Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Menyempitnya Ruang Kebebasan

Mario Angkawidjaja

2 min read

Polemik dikotomi antara penghinaan dan kritik menjadi isu utama dalam delik penghinaan presiden atau wakil presiden yang ada di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sayangnya, pemerintah atau DPR tidak memberikan argumentasi yang jelas terkait delik penghinaan presiden atau wakil presiden dalam RKUHP. Salah satu respons yang diberikan oleh pemerintah datang dari Wamenkumham, Eddy Hiariej, dalam tulisannya di Kompas.

Ia mengungkapan: “Hanya yang memiliki kapasitas intelektual kurang memadai saja yang tidak dapat membedakan antara penghinaan dan kritik.”

Sayangnya, alih-alih menguraikan batasan dari “penghinaan”, tulisan tersebut malah sarat akan argumentum ad hominem.

Anda pasti familiar dengan kalimat ini:

“Anda, kan, bukan professor, jadi argumentasi anda tidak valid.”

“Anda enggak akan mengerti soal ini, kuliah saja tidak lulus.”

Itu adalah sedikit contoh dari argumentum ad hominem, yaitu menyerang argumentasi lawan di luar substansi, bahkan sampai menyerang secara personal. Akibatnya, penghinaan selalu ditujukan pada personal seseorang atau masuk ke ranah privat. Sedangkan di dalam ranah publik, membantah argumentasi seseorang dengan counter-argument tidak sepatutnya dikategorikan sebagai penghinaan.

Tidak terlalu mengejutkan juga, toh, pejabat publik kita kerap mempertontonkan perdebatan kusir yang bahkan menjurus pada penghinaan. Di kala mereka sendiri belum memberikan contoh yang baik dalam berargumen di ruang publik, masyarakat malah dituntut untuk memberikan kritik yang membangun bahkan disertai dengan solusi. Cukup menggelitik bukan?

Ya, memang itu faktanya. “Tuntutan” itu dapat dilihat dari kategorisasi perbedaan antara penghinaan dan kritik yang dapat dijumpai di bagian penjelasan Pasal 218 RKUHP:

“Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut … Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang obyektif.”

Uraian tersebut mengharuskan kritik yang bersifat konstruktif dan disertai dengan solusi. Bayangkan betapa sulitnya masyarakat ketika hendak mengkritisi kebijakan pemerintah. Masyarakat perlu bersusah payah untuk mencarikan solusi. Jika demikian, lantas apa gunanya keberadaan pemerintah? Bukankah kita memilih presiden dan wakil presiden untuk memikirkan solusi persoalan negara dan memecahkannya? Bukankah masyarakat membayar dengan mahal fasilitas mereka justru agar kita tidak disibukkan untuk mencari solusi?

Baca juga:

Republik, Bukan Monarki

Penyematan kata “republik” pada nama “Republik Indonesia” bukan tanpa makna. Republik berasal dari kata “res” yang berarti “hal” dan “publika” yang berarti “publik”. Oleh karena itu, di dalam negara berbentuk republik ada pembedaan secara tegas antara “urusan publik” dengan “urusan privat”.

Salah satu elemen penting dalam memaknai republik adalah adanya partisipasi warga negara dalam perpolitikan. Hal ini merupakan manifestasi dari kebebasan warga untuk dapat terlibat dalam urusan-urusan publik. Namun, mengingat partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan tidak lagi dimungkinkan pada dewasa ini, maka kita mengirimkan utusan untuk duduk di parlemen dan memilih presiden serta wakil presiden untuk mengambil keputusan terbaik dalam rangka memecahkan persoalan negara. Dengan demikian, sudah menjadi tugas para pejabat untuk memikirkan solusi. Satu-satunya peran warga negara yang tersisa untuk dapat berpartisipasi dalam urusan publik adalah dengan menyampaikan pendapat atau kritik.

Mengapa kritik itu penting? Kritik merupakan bentuk counter-force terhadap kekuasaan negara, agar negara tidak lalai dan lupa diri dengan tugasnya. Karena kekuasaan akan selalu berpotensi untuk disalahgunakan.

Kebebasan (liberty) selalu bersemayam di lorong yang sempit antara dua kekuatan yang saling mendorong, yaitu negara dan masyarakat sipil. Kebebasan hanya akan ada jika terdapat keseimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat sipil, seperti apa yang disebut oleh Acemoglu & Robinson sebagai “Shackled Leviathan“. Oleh sebab itu, kekuasaan negara yang kuat perlu diimbangi oleh masyarakat sipil yang kuat pula. Dan salah satu upaya untuk memperkuatnya adalah dengan menjamin kebebasan untuk mengkritik pemerintah.

Kritik artinya mengurai persoalan; menunjukkan letak kesalahan. Sedangkan menunjukkan solusi untuk memecahkan masalah adalah hal yang lain. Kritik dengan solusi sangatlah elok, tapi melarang kritik tanpa solusi adalah kekeliruan.

Rakyat memiliki hak untuk mengkritik para pejabat agar mereka sadar bahwa kekuasaan yang mereka miliki datang dari mandat rakyat. Ketika para pejabat melenceng dari mandat itu, rakyat berhak untuk mengingatkan. Melarang kritik tanpa solusi hanyalah omong kosong yang di baliknya terdapat hasrat kekuasaan negara untuk memperlemah counter-force. Jika hal ini dibiarkan, shackeld leviathan secara berangsur-angsur akan menjelma menjadi “despotic leviathan“, di mana keadaan menjadi antidemokrasi.

Dengan demikian, memasukkan delik penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden adalah tindakan yang salah kaprah. Penghinaan letaknya bukan pada “jabatan”, melainkan pada “personal”. Ketika saya mengatakan “kinerja Presiden buruk”, itu bukanlah penghinaan karena saya mengkritik pada kapasitasnya sebagai seorang presiden, bukan personalnya. Berbeda jika saya mengatakan “Jokowi kerempeng”, hal itu dapat termasuk ke dalam penghinaan dan sebetulnya sudah ada hukum yang mengakomodasi perlindungan tersebut secara umum. Oleh karena itu, tidak terlihat alasan yang logis untuk memasukkan delik penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden ke dalam RKUHP.

 

Editor: Prihandini N

Mario Angkawidjaja

One Reply to “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Menyempitnya Ruang Kebebasan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email