Semua orang berada di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi setelah DPR mengesahkan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menjadi Undang-Undang. Tidak sedikit masyarakat yang menolak RKUHP sebab dirasa merugikan banyak pihak. Sehari sebelum disahkan, masyarakat dari berbagai lintas sektor yang menolak pengesahan RKUHP melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mulai dari kalangan masyarakat sipil, kelompok jurnalis, buruh, mahasiswa, dan komunitas perempuan melakukan aksi protes dengan menunjukkan pasal-pasal yang menurut mereka bermasalah.
Tidak bisa dipungkiri, masih terdapat banyak kekurangan dalam RKUHP ketika digodok DPR berserta stakeholder lain, dan saat ini RKUHP tersebut sudah disahkan dalam rapat paripurna. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kodifikasi yang menghimpun begitu sarat aspek-aspek seperti pemidanaan, rumusan tindak pidana, bentuk pelanggaran (culpa), bentuk kejahatan (dolus), tanggung jawab pidana (culvability) dan varian-varian lain secara bersamaan diharmonisasi dalam satu kitab hukum (omnibus punishment). Oleh karena itu, jamak hukumnya jika ditemukan kekurangan ataupun anomali, sebab sifat kompleksitasnya yang inheren.
Catatan-catatan RKUHP
Komplikasi RKUHP tampak begitu jelas dalam beberapa pasal yang bermasalah. Pertama, pasal pidana hukuman mati yang masih termuat. Pencantuman hukuman mati sebagai bangunan pemidanaan alternatif dalam mengantisipasi tindak pidana yang tertuang dalam Pasal 97 dan Pasal 98 berlawanan jika disandingkan dengan Pasal 28 (A) UUD 1945. Konstitusi menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Bicara hukuman mati tidak terlepas korelasinya dengan HAM. Menurut John Locke, hak asasi manusia merupakan hak kodrati, semua individu dikaruniai oleh alam hak-hak yang melekat pada dirinya, dan karena alasan tersebut hak itu tidak dapat dicabut oleh negara. Begitu juga halnya rumusan hukuman mati dalam RKUHP yang sudah pasti menganulir hak seseorang untuk tetap hidup dan menentukan bagaimana cara ia bertahan hidup. Pun demikian hal tersebut sejalan dengan Pasal 6 International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menegaskan bahwa hak atas hidup merupakan hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right).
Baca juga:
Kedua, Pasal 256 yang multitafsir dan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat. Rumusannya sebagai berikut: “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Ketika masyarakat berunjuk rasa atau demonstrasi tanpa pemberitahuan diancam pidana penjara selama enam bulan. Jika dikomparasikan misalnya dengan Pasal 510 KUHP, ancaman menurut pasal tersebut jauh lebih ringan, yaitu pidana penjara dua minggu.
Norma hukum di atas jelas-jelas merugikan masyarakat secara luas, bukan saja mahasiswa tapi buruh, jurnalis, masyarakat sipil, dan elemen lainnya. Kemudian, yang tidak kalah penting, frasa “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum” tampak seperti pasal karet, tidak jelas, multiinterpretasi, dan yang pasti membuat para aksi massa bisa dengan mudah dikriminalisasi.
Penolakan santer disuarakan oleh kalangan buruh yang merasa dipersekusi dengan adanya aturan tersebut. Para buruh adalah kalangan yang paling sering melakukan protes di jalanan untuk menuntut hak mereka dari perusahaan atau pemerintah. Pasal pembonsaian demokrasi yang diatur dalam RKUHP melalui kaidah hukum di atas menyebabkan situasi krisis yang sudah berlangsung kian kronis efeknya di kemudian hari.
Ketiga, tidak jelasnya materi muatan Pasal 263 Ayat (1) dan (2) memungkinkan para jurnalis berada di posisi yang rentan dikriminalisasi. Disebutkan bahwa “setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan yang diduga berita bohong dan menyebabkan kerusuhan di masyarakat bisa dipidana penjara paling lama empat tahun.” Jurnalis sebagai salah satu pilar demokrasi di mana tugas utamanya mewartakan informasi seluas-luasnya harus menghadapi rumusan pasal yang ambigu. Tidak ada penjelasan detail dari maksud “berita bohong” atau “menyebabkan kerusuhan” yang tafsirnya bisa sangat mungkin luas tanpa batas. Kehadiran RKUHP barangkali memperlebar rumusan-rumusan yang sifatnya diskriminatif.
