Sedang membaca dan menulis sambil menyamar menjadi seorang guru

Dari Tragedi Kanjuruhan, Kita Tahu Kebrutalan Aparat Masih Terawat

Moh. Ainu Rizqi

3 min read

Sebelumnya, saya ingin mengajak pembaca untuk menundukkan kepala, mengheningkan cipta, merapal doa bagi para korban yang gugur di Kanjuruhan. Belum kering tanah kubur mereka. Belum kering air mata kerabat, keluarga, dan kita semua. Basah. Mengharu-biru. Hanya satu yang kering-kerontan meradang: kesadaran dan tanggung jawab!

Pertanyaannya, siapa yang perlu sadar dan bertanggung jawab? Ah, ini pertanyaan yang sangat mudah dijawab oleh pembaca sekalian.

Baru-baru ini, fans Bayern Munchen membentangkan spanduk dalam laga Bayern vs Viktoria Plzen di Allianz Arena pada gelaran Liga Champions. Spanduk besar itu dengan gamblang bertuliskan:

“More than 100 people killed by the police!… Remember the dead of Kanjuruhan.” (Lebih dari 100 orang dibunuh oleh polisi!… Kami mengenang mereka yang gugur di Kanjuruhan).

Dunia internasional jelas menampar dan meludahi wajah arogan kepolisian di Indonesia. Adakah rasa malu atau tanggapan dari pihak kepolisian atas sorotan tersebut? Sampai sekarang pun tak ada. Tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa aparat kepolisian memang sangat-sangat arogan dan kelewat pongah.

Suporter sepak bola di luar negeri dan di Indonesia sendiri sudah mengecam. Mereka bersatu, sekata, dan seiya untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan serta menuntut pihak-pihak yang bertengger di menara gading agar bertanggung jawab, termasuk aparat kepolisian bahkan pihak TNI. Mengapa?

Pertama, ratusan orang gugur karena tembakan gas air mata yang ditembakkan oleh polisi. Kedua, saat suporter memasuki lapangan, polisi dan TNI dengan ‘sok’ gagahnya memukul mereka dengan pentungan dan menginjak-injak mereka dengan sepatu lars. Ini tindakan biadab di negeri yang sering mengumandangkan kemanusiaan yang adil dan beradab”. Mereka manusia, ingat! mereka manusia yang harus dimanusiakan, mereka punya nyawa!

Kita harus mengakui bahwa kita tidak dapat menunjuk satu hidung saja untuk disalahkan dalam tragedi tersebut. Ada banyak faktor yang perlu dikulik lebih dalam. Akan tetapi, dalam tulisan ini saya hanya ingin menyoroti sikap dan tindakan pihak kepolisian yang selalu saja begitu dari waktu ke waktu.

Baca juga:

Sikap Konsisten yang Dipegang oleh Aparat

Melihat keberingasan aparat, terutama kepolisian di Kanjuruhan lalu, saya semakin mantap mengatakan bahwa mereka memang konsisten menutup mata dan telinga dan lari dari tanggung jawab. Mari kita menoleh sedikit ke belakang: kasus Ferdy Sambo, kasus pembunuhan KM 50, tindakan represif terhadap demonstran, dan masih banyak lagi.

Hingga detik ini, saya kerap merasa muak ketika Polri mempromosikan slogan “melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat”. Kenyataannya sama sekali tidak seperti itu. Kekerasan dan represi yang selama ini mereka gunakan terhadap masyarakat sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka melindugi.

Realitanya, mereka berlindung di balik kuasa. Dengan otoritasnya, mereka merasa berhak untuk melakukan apa saja terhadap orang lain yang berada di bawah mereka. Hal ini jelas tidak bisa dibiarkan dan didiamkan. Sudah banyak pihak yang mendesak, menuntut, dan menyoroti betapa institusi negara yang satu ini selalu saja begitu. Tulisan-tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi telah banyak pula menelanjangi kebobrokan institusi ini. Namun, tak ada iktikad untuk berbenah dan berubah.

Di Twitter, Okky Madasari dalam cuitannya menuliskan:

“Saat menulis kisah ini 13 tahun lalu, gambaran tentara di desa-desa, kantor kodim yang menyeramkan, sepatu lars & seragam loreng, seruan dwifungsi masih begitu membayang & terngiang.

