Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan

Mohammad Rafi Azzamy

2 min read

Hukuman atas keterlambatan kehadiran atau pengumpulan tugas, pelarangan memanjangkan rambut bagi murid laki-laki, serta pelarangan mewarnai rambut dan berhias hanyalah sedikit dari begitu banyaknya peraturan yang sering kali mereduksi hak akademik dan kebebasan siswa dengan dalih kedisiplinan.

Alih-alih mendidik untuk mencerdaskan, sekolah masih saja fokus untuk membuat murid tunduk atas semua aturan. Alih-alih memberi ruang untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri, sekolah justru seperti menjadikan murid layaknya benda-benda yang tak memiliki kebebasan.

Ketimbang menyesuaikan peraturan sekolah dengan melibatkan perspektif murid-muridnya, sekolah malah membuat peraturan yang seolah-olah mutlak. Padahal, perspektif murid tak bisa diabaikan begitu saja. Sering kali, kreativitas dan kepercayaan diri peserta didik ditindas oleh peraturan sekolah.

Sekolah juga masih sering menyematkan label kepada murid ketika kreativitas dan penampilan mereka tampak bertentangan dengan norma konvensional sekolah. Kekerasan fisik dan psikis sebagai hukuman juga masih banyak terjadi. Sangat disayangkan, pembuat kebijakan sekolah masih banyak yang belum sadar bahwa peraturan yang mereka buat justru melestarikan budaya penindasan.

Budaya Ketergesaan

Doktrin kedisiplinan merupakan sesuatu yang disebut ahli kecepatan, Paul Virilio, sebagai dromologi, yakni budaya ketergesaan. Dromologi ini membuat manusia merasa seolah dikejar sesuatu yang ia pun tak mengetahui pasti apa yang mengejarnya. Dromologi membuat manusia merasa harus mengejar target-target budaya. Kita dapat melihat bahwa doktrin disiplin ini membuat para murid tergesa-gesa. Kedisiplinan menjadi semacam kejaran yang menghantui alam sadar murid, menjadi tuntutan transenden di dalam pikirannya.

Baca juga:

Kita bisa ambil satu contoh, yakni murid yang harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Padahal, masih ada banyak hal yang belum mereka kerjakan. Ada kewajiban dan hak anak yang hilang akibat jam masuk sekolah yang terlalu pagi. Pekerjaan domestik membantu orang tua seperti memasak, menyiapkan sarapan, membereskan rumah terabaikan. Hak murid untuk bercengkerama dan menerima afeksi keluarga di pagi hari juga hilang.

Murid dikejar-kejar sesuatu sehingga ia tergesa-gesa dan tak sempat memaknai kehidupannya. Doktrin disiplin ini sering kali dibalut alasan bahwa murid dapat bangun lebih pagi. Padahal, ketergesa-gesaan ini sebenarnya adalah ilusi budaya yang menjangkit kesadaran kita.

Relasi Kuasa

Bingkai kedisiplinan di sekolah terlihat positif karena ada ilusi yang melekat padanya. Ilusi itu adalah nilai-nilai etis dan estetis. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu digarisbawahi bahwa saya tidak menolak kedisiplinan, tapi saya menolak makna kedisiplinan dari sekolah.

Makna disiplin yang diemban oleh sekolah sangatlah banal, sebab secara tersembunyi makna disiplin adalah “turutilah apa kata sekolah”. Sebaik apa pun seorang murid, tetapi ia tidak menuruti perkataan sekolah, maka anak itu akan dianggap sebagai murid yang tidak disiplin. Maka, sekolah harus mendisiplinkan mereka, entah itu dalam bentuk ancaman, hukuman, atau tindakan lainnya. Fenomena seperti ini sering dinormalisasikan karena adanya sesuatu yang disebut Foucault sebagai relasi kuasa, di mana pihak yang memiliki sedikit kuasa terpaksa tunduk pada mereka yang memiliki kuasa lebih besar.

