Absennya Marxisme dalam Perdebatan Etika dan Moral Lingkungan Hidup

Firdaus Cahyadi

3 min read

Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari industrialisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan munculnya mesin-mesin yang dapat memproduksi barang secara lebih efisien. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membuat sumber daya alam lebih mudah diekploitasi untuk menjadi bahan mentah industrialisasi.

Kemajuan industrialisasi itu, di satu sisi, membawa eksternalitas negatif maupun positif. Eksternalitas adalah biaya yang harus ditanggung atau manfaat tidak langsung yang diberikan dari suatu pihak akibat aktivitas ekonomi. Salah satu eksternalitas negatif dari industrialisasi adalah kerusakan lingkungan hidup.

Kemudian pertanyaannya adalah, karena eksternalitas dari industrialisasi berpijak pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apakah kerusakan alam yang merupakan eksternalitas negatif dapat diatasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi juga?

Berpikir Sistemik

Kerusakan alam adalah kejadian yang ada dipermukaan. Jika kita berpikir sistemik, kita tidak berhenti hanya melihat kejadian di permukaan. Dalam berpikir sistemtik, kita akan menemukan model gunung es. Di puncak gunung es ada kejadian. Namun, ketika kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan menemukan struktur yang menyebabkan kejadian, dalam hal ini penyebab kerusakan alam. Bila kita menyelam lebih dalam lagi, kita akan menemukan seperangkat asumsi, cara pandang, dan paradigma yang menyebabkan munculnya struktur.

Baca juga:

Paradigma dalam pembangunan yang berdampak pada kerusakan alam, menurut Sonny Keraf (2010), bersumber pada etika antroposentrisme. Dari sinilah beberapa pakar kemudian ‘memperdebatkan’ persoalan etika lingkungan hidup. Beberapa pakar seperti Desjardin, Sonny Keraf dan Kernohan, dan Ibrahim Abdul-Matin telah menulis buku terkait dengan etika lingkungan hidup.

Jika ditarik benang merah, keempat buku itu memiliki pesan yang sama, yaitu persoalan kerusakan alam bukanlah persoalan teknis. Persoalan kerusakan lingkungan hidup terkait pula dengan cara manusia dalam memandang alam.

Dalam buku yang ditulis Desjardin, Sonny Keraf dan Kernohan, mereka memaparkan dengan rinci teori etika lingkungan dari antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan ekofeminisme. Mereka juga memaparkan kritik-kritik terhadap masing-masing teori tersebut. Ketiga penulis itu juga juga mengaitkan pemaparannya terhadap masing-masing teori dengan persoalan aktual terkait isu-isu lingkungan hidup.

Buku yang ditulis Sonny Keraf berbeda dengan buku yang ditulis tiga penulis lainnya. Dalam buku ini penulisnya memaparkan analisis terkait dengan politik lingkungan dalam konteks Indonesia. Di sini pembaca dapat dengan mudah melihat relasi antara etika lingkungan yang telah dipaparkan sebelumnya dengan praktik politik lingkungan di Indonesia.

Berbeda dengan ketiga penulis sebelumnya, Ibrahim Abdul-Matin tidak membahas teori etika seperti tiga penulis sebelumnya. Ia menawarkan konsep ‘Agama Hijau’ (greendeen) sebagai inspirasi mengelola alam. Penulis menggambarkan pengalaman hidupnya dan muslim Amerika Serikat dalam mengamalkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Menurut penulisnya‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).

Di buku yang ditulis Sonny Keraf, ia memaparkan ada 8 prinsip etika lingkungan hidup,  Ibrahim Abdul-Matin dalam bukunya menuliskan ada 6 prinsip etika lingkungan. Keenam prinsip itu menurut penulisnya saling berkaitan. Prinsip pertama yang utama adalah tauhid. Prinsip pertama dan utama tersebut mendasari munculnya prinsip-prinsip berikutnya. Prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam sebab mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta.

Kesimpulan Ibrahim Abdul-Matin bahwa mencintai alam berarti mencintai diri kita (manusia) sendiri, selain juga mencintai Tuhan Sang Pencipta, seakan meneguhkan posisinya dalam melihat persoalan lingkungan hidup. Dengan kesimpulan itu, Ibrahim Abdul-Matin memosisikan dirinya sebagai seorang antroposentrisme. Manusia menjadi pusat alam semesta, sehingga mencintai alam dalam rangka mencintai dirinya untuk keberlanjutan kepentingannya. Dalam Antroposentrisme, kepentingan manusia menjadi pertimbangan utama. Ibrahim Abdul-Matin belum bisa keluar dari tafsir agama yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semeseta.

Absennya Pisau Analisis Marxisme

Persoalan lingkungan hidup tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi-politik. Keempat penulis tersebut juga telah mengaitkan, dalam buku yang ditulis masing-masing, persoalan lingkungan hidup dengan ekonomi-politik. Namun, keempat penulis belum masuk ke jantung dari kapitalisme, madzab ekonomi yang digunakan di banyak negara saat ini. Sonny Keraf dalam bukunya sempat membahas relasi antara utang luar negeri dan kerusakan alam. Namun, belum masuk secara detail ke dalam sistem kapitalisme.

Jantung kapitalisme adalah konsep kepemilikan. Ernest Mandel dalam buku Bagong Suyanto yang berjudul Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post Modernisme mengungkapkan salah satu ciri ekonomi kapitalisme adalah produksi dilandasi kepemilikan pribadi.

Baca juga:

Saat ini, kapitalisme adalah madzab ekonomi yang sekarang hampir digunakan di seluruh dunia. Bahkan menurut Francis Fukuyama, penasihat pemerintah Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin adalah dua di antara sekian banyak pertanda kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia. Kerusakan alam yang saat ini terjadi tidak bisa dilepaskan dari model pembangunan yang berpijak pada madzab ekonomi kapitalisme.

Pembahasan kapitalisme tentu tidak bisa dipisahkan dengan pengkritiknya, Karl Marx. Namun, keempat penulis buku di atas tidak membahas marxisme dalam pembahasannya. Pertanyaannya kemudian tentu saja adalah apakah marxisme juga dapat digunakan sebagai pisau analisis melihat alam?

Menurut analisis marxisme, susunan ekonomi masyarakat merupakan bangunan dasar yang menentukan corak bangunan di atasnya, seperti pandangan kemasyarakatan (politik, hukum, filsafat, tafsir agama, dll) dan lembaga-lembaga atau organisasi (negara, partai politik, organisasi agama, dsb).Dalam konteks ini dapat dikatakan kerusakan alam menjadi akibat dari susunan ekonomi masyarakat.

Posisi Karl Marx dalam melihat persoalan ekologi tidak disasarkan pada antroposentrisme atau ekosentrisme. Karl Marx melihat bahwa interaksi fundamental antara manusia dan lingkungannya adalah interrelasi yang selalu berubah.

Bagi Marx, relasi ini berproses layaknya metabolisme di mana kerja manusia menjadi mediasi utamanya. Kerusakan alam, menurut Karl Marx, adalah sebuah keretakan metabolisme. Keretakan metabolisme diakibatkan oleh intervensi berlebih manusia pada alam melampaui daya dukungnya. Akibatnya, hubungan antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik antara keduanya.

Teori etika berbasiskan analisis marxisme berfokus untuk mengubah susunan ekonomi yang menjadi dasar bangunan di atasnya. Bila keempat penulis di atas membahas etika lingkungan berbasis filsafat marxisme, tentu akan dapat memperkaya wawasan dan juga membuka peluang pilihan pembacanya untuk memilih menerapkan etika lingkungan yang menurutnya relevan. Dalam konteks Indonesia, relasi antara kerusakan alam dan marxisme akan semakin menarik karena sejak peristiwa G30S/1965, pemerintah resmi melarang filsafat ini.

Kerusakan alam yang terjadi saat ini harus dilihat secara sistemik. Berpikir sistemik akan mengerakkan kita untuk menelusuri secara lebih dalam lagi. Jika kita telusuri lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa kerusakan alam di sekitar kita juga terjadi di wilayah lain dengan kecenderungan yang terus berulang.

Kejadian yang terus berulang itu tidak terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Ada struktur ekonomi-politik yang menjadi penyebabnya. Struktur ekonomi-politik yang menjadi penyebab kerusakan alam itu didasari oleh cara pandang tentang manusia dan alam. Dalam titik inilah etika lingkungan hidup menjadi relevan.

 

Editor: Prihandini N

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email