Terbitnya buku Silent Spring oleh Rachel Carson di tahun 1962 memantik diskursus panjang yang sampai saat ini masih terus bergulir. Carson menuliskan keresahannya dengan mengangkat situasi habitat yang tak lagi sama dengan hari-hari kemarin. Keresahan itu dituliskan dan ditandai dengan “ketiadaan kicauan burung di musim semi belahan bumi Eropa”. Karya ilmiah itulah yang menjadi titik tolak sejarah pemikiran etika lingkungan hidup yang belum tersampaikan di abad lalu. Benua Eropa yang diketahui sebagai pusat peradaban manusia pun baru merapatkan barisannya ketika satu paper tajam itu terbit. Eropa yang selama ini dijadikan episentrum peradaban dunia juga masih terseok-seok mengikuti perkembangan ide-ide lingkungan yang tajam dan radikal.
Tulisan Carson hanya sebagai sirine untuk memperingatkan gelombang bencana lingkungan di masa depan. Perubahan iklim atau krisis lingkungan adalah sebuah keniscayaan karena mengingat umur bumi yang uzur dan tak layak pakai lagi, dikarenakan tabiat keserakahan dan arogansi dari makhluk hidup yang bernama manusia.
Keserakahan dan arogansi itu bisa dilihat tindak-tanduknya mulai dari sikap terhadap orang lain, kepedulian sesama, perhatian pada lingkungan yang sangat kurang. Tidak lama lagi bencana besar itu akan datang, apalagi jika manusia tak menyiapkan strategi penangkal yang jitu dan cengples. Diperkirakan satu sampai dengan dua dasawarsa ke depan bencana besar itu menghampiri. Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan “waktu hampir habis” (Kompas, 7/4/2022) ucapan itu dilontakan oleh salah satu anggonya ketika melakukan pertemuan IPCC sedunia pada Rabu (6/4/2022).
Baca juga:
Diperkirakan ke depan bumi akan mengalami kenaikan suhu 1,5-1,6 derajat celsius di tahun 2030 yang mana prediksi awalnya bertepatan pada tahun 2040. Artinya ada percepatan perubahan iklim.
Climate change tidak ujug-ujug datang tanpa diundang atau nir kausalitas. Bahwa perilaku manusialah yang menganggap dirinya sebagai antroposentis yang menyebabkan itu terjadi. Menganggap diri sebagai pusat dari kehidupan merupakan sebuah kekeliruan yang elementer karena tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri tanpa kehadiran maupun keterlibatan alam dan bumi. Kesalahan berfikir itu sangat fatal bagi peradaban. Pemikiran itu persis seperti kuasa laki-laki yang menganggap dirinya lebih superior dari perempuan. Cara-cara berfikir semacam itu yang keliru dan harus digerus karena tak baik untuk peradaban manusia maupun bumi. Perlu ada koreksi mendalam bagi semua yang posisi antropologis mendahului posisi biosentris.
Selain faktor antroposentris, faktor lain ialah sikap negara yang lalai dalam hal membaca peta masa depan (proyeksi). Emisi karbon (gas rumah kaca atau CO2) di sektor industri, transportasi, pertanian, energi dan perkotaan. Itu salah satu penyebab mengapa perubahan iklim terjadi.
Baca juga:
Negara hadir untuk membuat rakyatnya adil, sejahtera, dan selamat. Tugas konstitusional itu luput diaktualisasikan dalam kebijakannya. Keluputan itu terjadi karena arah kebijakan negara yang mengabaikan masa depan lingkungan. Sudut pandang negara sebagai penguasa selalu mengedepankan hal-hal yang sifatnya terlihat, langsung, bisa dirasakan secepat mungkin, dan itu sudah pasti mengenyampingkan environment policy yang seharusnya diperhatikan juga oleh negara.
Negara harusnya memiliki pendirian untuk memilah prioritas kebijakan stategis agar kekeliruan kebijakan itu tidak berdampak pada hal lain yang justru membuat permasalahan makin berkepanjangan. Dalam hal lingkungan, konstitusi telah meletakan dasar hukum tentang pengkategorisasian ikhwal hak warga negara untuk hidup layak (Pasal 28B ayat (2), dan negara juga memiliki tugas untuk melindungi itu serta berkewajiban melaksanakan perintah konstitusi agar memanfaatkan bumi, air, dan semua yang ada terkandung didalamnya dikuasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3).
Negara harus melaksanakan kedua tugasnya itu karena negaralah yang mempunyai power sekaligus pranata hukum untuk mengeksekusinya. Maka dalam hal mengeluarkan kebijakan, negara tidak boleh membuat kebijakan yang berakibat pada semakin cepatnya perubahan iklim dan juga tidak boleh melalaikan kewajibannya untuk memakmurkan rakyat dengan semua kekayaan alam yang ada. Kuncinya terletak pada konvergensi kebijakan yang mengikutsertakan dua dimensi kewajiban tadi. Pun demikian dalam konteks saat ini realitas bumi yang tidak lagi bisa menampung semua keserakahan manusia maka negara kudu menyiapkan plan b yang akan berakibat signifikan pada keberlanjutan umat manusia.
Ada dua tawaran yang mungkin bisa menjadi solusi. Pertama, reorientasi pengertian lingkungan. Kedua, inklusifitas milenial dalam pembuatan kebijakan. Kedangkalan dalam melihat sesuatu merupakan persoalan mendasar yang sangat berimplikasi panjang terhadap penyikapan suatu bangsa dalam memahami persoalan terkini. Butuh stimulus common sense seperti yang disebut Jacques Derrida (2015) sebagai “Teori Dekonstruksi” yang membongkar sistem berfikir lama dengan mengadopsi paradigma baru karena keusangan dan ketak-layakan sebuah proposisi. Teori itu mengandaikan sebuah konsep utuh nan basah dengan menelanjangi kekeliruan lama yang terinfiltrasi metode derogatif berupa anasir-anasir usang. Karenanya perlu untuk mendudukan ulang terminologi dari lingkungan serta sub-tema didalamnya.
Kemudian inklusivitas semua komponen yang mengalami akibat dari suatu kebijakan publik. Pun demikian harus bersifat berkelanjutan supaya terintegrasi dan tidak parsial. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk melibatkan generasi hari ini, milenial dan gen Z, dalam menguji kebijakan yang dibuat negara. Sebab merekalah yang akan menanggung akibat itu di masa depan.
One Reply to “Kebijakan Negara, Pangkal Bencana Lingkungan”