Sebagai guru, saya harus punya banyak alasan ketika para siswa bertanya tentang segala hal, terutama terkait aturan sekolah yang berlaku pada mereka. Mayoritas mereka merasa tidak nyaman bila terlalu diatur-atur. Memang nalurinya anak-anak, tidak suka terlalu diatur. Apalagi jika aturan itu tidak logis. Tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
Contoh kecil, ada siswa gemar membaca. Koleksi novelnya cukup banyak. Setiap ke sekolah, ia selalu membawa novel yang ia baca pada pekan itu. Saking hobinya membaca, ia sering membaca tidak pada waktunya. Misalnya waktu jam pembelajaran. Di situ saya spontan menegur dan beri pengertian. Lebih baik membaca di luar jam pembelajaran saja. Meski bukan tindakan negatif, bagi guru, ketika menjelaskan materi dan ada siswa yang tidak memperhatikan, itu bisa mengganggu proses berjalannya pembelajaran.
Saya lihat bacaan novel mereka banyak berbau cerita-cerita remaja. Kisah-kisah anak SMA yang dibukukan. Ada juga beberapa novel yang saya kenal, misalnya Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, novel-novel series karya Tere Liye, dan beberapa novel lainnya. Sebelum pembelajaran dimulai, kadang saya menggunakan waktu untuk bertanya ke salah satu anak tentang isi buku yang ia baca, atau kalau saya menjumpai ada novel yang pernah saya baca, saya coba berbagi ulasan dengan mereka. Lalu saya beri beberapa rekomendasi novel yang ceritanya tidak kalah menarik dari novel yang pernah mereka baca.
Baca juga:
Ketidaktahuan Soal Sastra dan Literasi
Meskipun mereka giat membaca, mereka sering dibatasi dengan aturan sekolah. Mereka tidak boleh membaca buku yang berbau porno dan sejenisnya, atau hal-hal yang menggiring ke arah sana. Beberapa dari mereka sempat tidak berterima lantaran pernah ada kejadian, tanpa alasan apa-apa, buku yang mereka baca tiba-tiba dirampas. Alasan guru yang merampas adalah karena mereka membaca saat ulangan harian di kelas. Kemudian setelah beberapa halaman dibaca oleh guru yang merampas, tepat di halaman itu terdapat adegan yang cukup dewasa. Itu alasan kuat sehingga novelnya tidak dikembalikan.
Judul novel yang dirampas adalah Not Me karya Caaay. Saya penasaran apakah benar novel tersebut bercerita seperti itu. Saat saya baca review-nya, ternyata fokus isi bukunya bukan membahas cerita-cerita yang berbau porno, melainkan tentang kesehatan mental yang dialami oleh si tokoh bernama Cakrawala Agnibrata. Ia mengidap penyakit Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) lantaran ia sering dibuli, baik oleh teman-temannya maupun keluarganya. Bahkan, reviewer-nya pun berasal dari kalangan siswa dan guru, di antaranya anak MAN Jakarta dan guru kesiswaan SDIT Depok.
Terkait perampasan buku, jarang sekali orang yang merampas, membacanya juga. Mungkin dibaca, tapi sebagian. Kebanyakan hanya sinopsis, kata pengantar, dan epilognya. Sangat kurang membaca isinya. Sehingga ketika ia tidak sengaja membaca bagian yang dianggap vulgar, ia langsung kaget. Padahal itu hanya sebagian kecil dari seluruh rangkaian ceritanya. Dan fatalnya, ia langsung menjustifikasinya sebagai novel porno. Ibarat masakan, bagian cerita semacam itu adalah penyedap rasa. Setelah dicampurkan semuanya, akan terasa kompleks, lengkap, dan enak.
Lantas, kira-kira sekarang buku apa yang cocok buat pelajar? Sudahkah pemerintah atau minimal sekolah punya rekomendasi tersendiri soal itu? Kemudian, apa bisa dipastikan kalau seluruh buku yang direkomendasikan terbebas dari cerita-cerita vulgar yang menurut banyak orang tidak pantas dibaca pelajar?
Lalu apa yang pantas? Tidak hanya terbatas pada buku fiksi. Buku nonfiksi yang bersifat ilmiah pun kalau begitu perlu dibatasi. Jika novel hanya sebatas cerita, lantas bagaimana dengan buku biologi yang menerangkan organ tubuh manusia dengan disertai gambar? Apa tidak lebih liar imajinasi mereka? Perlu menjadi catatan adalah, dengan gambar, anak akan lebih liar berimajinasi, bahkan bisa mengalahkan objek nyatanya.
