABA—kenaikan harga BBM, polemik RKUHP, kasus Munir yang tak kunjung selesai—jelas gerakan ASURO turut mengkritisi pemerintah.

Yang saya herankan adalah, dari berbagai elemen gerakan yang turut menyuarakan, tak ada yang berasal dari kampus saya. Padahal dalam perjalanannya, kampus saya bisa dibilang sangat vokal dalam menanggapi isu-isu kerakyatan. Belum lagi di kampus saya ada aturan soal pelarangan rambut gondrong pada mahasiswa, jelas ini feodalisme—menuju industrialisasi—sekolah yang sejak SMK saya tentang keras-keras. Berangkat dari keresahan inilah saya ingin bersuara dalam forum-forum besar saat PESMABA, seperti saat acara pembukaan, forum fakultas, dan semacamnya. Ah, ternyata ekspektasi saya hancur lebur.

Pada acara pembukaan, tak ada sesi tanya jawab. Saya protes terkait hal ini kepada panitia. Mereka pun berjanji akan mengadakan sesi tanya jawab sekaligus memberi kesempatan pada saya di forum fakultas. Saat sesi tanya-jawab dibuka di forum fakultas, saya adalah orang yang pertama kali angkat tangan dan berdiri untuk mengajukan pertanyaan. Namun, moderator malah mengatakan “mata saya buram jadi ndak kelihatan.” Saya bersama teman-teman saya berteriak bahwa kami mau mengajukan pertanyaan, tapi moderator justru diam dan menunggu yang lain angkat tangan. Pada akhirnya, saya tidak dipersilakan.
Amarah saya meluap-luap, sebab saya telah menyiapkan referensi—buku Dark Academia dan Toxic University—untuk menanggapi pemaparan yang nantinya berimplikasi pada pertanyaan. Dari sinilah saya membuat video yang di dalamnya saya menyebut adanya “otoritarianisme akademik” dalam kampus, disertai dengan narasi “matamu picek” yang merujuk pada buramnya mata dan hati moderator, juga “bajingan” yang merujuk pada pola pembungkaman kampus pada saya—yang mana beberapa dosen mengatakan bahwa kampus menginstruksikan panitia agar saya tak diberi panggung dengan surat tertulis. Barangkali di sinilah kita dapat melihat kampus sebagai lembaga otoriter, seperti yang dikatakan Flemming dalam Dark Academia.
Kebanyakan orang menangkap narasi saya dalam bingkai ‘kesopanan’ mereka, bukan pada poin kritik saya. Orang-orang mengatakan bahwa saya tak memiliki kesopanan dan kesantunan dalam berbicara. Saya terus intropeksi soal kesopanan ini. Tapi bagi saya, kekurangajaran itu penting karena kebusukan itu seringkali bersembunyi di balik kesantunan.
Psikoanalisis Kesopanan
Ernst Cassier dalam An Essay on Man menjelaskan bahwa manusia adalah ‘animal symbolicum‘ alias ‘binatang simbolik’. Manusia adalah makhluk yang terjerat jejaring penanda yang ditenunnya sendiri. Jejaring penanda itu berupa untaian-untaian norma, makna, dan semacamnya. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang terjerat makna atau norma yang ditenunnya sendiri. Kita bisa melihat—menggunakan kacamata psikoanalisis Lacanian—bagaimana manusia dikonstruksi oleh bahasa dengan menyorot bahwa pola perkembangan manusia itu selalu didorong oleh tanda atau bahasa. Misalnya bayi yang awalnya tidak bisa bicara dan menamai benda-benda, diajari oleh orang di sekitarnya terkait nama-nama hingga norma-norma.
 Untuk lebih mudah memahami ini, kita bisa berangkat lewat puisi WS. Rendra:
Kosong, itulah aku sejati
Itulah inti kesadaran
Tanpa rupa. Tanpa warna
Kerna itu
Bisa menjadi apa saja
(Mengolah kesadaran)
Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa ‘kesopanan’ adalah untaian tanda yang dikonstruksikan pada kesadaran kita melalui ajaran-ajaran baik budaya maupun bahasa—hingga kita mendapatkan pengetahuan terkait ‘kesopanan’ ini. Lalu kita bisa bertanya, siapakah yang dapat dengan fasih mengkonstruksi kesadaran kita ini? Siapa yang menentukan kebenaran dalam kesadaran kita? Atau lebih spesifiknya, siapakah yang dapat menanamkan pengetahuan tentang ‘kesopanan’ pada pikiran kita? Michael Foulcault dalam Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings mengatakan:
 “Truth is a thing of this world. …Each society has its regime of truth, its ‘general politics’ of truth: that is, the types of discourse which it accepts and makes function as true.”
Dari perkataan Foulcault ini, kita dapat memahami bahwa setiap masyarakat memiliki “rezim kebenaran” sendiri, setiap masyarakat memiliki norma-norma sosialnya masing-masing, dan tentunya setiap masyarakat memiliki wacana kesopanannya.
Wacana terkait kesopanan dikonstruksikan oleh masyarakat kepada kesadaran kita melalui dominasi pengetahuan arus utama, atau yang Raymond Williams sebut dalam Base and Superstructure in Marxist Cultural Theory—melanjutkan Antonio Gramsci—sebagai hegemoni pengetahuan. Hegemoni pengetahuan ini begitu kuat mendominasi alam bawah sadar kolektif masyarakat kita. Akhirnya, ia menjadi aspek fundamental dari berbagai-macam norma sosial, termasuk kesopanan.
Namun, dalam konteks permasalahan ‘kesopanan’ saya kali ini, siapa ‘masyarakat’ yang dimaksud? Apa yang saya lontarkan itu merupakan konten sosial media, yang jelas sama sekali lepas dari konteks etno-geografis. Kita dapat membaca ini melalui perkembangan kajian cyber morality, kajian yang berupaya mengkonstruksikan aspek-aspek moral dalam dunia digital. Tapi ada problem ontologis di sini, bagaimana bisa dunia digital yang lepas dari aspek-aspek etno-geografis dapat memiliki aspek moral yang masih terbelenggu dalam kerangka etno-geografis atau moral masyarakat tertentu? Hanya dengan membangun landasan moral universal lah problem ini dapat diatasi.
Krisis ontologis moral atau kondisi yang Yasraf Amir Piliang sebut sebagai era post-morality inilah yang kemudian membuat berbagai macam klaim moral netizen bermunculan. Ada yang bilang bahwa saya tak sopan sekaligus tak punya attitude karena ada narasi “bajingan” dan “matamu picek”. Ada pula yang bilang kalau narasi saya itu narasi biasa saja. Saya takkan berdebat mengenai apa yang saya lakukan bermoral atau tidak—karena banyaknya problem filosofis maupun praktis yang ada—saya lebih tertarik menganalisis mengapa kemarahan netizen tidak terelakkan?
Baca juga:
Fantasi Kesantunan
Jacques Lacan dalam Seminar X: L’ angoisse menjelaskan bahwa kecemasan tidaklah tanpa objek, objek kecemasan ialah objek ganjil—dalam kasus ini, objek kecemasan netizen merupakan objek ganjil. Untuk memahami dengan mudah apa itu ‘objek ganjil’ ini, kita bisa mengutip Freud dalam The Uncanny yang mengatakan bahwa keganjilan adalah sesuatu yang terhadapnya kita tidak siap untuk hadapi—familiaritas suatu objek menentukan ganjil tidaknya ia di hadapan subjek yang menghadapinya. Saat subjek berhadapan dengan objek ganjil (tidak familiar), ia akan merasa cemas, marah, gelisah, was-was dan semacamnya.