Baca juga:

Ketimpangan kuasa ini membuat murid terpaksa tunduk dengan doktrin sekolah walaupun tidak jelas dasar intelektual dan dasar etisnya, yang biasanya untuk melanggengkan kepentingan sekolah. Sering kali, sekolah merasa memiliki kendali penuh atas muridnya semata-mata untuk menjaga nama baik sekolah. Oleh karena itu, peraturan-peraturan sekolah yang paling aneh sekali pun harus tetap dipatuhi oleh para murid, tak peduli dengan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh muridnya.

Murid harus paham apa itu relasi kuasa dan apa akibatnya. Mereka juga harus bisa berpikir jernih dan bersikap rasional. Dengan demikian, mereka dapat mempertanyakan dan menentang peraturan-peraturan yang mereduksi hak-haknya.

Intelektualitas Mengakhiri Penindasan

Jika sekolah memiliki kuasa untuk mendisiplinkan muridnya, murid juga memiliki hak untuk berbicara soal kedisiplinan kepada sekolah mereka. Mereka bisa menyatakan lewat kritik. Ketika berbicara tentang kedisiplinan, murid dapat mempertanyakan apa tujuan utama sekolah, alih-alih sebagai lembaga pendidikan yang mengayomi, mengapa sekolah menjadi tidak disiplin dan menyeleweng dari tujuan utamanya dengan melanggengkan penerapan hukuman yang menindas siswanya.

Sekolah sering kali lupa bahwa tugas utamanya adalah sebagai wadah mencerdaskan manusia. Pemberian hukuman kepada murid tidak sama dengan mencerdaskan mereka.

Dengan melawan baik menggunakan kritik praktik atau kesadaran dalam pikiran, murid dapat membenahi peraturan sekolah yang menjauhkan sekolah dari tujuan utamanya. Sebagai murid, mereka bisa menentang peraturan dengan mengedepankan moral dan intelektualitas untuk mengakhiri tradisi tindas-menindas ala sekolah yang banal.

Editor: Prihandini N

Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya | Manusia yang Healingnya adalah Makan Enak

29 Replies to “Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan”

  1. Fafifu wasweswos ini menarik dan hanya juga akan didapat dengan intelektualitas dan sinyal minimal 4G. PR besar indonesia ada disitu

    1. Udah banyak bro, di yutub2 dah banyak. Dari toxic positivity, work life balance, dll.

  2. Percuma berdebat tentang sekolah dan kedisiplinan, karena sejak setelah orba pendidikan di negara kita hanya setingan. Hal itu karena kita selalu melanggar apa yg sudah ditetapkan oleh kemendikbud.

    1. Disiplin juga perlu ya untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak, mungkin yang perlu diperbaiki jam masuk sekolah, hukuman yang lebih kreatif dan memberatkan muridnya.

  3. mungkin saya bisa mengerti perasaan penulis karna dulu saya lulusan SMK STM yang peraturanya semi militer.
    tapi adik-adik yang masih SMA/K itu adalah pola kehidupan. tanpa harus ditutup-tutupi itulah dunia nyata sebenarnya. pengaruh kekuasaan akan semakin terlihat nanti setelah lulus sekolah-kuliah dan mulai bekerja. dimana dislipin agar gaji gak dipotong, demi mengejar target, belum lagi ketika demi mendapatkan pekerjaan harus kalah dengan yang mempunyai link orang dalam dan sebagainya. tuntutan untuk adik-adik sebenarnya bukan pada nilai, tapi pada menghadapi tantangan dunia sebenarnya. yang sudah sedikit di spil disekolah adik-adik saat ini. Semangat

    1. Ini justru jelas yang ingin di kritik penulis. “Tanpa harus ditutup-tutupi, itulah ‘Dunia Nyata’ sebenarnya.” , Itu yang menurut Rafi adalah ilusi budaya. Mungkin Pierre Bourdieu akan bilang itu hal tersebut dengan istilah Doxa (yang seolah-olah sudah tidak perlu lagi dipertanyakan kebenarannya), berarti mereka yang punya kuasa sukses meracuni membuat ilusi tersebut sampai kita merasa sekolah dan segala tetek bengek makna disiplinnya adalah keharusan dimana kita harus tunduk.