Siapa sangka kini: di sini polisi, di sana polisi.”

Dalam cuitan tersebut, Okky juga mencantumkan sampul bukunya yang berjudul Entrok. Buku itu memang menceritakan perjuangan perempuan bernama Marni yang harus bergulat melawan otoritas, tak terkecuali aparat. Novel itu ditulis oleh Okky Madasari 13 tahun yang lalu. Artinya, selama 13 tahun, gambaran aparat yang berkuasa dengan arogan terhadap rakyat masih belum berubah.

Belum lagi dalam karya sastra lain, sebut saja Pasung Jiwa karya Okky Madasari, Pulang karya Leila S. Chudori, dan lain sebagainya yang membahas kebrutalan aparat. Hingga hari ini, potret itu itu masih saja terpampang di wajah kepolisian dan militer Indonesia. Oleh karenanya, saya mengatakan bahwa mereka konsisten dengan sikap mereka yang banal.

Senjakala Kepercayaan Kita

Tragedi di Kanjuruhan sudah membuka mata dunia bahwa institusi negara dan militer di Indonesia perlu berbenah, mulai dari akar rumput hingga puncak menara gadingnya. Singkatnya, pembenahan perlu dilakukan secara menyeluruh. Cukup sudah kiranya—minimal—mengakui kesalahan secara terbuka lalu ikut bertanggung jawab atas gugurnya saudara kita di Kanjuruhan. Itu syarat fundamental jika institusi tersebut masih ingin dipercaya oleh masyarakat.

Persoalannya adalah, saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi menurun. Hal itu dapat dilihat dari sosial media. Ada begitu banyak akun yang selalu mengkritik tindakan aparat kepolisian. Bahkan ada akun di Twitter dengan username @txtdariorangberseragam yang isinya khusus menunjukkan hal-hal memalukan dari kepolisian atau militer. Banyaknya komentar ataupun retweet di akun tersebut, menunjukkan bahwa netizen sudah muak terhadap aparat berseragam tersebut.

New York Times juga menyorot hal ini. Mereka mengatakan:

“Indonesia’s police force is highly militerizad, poorly trained in crowd control, and in nearly all instances, has never been held accountable for missteps, experts say.” (kepolisian di Indonesia sangat termiliterisasi, kurang terlatih dalam mengontrol massa, dan hampir dalam semua kasus tak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan langkah, kata para ahli).

Di sekitar saya sendiri, berdasarkan pengalaman pribadi, hampir tak ada lagi kawan saya yang menghormati dan memercayai aparat kepolisian. Institusi yang seharusnya menjadi tempat bersandar masyarakat itu kini bahkan tak lagi dipercaya. Lantas, bagaimana kami mau optimis terhadap aparat? Berat sekali rasanya. Bahkan, jika telah berbenah sekali pun, akan memakan waktu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Sebab luka yang ditorehkan telah begitu dalam.

Keangkuhan, kelalaian, ketidakbecusan, dan kebrutalan mereka sulit dilupakan begitu saja. Nama-nama yang mati di tangan mereka bukanlah sekadar angka, mereka tidak boleh dibiarkan begitu saja kemudian dilupakan. Belum lagi rasa trauma yang timbul dari masyarakat lainnya. Lalu mereka? Mereka akan hidup seperti biasa dan mungkin akan berulah lagi.

Tragedi Kanjuruhan wajib diusut tuntas. Semua pihak yang bersalah harus bertanggung jawab, bukan malah saling lempar batu sembunyi tangan. Saya tegaskan sekali lagi, aparat kepolisian juga militer harus secepatnya berbenah. Waktu telah berbicara. Tragedi telah menjawabnya. Sadar diri. Jika perlu harus sering membaca, jika tak ingin lagi ada tulisan ACAB (all cops are bastard) di tembok-tembok, pamflet, atau di timeline sosial media.

 

Editor: Prihandini N

Moh. Ainu Rizqi
Moh. Ainu Rizqi Sedang membaca dan menulis sambil menyamar menjadi seorang guru

One Reply to “Dari Tragedi Kanjuruhan, Kita Tahu Kebrutalan Aparat Masih Terawat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email