Ujaran “matamu picek” dan “bajingan” yang saya lontarkan itu menimbulkan kemarahan bagi netizen karena ujaran tersebut bukanlah hal yang familiar bagi mereka—hal yang asing dari kehidupan normatifnya—oleh karenanya, ujaran saya merupakan objek ganjil bagi mereka. Lacan mengatakan bahwa dimensi keganjilan ini muncul karena kaburnya batas antara yang familiar (heimliche) dan yang tidak familiar (unheimliche). Batas ini menjadi kabur karena ada suatu hal yang terjadi pada objek, objek yang kita awalnya familiar seketika menjadi aneh dah tidak familiar. Netizen melihat mahasiswa baru tidak akan mengatakan “matamu picek”. Ketika ada maba yang mengatakan itu, maka akan terjadi suatu ganjilan.
Kita perlu menegaskan di sini bahwa sedari awal, ‘objek’ tidak memiliki makna, makna dari objek itu dikonstruksikan oleh masyarakat pada kesadaran kita—yang mana pada awalnya kesadaran kita itu kosong. Makna berfungsi sebagai jahitan penambal kekosongan dari ‘objek’ dan familiaritas adalah fungsi utama dari ‘makna’ ini—apabila familiaritas hilang, suatu objek akan menjadi objek ganjil.
Pada awalnya mahasiswa baru adalah objek yang kosong atau objek ganjil, dalam artian mereka tidak harus melakukan sesuatu atau bebas melakukan apapun sesuka hatinya sebelum ada makna yang dikonstruksikan padanya. Masyarakat mengkonstruksikan makna kesopanan dan kesantunan pada mahasiswa baru agar ia terlihat familiar (sesuai dengan norma yang ada). Apabila ada mahasiswa baru yang tidak sesuai dengan konstruksi makna dari masyarakat, maka mahasiswa baru itu akan menjadi keganjilan yang menimbulkan kemarahan bagi masyarakat—dalam hal ini netizen.
Selubung makna yang dikonstruksikan masyarakat guna menutupi keganjilan objek itu memainkan peran sebagai apa yang Lacan sebut ‘fantasi fundamental’, istilah yang pertama kali Lacan gunakan dalam Seminar VIII: Le Transfert untuk menunjukkan bagaimana subjek tersandera oleh fiksasi terhadap suatu objek. Dalam kasus saya, fantasi fundamental ini menunjukkan bagaimana netizen telah tersandera oleh fiksasi makna tentang kesopanan maupun kesantunan. Saat ada suatu hal yang bertentangan dengan fiksasi mereka, hal itu akan menjadi objek ganjil yang menimbulkan kemarahan dan kegelisahan bagi mereka.
Dari sini, kita dapat melihat bagaimana pola kecemasan dan kemarahan netizen bekerja terkait persoalan kesopanan saya. Saya ingin netizen mengakrabkan diri pada objek ganjilnya—yaitu ujaran “matamu picek” dan “bajingan”—dengan merekonstruksi makna di dalamnya sesuai familiaritas yang ada.
Saya mengatakan “matamu picek” itu sebagai metafora yang menggambarkan betapa butanya moderator terhadap keberadaan saya, sekaligus betapa butanya kampus saya terhadap persoalan negara. Dan saya mengatakan “bajingan” itu sebagai majas hiperbola untuk menggambarkan betapa kentalnya otoritarianisme akademik sekaligus minimnya keterbukaan kritik di kampus saya. Terakhir, perlu diingat bahwa narasi ‘kesopanan’ seringkali dipermainkan oleh mereka yang melakukan penindasan agar kita diam dan tak melakukan perlawanan.
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

2 Replies to “Membedah Doktrin Kesopanan dan Fantasi Kesantunan”

  1. “Apa yang saya lontarkan itu merupakan konten sosial media, yang jelas sama sekali lepas dari konteks etno-geografis”
    ini adik rafi ngomong gini atas dasar apa? landasan apa yang dia punya sampai bilang kalau konten sosial media sama sekali terlepas dari konsep budaya dan letak geografis? benar-benar mengarang bebas.

    untung ini bukan jurnal ilmiah astaga 🤧🤧

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email