      Bravo Rafi, aku padamu banget.

    2. Ilusi bisa menjadi fiksi, kepolisian adalah penegakan disiplin yg tidak perlu disangsikan lagi, tapi apa hasilnya, ada polisi tembak polisi ilusinya dan fiksinya masih di cari, Mungkin melenceng tapi relasinya institusi yg diterapkan disiplin tinggi saja terjadi seperti itu, bagaimana dengan disekolah, penulis ngajak kita berfikir logis maksudnya esensi tentang disiplin pada dunia pendidikan

  4. Sebagai ganti msl disiplin yg dikritisi, program apa yg perlu dilakukan oleh sekolah? . Program kebebasan ? Kebebasan spt apa ? Layak ditunggu pandangan berikutnya sebagai solusi.

  5. Sebagai ganti msl disiplin yg dikritisi, program apa yg perlu dilakukan oleh sekolah? . Program kebebasan ? Kebebasan spt apa ? Layak ditunggu pandangan berikutnya sebagai solusi.

  6. Sekolah tidaklah salah tetapi dari oknum-oknum yang ada didalamnya itu yg bermasalah. Dengan adanya wadah kekuasaan disitu timbulnya peraturan-peraturan tentang sekolah.

  7. Keren Rafi, saya tidak tau apa yang terjadi seutuhnya di sekolah kamu seperti apa jika saya melihat dari sudut pandang mu, kamu merasa bahwa aturan yang ada di sekolah spesifik “kedisiplinan” Itu tidak penting apalagi dengan ditambah adanya hukuman yang memberatkan siswa… Memang tidak penting aturan yang ada di sekolah, saat saya merasakan menjadi siswa ingin punya rambut panjang, masuk kelas sesuka hati dll….tapi kamu akan mengerti ketika kamu sudah dewasa dan ada banyak kewajiban yang harus kamu lakukan dan salah satu langkah menempuh hal tersebut dengan kamu berkaca dari sebuah aturan “kedisiplinan” Dari sekolah

    1. memang sampai sekarang belum tau tuh fungsi aturan rambut gaboleh panjang…
      apa gurunya gamau kalah saing??atau kkebotakan dini??

    1. Tapi keren buat masnya, sudah sangat berani.
      Ditunggu ya mas tulisan berikutnya!

  8. Mantap sangat tajam dan eksentrik.Artikel ini mengingatkan saya pada judul lagu “Another Brick In the Wall”. Negri ini membutuhkan sebuah dobrakan pendidikan. Kemajuan pendidikan tentu akan mempengaruhi progresifitas integritas masyarakat. Menurut saya hal yang dapat kita lalukan sbg siswa saat ini adalah, keseimbangan antara refleksi diri dan formalitas sosial termasuk sekolah.

  9. Mantap sangat tajam dan eksentrik.Artikel ini mengingatkan saya pada judul lagu “Another Brick In the Wall”. Negri ini membutuhkan sebuah dobrakan pendidikan. Kemajuan pendidikan tentu akan mempengaruhi progresifitas integritas masyarakat. Menurut saya hal yang dapat kita lalukan sbg siswa saat ini adalah, keseimbangan antara refleksi diri dan formalitas sosial termasuk sekolah.

  10. memang sampai sekarang belum tau tuh fungsi aturan rambut gaboleh panjang…
    apa gurunya gamau kalah saing??atau kkebotakan dini??
    ya gini hidup di negara konoha

  11. Saya sd swasta dan smp negeri dan smk swasta, disitu saya bisa melihat perbedaannya.

    Sewaktu saya masih di sd dan smk swasta, tidak terlalu merasa tertekan untuk melakukan kedisiplinan sesuai pandangan sekolah. kebebasan untuk melakukan keahlihan dan mencoba hal baru bisa dirasakan sewaktu saya bersekolah swasta dan memang jam sekolah diwaktu sekolah swasta sd maupun smk, sangatlah lama. tapi kami tidak terlalu tergesa-gesa untuk belajar apa yang kami tidak suka, keahlian apa yang kami suka.

