Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang terjadi pada seseorang atau sekelompok orang sehubungan dengan jenis kelamin maupun identitas gender mereka. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
World Bank (2019) mempekirakan bahwa setidaknya 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan berbasis gender semasa hidup. Angka ini hanya perkiraan kasar saja mengingat banyaknya kasus kekerasan berbasis gender yang tidak dilaporkan. Selain itu, proporsi perempuan yang mengalami kekerasan bisa jadi jauh lebih tinggi di beberapa negara.
Budaya dan tata masyarakat yang melanggengkan mitos ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan menyebabkan tingginya angka kekerasan berbasis gender pada perempuan. Adanya pandangan bahwa perempuan memiliki status sosial yang lebih rendah daripada laki-laki memungkinkan laki-laki untuk mengontrol dan memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang lebih besar daripada perempuan.
Situasinya semakin sulit bagi perempuan karena masyarakat dan aparat penegak hukum kerap kali menyepelekan kasus kekerasan berbasis gender. Bahkan, selain mendapat kekerasan fisik, perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender justru menjadi pihak yang disalahkan oleh keluarga dan lingkungan mereka, serta mesti menanggung risiko dikucilkan. Alhasil, banyak perempuan yang memilih untuk tidak melapor setelah mengalami kekerasan.
Baca juga:
Kekerasan Berbasis Gender dan Lingkungan Hidup
Tidak benar bahwa kekerasan berbasis gender sebatas masalah individual saja. Pasalnya, kekerasan berbasis gender sering digunakan sebagai bentuk kontrol sosial-ekonomi untuk melanggengkan ketimpangan kekuasaan yang tidak setara di semua sektor dan konteks, termasuk dalam kaitannya dengan kepemilikan, akses, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Hak perempuan dan anak perempuan untuk mengakses, mengontrol, mengelola, dan mengambil manfaat dari sumber daya alam dirampas sehingga mereka semakin rentan menjadi korban kekerasan (Camey, dkk., 2020).
Ketidakadilan gender yang menimpa perempuan kian diperparah dengan sulitnya akses terhadap tanah dan lahan yang produktif. Keterbatasan akses perempuan terhadap aset produktif menentukan akses perempuan ke kepemilikan modal atau kredit. Perempuan tidak leluasa melakukan kegiatan ekonomi menggunakan aset tersebut karena kepemilikannya diatasnamakan pihak laki-laki di sekitarnya seperti suami, ayah, atau wali. Kondisi ini akan sangat merugikan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang takut untuk bercerai karena ketergantungan ekonomi terhadap suaminya.
Di banyak negara, undang-undang mencegah perempuan memiliki, mengelola, dan mewarisi properti dan tanah. Menurut sebuah studi pada 189 negara yang dilakukan oleh World Bank (2018), 40 persen dari negara-negara tersebut memiliki setidaknya satu kendala hukum yang membatasi hak-hak perempuan atas properti. Dari 189 negara, 36 tidak memberikan janda hak waris yang sama dengan duda dan 39 negara mencegah anak perempuan mewarisi proporsi aset yang sama dengan anak laki-laki. Lalu, ketika perempuan dan laki-laki memiliki hak legal atas tanah dan properti yang setara, tantangan tetap ada dalam wujud hukum dan norma adat yang tidak setara.
Perampasan tanah oleh sektor swasta atau pemerintah adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang juga kerap terjadi. Dalam Catahu 2021, Komnas Perempuan mencatat adanya ketidakadilan gender pada kasus penggusuran di Alang-alang Lebar, Labi-labi, Kota Palembang. Peristiwa itu menyebabkan 70% perempuan dari 521 KK yang menanam palawija, sayur, ubi, jagung kehilangan akses ke lahan pertanian seluas 32 hektar.
Perempuan yang lekat dengan lahan, rumah, maupun sumber daya alam lainnya menjadi kelompok paling rentan dirugikan baik di ranah domestik maupun publik. Di sisi lain, pendekatan kepala keluarga menyebabkan perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan maupun pemulihan konflik SDA dan tata ruang.
Selain pada kepemilikan lahan, kekerasan berbasis gender juga berkaitan dengan krisis iklim yang terjadi saat ini. Krisis iklim memengaruhi segala lini kehidupan seperti mengganggu produksi pangan dan ketersediaan air, merusak infrastruktur, dan menyebabkan kemiskinan karena kehilangan mata pencaharian. Kondisi tersebut dinilai dapat menimbulkan perasaan tertekan pada kepala keluarga yang senantiasa dibayang-bayangi tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Perasaan tertekan itulah yang bisa menjadi pemantik kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya (Camey, dkk., 2020).