Keempat, terkait Pasal 2 RKUHP yang berbunyi “berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”. Pengaturan skema Living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat bisa serta-merta disalahgunakan oleh policy maker. Tata tertib mengenai hukum yang hidup di masyarakat merupakan kerugian bagi kalangan perempuan. Tidak hanya itu saja, pasal di atas mencerminkan nihilnya perspektif kesetaraan gender dari pemerintah dan DPR dalam merumuskan legal policy.
Bicara living law, maka konsekuensi logisnya adalah pengaturan yang lebih khusus diturunkan pada tingkat daerah/lokal. Acap kali, beberapa daerah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang muatannya membatasi perempuan. Perihal nilai-nilai yang amat kental hubungannya dengan budaya lokal seringkali melahirkan pandangan yang bias gender, diskriminatif, patriarkis sehingga memosisikan perempuan di tingkat paramida terbawah. Misalnya aturan tentang jam pulang malam dan cara berpakaian perempuan yang sudah tentu mendiskreditkan perempuan sebagai warga negara. Alih-alih membantu menyelesaikan, negara justru menghalangi upaya yang sudah lama diperjuangkan para perempuan, bahkan memperparahnya.
Kelima, Pasal 240 dan Pasal 241 yang pada intinya “memidanakan penjara terhadap setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah baik itu melalui ucapan, tulisan, gambar.” Mungkin rezim ini tergila-gila pada sosok raja yang punya kuasa absolut. Pemerintah lupa bahwa negara ini menganut prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, negara hukum, kedaulatan rakyat, musyawarah, dan lain sebagainya yang menempatkan presiden atau pemerintah sebagai perwakilan rakyat, bukan pemegang kuasa absolut.
Belum lagi permasalahan diksi “pemerintah” yang terminologinya sangat luas dalam sistem birokrasi Indonesia. Pemerintah itu sama dengan presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, dirjen menteri, dan derivasinya. Kalau memang itu terminologinya, selesai sudah kebebasan yang selama ini kita genggam. Melalui KUHP yang baru, suara-suara masyarakat yang kritis akan di renggut sesukanya.
Baca juga:
Titik Nadir Hukum
Sebetulnya masih banyak pasal yang perlu diperdebatkan seperti Pasal 188 soal penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme, Pasal 218, 219, 220 tentang pidana penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden, Pasal 264 mengenai pidana jurnalis yang melebih-lebihkan, ketidakpastian, ketidaklengkapan berita, Pasal 280 yang mengatur gangguan dan penyesatan proses peradilan, Pasal 300, 301, 302 perihal pidana terhadap agama dan kepercayaan, Pasal 436 ikhwal pidana penghinaan ringan, Pasal 433, 439 yaitu pidana pencemaran dan pencemaran orang mati, dan Pasal 594, 595 mengenai pidana penerbitan dan pencetakan. Dan masih banyak Pasal lainnya.
Begitu kompeks problematika RKUHP yang baru saja disahkan ini. Jalan yang paling konstitusional yaitu melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi, baik itu uji formil maupun materil. Selain substansi hukum yang bermasalah, masyarakat menganggap hukum formil (proses pembuatan) yang tidak partisipatif, aspiratif, dan transparan perlu dibicarakan lebih jauh. Oleh karena itu, mengajukan upaya hukum formil melalui constitution court adalah logika hukum yang tepat dalam mengawal jalannya negara hukum demokrasi Indonesia.
Namun, kelihatannya masyarakat akan skeptis dengan melihat tragedi perselingkuhan antara DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui pergantian hakim konstitusi yang sempat menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Lagi dan lagi, ruang-ruang kebebasan untuk mengawasi negara ini seolah-olah ditutup oleh negara itu sendiri, baik itu melalui jalur masyarakat sipil, DPR (melalui suara oposisi), dan kekuasaan kehakiman sendiri. Semua ditutup dan dibatasi oleh kekuasaan negara yang tidak terkontrol. Akibatnya, lahirlah hukum yang represif, mengekang, dan membatasi seperti RKUHP.
Inilah yang disebut Schpele dan Corales (2018) sebagai gejala-gejala Autocratic Legalism, yaitu melemahkan institusi pengawasan untuk melegalisasi sebuah produk hukum yang seolah-olah demokratis padahal sebaliknya. Kecenderungan melegalisasi semua aspek menyangkut institusi pengawasan memang sebuah agenda memapankan konsep hukum yang otoriter. Dan itulah yang terjadi dalam kasus pengesahan UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, Omnibus Cipta Kerja, UU P3, dan terakhir RKUHP.