Hujan mana lagi yang kau renungkan?
Kepalaku semak belukar, dan juga seekor katak berkoar-koar meminta hujan. Tuhan, tolong kabulkan permintaannya, ia ingin sekali hujan. Kini tenggorokannya kering kerontang, sebagaimana kemarau membutuhkan permintaan katak.
Lalu, langkah kakiku terhenti, ada sebendung kehilangan yang hanyut di depan teras rumahku. Aku pun singgah sejenak untuk memeluk motorku, mengunci setangnya, agar aman dari derasnya air matamu.
Kau kapan pulang?/aku tak dapat pulang saat ini./kenapa?/hujan, kau tak lihat hujan semakin deras menggendong awan di halaman rumahku/kau ingat badai?/iya, ingat, kenapa?/kenapa ia harus menari saat awan duduk melingkar, membaca sebuah buku tentang bagaimana menghindari diri dari ular sawah/aku tak tahu, aku takkan pulang, jangan kau tanyakan lagi kapan aku pulang.
Sepetak renung 3 x 3 meter yang kulebarkan, namun tetap terasa semakin sempit. Tanaman-tanaman liar tumbuh mengelilingi tubuhnya yang diguyur hujan. Aku memeluk lututku sebab kedinginan, darahku diisap seekor nyamuk dan berakhir dipatuk ular penghuni semak belukarnya.
hujan mana lagi yang kau renungkan?/aku merenungi tangisanmu, ia deras serupa hujan, karena itu aku merenunginya, aku merasa bersalah, iya, salahku, kenapa dahulu kutaburkan garam di awan matamu, maafkan aku.
(2022)
–
Dingin
Sempit, keruh, letaknya tak karuan. Aku tergeletak menghadap langit-langit ruang tamu. Kala itu, tubuhku berubah menjadi seekor anak kangguru yang bersembunyi di kantung sang ibu.
Di tengah malam, aku meraup dingin di sebelah seekor anjing, diinjak seekor kucing, dikurung seekor burung yang bertengger di sarangnya.
Awan seumpama dirimu yang merajuk hari ini. Aku juga seumpama dirimu yang butuh pelukan.
Tubuhku seekor paus yang tersesat di sungai yang keruh, menggelepar mencari selembar selimut, tak bisa melihat rangkaian yang kusut.
Otakku seekor gagak yang meracau, memintaku untuk memikirkan cara cabut dari tempat nongkrong sekumpulan beruang kutub.
(2022)
–
Bertanya
Tak kutemukan akhir kisah yang baik pada buku pemberianmu. Lagi, lagi, dan lagi, aku tak temukan itu, aku menyerah. Kulenyapkan saja ia ke dalam kobaran api bersama puluhan buku-bukuku yang tiap hari mengurung diri demi bercak kuning di tubuhnya.
Apa kabar? Maukah kau berucap hal yang sama saat dahulu kau menumbuhkan sebatang mawar di hatiku? *pesanku tak kunjung ceklis dua, foto profile-mu menghilang, mungkin dilarikan kucing yang selalu saja mengeong tanpa sebab.
Kali ini aku benar-benar rapuh, kayu-kayu penopang nan kokoh kini berserakan, membantu api membakar buku-bukuku.
Ziarahilah puing-puing itu, bawalah sekotak mie instan dan bait-bait kisah tongkrongan, tak lupa segelas pertanyaan pait yang akan menambah perihnya mata kala tertusuk asap sebatang sigaret itu.
(2022)
–
Mustika
Aku adalah struktur yang terbentuk dari tatapan matamu, sepasang mata yang menyelamatkanku dari segerombolan hyena yang merobek kulit seekor kijang dalam pikiran dan kegilaan-kegilaan yang lebih gila dari gila itu sendiri.
Setelah malam menenggelamkanku di matamu, ayam kembali mematuk hidungku di pagi yang membimbing awan memangku hujan ke tanah yang empuk.
Namamu, kutulis pada halaman kamus besar bahasa kita. Sampai tua menyemir sehelai uban di akhir hidup, lemari yang menyimpan arsip-arsip kecantikanmu masih tersusun rapi, dan terus dihiasi dengan indahnya bunga beraneka ragam yang bertaburan di atas pusaraku.
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA