Yang Tabu Semakin Tabu: Ketika KUHP Membatasi Pendidikan Seksual

Anisah Meidayanti

2 min read

Siapakah pihak atau orang yang pertama kali memberi kita informasi perihal alat pencegah kehamilan, misalnya kondom? Kakak kelas? Teman tongkrongan? Abang-abangan tetangga di rumah? Orangtua? Atau petugas puskesmas? Kemudian, pihak mana yang paling sering memberi informasi seputar kondom?

Pertanyaan-pertanyaan itu perlu ditanyakan kepada diri sendiri. Namun, belakangan, pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya lebih mendesak untuk ditanyakan kepada para anggota DPR karena berkaitan dengan Pasal 415 KUHP.

Pasal kontroversial yang membahas alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan dalam RKUHP tersebut berbunyi, Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Dalam keterangannya, ketentuan ini dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar tidak melakukan seks bebas. Hanya petugas yang ditunjuk oleh yang berwenang yang berhak memberikan pengetahuan seputar alat pencegah kehamilan.

Baca juga:

Pasal ini sebenarnya bagus sebagai tamparan kepada para petugas kesehatan dan lembaga terkait untuk lebih aktif sekaligus asyik dalam menyosialisasikan pendidikan seksual, khususnya perihal kesehatan reproduksi. Namun, di sisi lain, pasal ini semakin menjadikan pembahasan tentang kesehatan reproduksi sebagai hal tabu. Konsekuensinya, keberadaan pasal ini boleh jadi semakin menyulitkan akses bagi siapa pun untuk belajar tentang kesehatan reproduksi.

Pasal 415 KUHP ini menekankan bahwa hanya petugas yang berwenang saja yang boleh membincang pendidikan seksual. Orangtua, sebagai pihak yang paling dekat dengan anak dan semestinya yang pertama kali membuka dialog kesehatan reproduksi kepada anak, justru tidak boleh. Bukan tidak mungkin, guru Biologi pun akan skip mengajar bab paling favorit, yakni bab reproduksi yang mampu menuntaskan rasa penasaran remaja perihal reproduksi yang selama ini tabu dibicarakan.

Padahal, tanpa ada pasal itu pun anak-remaja Indonesia saat ini sudah sangat minim mendapat edukasi seks. Alhasil, kekerasal seksual, penularan penyakit seksual, kehamilan di usia dini, hingga aborsi menghantui masa muda mereka.

Pendidikan seks yang baik harus juga diimbangi dengan pengetahuan akan isu gender. Tujuannya agar pendidikan seks bukan hanya fokus pada resiko seks bebas saja, tapi juga bahaya kekerasan dan pelecehan seksual yang marak terjadi. 

Di Swedia, pendidikan seks diberikan secara komprehensif dan disesuaikan berdasarkan tingkat pendidikan, mulai dari prasekolah sampai sekolah menengah. Sekolah-sekolah di Swedia juga memberikan pendidikan seks dengan cara yang tidak menghakimi alias sesuai yang dapat diterima oleh kalangan dari semua latar belakang budaya dan agama. 

Pengesahan KUHP Mengabaikan Realitas

Pemerintah belum paham bahwa pendidikan seksual adalah penyebaran informasi tentang kesehatan reproduksi; sama sekali lain dari mempromosikan atau membolehkan anak dan remaja untuk bebas melakukan aktivitas seksual. Bukannya mencoba mengubah stigma dan meningkatkan kesadaran, pemerintah—secara tidak langsung—menuduh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang tak beradab dan tak bermoral yang tidak mampu “mencerna” maksud sesungguhnya dari adanya pendidikan seks.

Ketimbang berbenah, entah itu dengan mencari metode baru dalam upaya sosialisasi, meningkatkan kesadaran pentingnya kesehatan reproduksi kepada anak dan remaja, atau saling bekerjasama mengedukasi, pemerintah malah menutup akses dialog perihal pentingnya kesehatan remaja dengan Pasal 415 KUHP. Padahal, selama ini, diskusi seksual lebih sering dan nyaman dilakukan antarteman daripada dengan petugas kesehatan. 

Kemudian, apakah dengan hanya membolehkan petugas kesehatan memberikan edukasi seks, lantas pemerintah sudah siap dengan segala kelengkapan untuk menjalankan aturan tersebut? Mohon diingat, sebagai fasilitas kesehatan, akses ke puskesmas saja masih sulit dan jauh di beberapa daerah. Belum lagi, petugas kesehatan jumlahnya sangat terbatas. 

Bahkan, di perkotaan pun puskesmas sulit diakses. Anak sekolah aja berangkat pagi, pulang sore. Sama kayak jam operasional puskesmas, pagi-sore. Bahkan, ada puskesmas yang hanya buka sampai pukul dua siang. Kalau seperti ini, bagaimana anak dan remaja bisa mendapatkan pendidikan seks? 

Atau, barangkali pemerintah mau menyelenggarakan sosialisasi kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah?

Baca juga:

Saya menanyai salah seorang keponakan yang saat ini duduk di kelas dua SMK, ia mengaku belum pernah ada acara sosialisasi perihal kesehatan reproduksi ataupun diskusi perihal pendidikan seks di sekolahnya. Saat SMP dulu, saya sendiri hanya pernah sekali mendapat pendidikan seks. Itu pun diadakan di aula dan dihadiri banyak orang; tidak ada pendekatan yang komprehensif, apalagi ruang aman untuk bertanya. Jadi, gimana, Pak, Bu Anggota DPR?

 

Editor: Emma Amelia

Anisah Meidayanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email