Baca selengkapnya: Kebijakan Negara, Pangkal Bencana Lingkungan
Penelitian yang dilakukan oleh Whittenbury (2013) di Lembah Murray-Darling, Australia menemukan beberapa bukti peningkatan kekerasan dalam rumah tangga selama tahun-tahun kekeringan parah. Tekanan keuangan yang terjadi akibat kekeringan membuat laki-laki menjadikan konsumsi alkohol dan obat-obatan sebagai coping mechanism dari masalah mereka yang memicu perilaku abusif, khususnya terhadap perempuan. Penelitian itu mencatat bahwa kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan emosional, kontrol keuangan, kekerasan fisik, dan pengucilan perempuan.
Kekerasan pada Perempuan Pejuang Lingkungan
Kekerasan berbasis gender pada perempuan juga banyak terjadi dalam kasus aktivisme lingkungan. Kekerasan berbasis gender digunakan untuk menekan otoritas aktivis perempuan dan merusak kredibilitas mereka. Otoritas memandang peningkatan keterlibatan perempuan dalam aktivisme dan politik lingkungan akhir-akhir ini sebagai ancaman tersendiri. Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) menemukan fakta bahwa demonstrasi yang melibatkan perempuan lebih banyak direspons menggunakan kekerasan seperti penembakan langsung, penangkapan, dan serbuan gas air mata.
Baca juga: Ketika Aktivis adalah Pelaku Kekerasan terhadap Perempuan
Lapis-lapis diskriminasi terhadap perempuan juga turut menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan dalam perjuangan mereka membela lingkungan. Aktivis perempuan sering dihadapkan pada beban ganda ketika mereka berperan sebagai aktivis penuh waktu. Beberapa ibu yang merangkap aktivis lingkungan sering dicap sebagai “ibu yang buruk” karena meninggalkan anak-anaknya di rumah saat melakukan kerja aktivisme bersama komunitasnya.
Aktivis lingkungan perempuan dari masyarakat adat sering berada di garis depan dalam mempertahankan wilayah, sumber daya, dan hak mereka dari proyek pembangunan yang merusak lingkungan. Mereka kerap menghadapi bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang juga bersinggungan dengan diskriminasi ras dan etnis. Bentuk kekerasan berbasis gender serta rasisme ini bisa dilihat di Guatemala yang 60% dari populasi negaranya adalah masyarakat adat.
Dalam sebuah publikasi dari Just Associates (JASS), tidak adanya data terpilah berdasarkan jenis kelamin dalam catatan sensus nasional tentang masyarakat adat menunjukkan bahwa perempuan asli Guatemala menghadapi berbagai bentuk rasisme dan seksisme yang dilembagakan karena kurangnya data dan pengakuan hukum nasional terhadap perempuan dari masyarakat adat sehingga mereka sulit untuk mengakses pelayanan publik dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Perlakuan “tanpa nama dan tanpa wajah” ini memperkuat rasisme dan seksisme sistemik yang membuat perempuan pembela lingkungan dari masyarakat adat sangat rentan terhadap kekerasan (Camey, dkk., 2020).
Di Indonesia, ada banyak pejuang lingkungan yang berlatar belakang perempuan dari masyarakat adat. Salah satu yang terkenal adalah Mama Aleta Baun dan kawan-kawan yang menolak penambangan marmer di kampung Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mama Aleta Baun berhasil mengorganisasi 150 orang wanita untuk menenun di depan pintu tambang, serta menduduki bukit Anjaf dan bukit Nausus di kaki gunung.
Baca kisah para pejuang lingkungan:
Aksi perempuan Mollo ini didasarkan pada kepercayaan bahwa alam yang rusak akan sangat merugikan perempuan. Kerusakan alam menghambat perempuan melakukan aktivitas sehari-hari. Perempuan kehilangan sumber pangan, sulit menemukan zat pewarna alami untuk menenun karena hutan telah rusak. Kemudian, perempuan juga kesulitan melakukan aktivitas rumah tangga seperti mencuci dan mandi karena kehilangan sumber air yang terdampak aktivitas tambang.
Sedari dulu, perempuan dan masyarakat adat adalah aktor fundamental dalam perlawanan terhadap privatisasi dan perusakan sumber daya alam seperti tanah, hutan dan sumber daya hutan, serta air. Jauh sebelum istilah pembela hak asasi manusia kelingkungan/environmental human rights defenders (EHRDs) diciptakan, organisasi akar rumput perempuan telah membela dan melindungi lingkungan serta sumber daya alam di seluruh dunia.
Ketahui lebih banyak tentang gerakan feminis:
Fakta sosial dan fakta sejarah itu seharusnya sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk tidak membiarkan sekaligus tidak melakukan kekerasan berbasis gender atas dasar apapun. Sinergitas laki-laki dan perempuan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan karena pada dasarnya kita semua saling membutuhkan.
Editor: Emma Amelia