    Dan untuk waktu saya bersekolah di smpn di jakarta, saya merasakan perbedaan yang sangat jauh sekali, saya sempat kaget diawal pertama saya mulai belajar di sekolah negeri, Disinilah Budaya tergesaan saya rasakan, Seperti saya harus bangun pagi jam 5, karna sekolah jam 6:15 harus mulai berbaris setiap hari dan jam 6:30 baru mulai belajar seperti biasa dan Jika saja sekolah negeri di indonesia masuk jam 8 / 9 pagi mungkin sewaktu dulu 2010 saya masuk smp, mungkin akan sama seperti sekolah dijepang.
    Karna saya sudah merasakan moving class, dan dimana kita dilatih harus selalu siap berpindah kelas dan selesai / tidak selesai tugas kita. kita harus berpindah kelas, dan tidak sekali dua kali saya suka ketinggalan buku dan alat tulis. Rasa nyaman untuk belajar dan kebebasan sangat kurang saya rasakan di sewaktu saya smp.
    Untuk soal berpakaian lebih ketat untuk negeri daripada swasta walau beberapa aturan banyak kesamaan disetiap sekolah lainnya.

  12. Mas, maaf, ketika Mas ngomong ini apakah sudah ada datanya? Karena sejauh mata memandang saya ngga menemukan data kaya, dari 100 SMA, atau dari 1000 Siswa yang diwawancara, dst.

    Kalau ngga ada datanya, maaf, sebagus apapun narasi anda tetap tidak bisa dianggap valid

  13. Izin komen Bang saya juga anak SMK yang ngga setuju dengan peraturan yang kita anggap “berlebihan” Dengan embel embel “kedisiplinan” Tapi di sisi lain kita juga harus mikirin resiko yg bakal terjadi kalo peraturan dan embel embel kedisiplinan ini di hilangkan pertama jika peraturan masuk pagi di hilangkan gmna kita bakal terbiasa dengan dunia kerja yg lebih mutlak dari itu yang mau gamau kita harus nurut karna kita yang butuh kedua kalo seragam sekolah di hilang kan bakal ada kesenjangan sosial pembullyan siswa depresi kalo kita kiblatnya ke barat ya mungkin pendidikan disana jauh lebih baik tapi angka bunuh diri pelajar juga banyak banget karna kesenjangan sosial itu tadi dan kalo hukuman” Sekolah itu di hilangkan atau mungkin di ringankan makan akan lebih banyak siswa yang ga punya ketakutan akan pelanggaran dan lebih banyak membuat pelanggaran” Lainya KECUALI kita Punya Solusi Untuk me manage Resiko” Itu tadi yang bakal terjadi kalo peraturan sekolah itu di hilangkan Salam pelajar Bang Multimedia

  14. Mengkritisi hal2 diatas tanpa memberikan solusi yg tepat guna sama saja dengan menyiapkan generasi pemberontak yg tidak punya disiplin & etika, tidak tunduk pada wibawa & aturan.
    Kalau sudah masuk dunia kerja, mungkin pola fikir penulis akan berubah karena lebih banyak waktu yg dihabiskan dlm pekerjaan ketimbang keluarga.

  15. Sebenernya pola pikir disiplin itu dari diri sendiri apabila ada keinginan untuk kedepannya pengen terbiasa dengan kedisiplinan itu yang mungkin bisa bermanfaat ketika lepas dari pendidikan sekolah nantinya. Ya namanya pendidikan tujuannya juga untuk mendidik. Mungkin karena itu muncul pemikiran keterpaksaan sehingga akan terfikir sejenak seperti itu.
    Kembali ke tujuan pendidik yang memang ditugaskan untuk mendidik murid dengan caranya masing masing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email