Rekomendasi Buku dari Pemerintah
Kalau kondisinya begitu, seharusnya pemerintah punya rekomendasi buku-buku yang harus dibaca dan tidak boleh dibaca pelajar. Mulai dari sekolah dasar sampai menengah. Setelah itu baru boleh ada perampasan. Fatalnya, tidak semua guru paham tentang buku fiksi. Dikiranya semua fiksi atau yang berbau sastra bersifat imajinatif, vulgar, dan selalu porno.
Kalau terminologinya begitu, lalu jenis karya sastra seperti apa yang harus dikenalkan pada mereka? Strategi macam apa yang cocok dan pantas untuk mengenalkan sastra ke mereka? Padahal untuk mereka mau membaca saja sudah bagus. Berarti mereka punya kemauan. Entah dilatarbelakangi karena cinta atau hanya sekadar mengisi waktu luang, yang penting adalah proses membaca. Yang tidak diketahui banyak orang adalah, setelah membaca, mereka sering bertukar pikiran tentang buku yang mereka baca. Saya sering mendengar tukar pikiran mereka. Ada yang saling tanya tentang penokohan pada novel yang mereka baca.
Tak jarang mereka berdebat. Kesan karakter yang mereka ceritakan berbeda-beda. Itu letak keseruannya. Mereka bisa menciptakan suasana diskusi. Sedangkan perampasan adalah salah satu cara menghambat motivasi membaca mereka. Nantinya bakal jarang anak berangkat sekolah membawa novel. Jarang juga saat istirahat, kita melihat mereka membaca novel. Bahkan yang paling ditakutkan adalah mereka berhenti membaca karena telah terdoktrin kalau membaca novel sejenis itu tidak baik bagi perkembangan mereka.
Metode perampasan tidak harus selalu diterapkan. Masih banyak pendekatan lain yang bisa digunakan. Contohnya jika menemui anak membaca novel sejenis itu, kita sebagai guru setidaknya mampu memberi pengertian atau memberi pengantar. Jika guru tidak tahu isinya, saya rasa di internet sudah banyak review dari buku yang sudah diperjualbelikan. Minimal guru tahu inti cerita yang ingin disampaikan. Alangkah baiknya memberi pengertian, daripada melarang. Semakin dilarang, anak-anak biasanya akan semakin penasaran dan cenderung bisa melakukan apa saja untuk memenuhi rasa penasaran itu.
Saya masih ingat betul, dulu waktu SMP, buku pertama yang saya baca adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kalau dilihat, isinya justru lebih kuat menceritakan sisi vulgar para tokohnya. Namun, kala itu guru yang mengajar memberi pengantar terlebih dahulu tentang novel trilogi itu. Bahkan, di dalam pengantarnya, ia menjelaskan novel itu menjadi bacaan wajib bagi anak SMP. Tidak selesai sampai di situ, waktu di perkuliahan, akhirnya saya kembali lagi diwajibkan membaca novel tersebut.
Baca juga:
Saat itu, teman-teman sekelas pun menyadari isi cerita itu, tetapi kami tidak terlalu banyak membahas, malah kami lebih sering membahas inti yang ingin disampaikan penulis pada membacanya, yaitu ronggeng dan cerita-cerita lainnya. Cerita itu membekas, bahkan sampai ketika kami lulus. Pengalaman membaca saat itu sering kami perbincangkan ketika kami ketemu.
Intinya, yang paling penting adalah proses memunculkan pengalaman membaca. Ketika para siswa sudah membiasakan diri dengan membaca, mereka tentu akan mengingat dan terbiasa dengan sendirinya. Pengalaman tersebut akan menjadi pengalaman hidup mereka. Sebab, membaca adalah proses pengalaman pribadi. Yang bisa merasakan dampaknya adalah diri sendiri. Jika siswa berkesan, maka kesan itu akan mereka bawa terus-menerus.
Apalagi sekarang pemerintah sedang gencar-gencarnya mengampanyekan literasi di sekolah. Sampai jenis soal untuk tes masuk perguruan tinggi diubah menjadi soal literasi yang mencakup Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Bila siswa tidak dibiasakan dengan membaca, mereka akan lebih sulit memahami soal-soal yang berbentuk bacaan. Pemahaman bahasa mereka akan lebih susah. Sedangkan dengan membaca, kemungkinan besar bisa membantu mereka lebih mudah memahami teks.