Tok. Tok. Tok. RKUHP Sah! Kita dalam bahaya!
Baru-baru ini, atau setidaknya ketika draf RKUHP menyebar ke publik, respons keberatan dan penolakan pengesahan RKUHP selalu muncul. Kendati keberatan dan kecaman publik berlangsung setiap saat, seturut dengan prediksi nasib demokrasi dan hak asasi warga negara Indonesia yang teracam ambrol, pemerintah malah mengesahkan RKUHP. Alih-alih menahan diri dan kembali membuka ruang dialog untuk mencari titik temu bersama, kini publik hanya bisa mengurut dada.
KUHP dan Ancaman Kriminalisasi
Jika meretur ulang, asbab keberatan publik dalam pengesahan RKUHP itu berangkat dari beberapa pasal yang potensial karet, ambigu, rawan kriminalisasi, dan yang paling bahayanya, RKUHP menjadi jembatan untuk menutup saluran demokrasi di Indonesia, pun pada saat yang sama RKUHP turut memfasilitasi totalitarianisme. Kekuasaan makin menjadi, rakyat menjerit. Sebagai bukti, Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil dan para akademis lintas keilmuan kapan hari merilis temuan yang isinya menunjukkan ada 18 klaster undang-undang yang bermasalah di dalam RKUHP.
Dalam temuan itu, jika disederhanakan– persis yang ramai diteriaki publik–ketika kita hendak mengkritik presiden dan wakil presiden, imbalannya adalah penjara. Jika kita merasa tidak puas dengan kerja atau kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga negara tertentu, kita sangat mungkin berhadapan dengan jeruji. Atau ketika kita ingin berpendapat di muka umum secara kolektif, yang bahkan kita percaya aktivitas itu dilindungi oleh konstitusi, kita akan dikriminalisasi.
Di samping itu, ketika kita berandai-andai pejabat yang melakukan korupsi diberi hukuman seberat-beratnya, yang terjadi hukuman mereka malah dipersingkat. Ada pun ketika kita merasa benar dan sekiranya perlu memberikan informasi yang benar pula kepada orang lain, maka penjara tempatnya. Dan yang paling menggelikan, jika kita berniat untuk belajar dengan berupaya membaca, menulis, dan menyebarkan hasil pengetahuan kita kepada orang lain dengan itikad membanugn diskursus pengetahuan, kita malah dihadiahi kurungan penjara.
Baca juga:
Sampai di sini, tidakkah kita masyarakat Indonesia dalam keadaan bahaya? Tentu. Saat ini, kita dihimpit oleh agenda rezim yang totaliter. Agenda rezim totaliter ini berkulminasi pada pengesahan RKUHP, dan sebelumnya pun berderet undang-undang lainnya yang turut disahkan, yakni UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, UU KPK, dan UU Minerba, yang semuanya relatif sama prosesnya: menihilkan partisipasi masyarakat dan cenderung meneguhkan label negara kekuasaan (machtstaat). Dengan kata lain, RKUHP hadir sebagai justifikasi kekerasan, ketimpangan, dan ketidakadilan kepada masyarakat Indonesia itu sendiri.
Hukum yang seharusnya menimbulkan rasa bahagia serta membawa kabar perdamain, tampaknya tidak berlaku ketika hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru. Rasanya rezim telah berpangku dada di tengah getir dan rasa takut masyarakat.
Yang Tersisa dari Perjuangan Sipil
Meski sudah disahkan, KUHP baru akan berlaku dan diberlakukan tiga tahun ke depan. Begitu prosedurnya. Berarti, pada tanggal 6 Desember 2025, KUHP ini resmi beroperasi. Dengan mempertimbangkan waktu yang relatif lama untuk beroperasi, sebagian masyarakat sipil akan tetap berada pada aras perjuangan penolakan pengesahan KUHP, sebagian lainnya merasa cemas dan cenderung mengurung niat membawa KUHP sampai ke MK.
Sudah pasti masyarakat sipil yang merasa perlu memperpanjang langkah perjuangan merasa masih ada cela untuk mengajukan keberatan lewat Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga penjaga dan pelindung konstitusi, MK menjadi pilihan satu-satunya dan pilihan terakhir untuk melawan secara struktural kelaliman pemerintah.
Tapi, pada bagian masyarakat yang cemas tadi, mereka beranggpan bahwa sungguh sia-sia membawa RKUHP ke MK. Ada dua alasan yang melatarbelakangi anggapan ini: Pertama, di bawah rezim ini semua aspek sudah terkonsolidasi. Kartel, oligarki, pemerintah, kekuasaan, sampai dengan unsur yudisial pun telah berjumpa dan saling menjalin. Hakim MK Aswanto, yang dicopot dari jabatan Hakim Konstitusi oleh DPR baru-baru ini, adalah contoh sederhana bahwa MK sudah sukar diandalkan. Di mana alasan pencopotan itu berangkat dari ketidakberpihakan hakim Aswanto pada produk hukum DPR yang kerap diuji ke MK. Hakim Aswanto dianggap representatif DPR di MK, harusnya berpihak kepada DPR. di saat yang sama Presiden menyetujui pencopotan hakim MK tersebut.
Di lain pihak, ada dugaan relasi kuasa antara ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Jokowi. Ini pun alasan yang rasional. Relasi yang ditimbulkan melalui biras darah merupakan hal yang sangat rentan. Sulit menentukan posisi ketua MK dalam posisi ini.
Dan yang kedua: rezim ini adalah kategori rezim yang ngotot. Ketika UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional bersayarat oleh MK pada tahun 2020, alih-alih berupaya memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR bersekongkol untuk mengubah UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) No. 12 Tahun 2012 dan saat ini menjadi UU PPP No. 13 Tahun 2022. Artinya, apa pun akan dilakukan oleh rezim ini untuk memastikan kepentingannya berjalan dengan mulus.
Namun, terlepas dari itu semua, betapa pun buasnya rezim ini, kita tidak bisa mengalihkan perhatian dari pengesahan RKUHP ini. Penolakan tetap berlanjut. Upaya apa pun yang dijamin oleh konstitusi tetap harus ditempuh. Ruang dialog perlu dikuatkan lagi. Perpanjang barisan gerakan kolektif. Dan tentu saja, harus tetap saling jaga dan memperhatikan. Rebut demokrasi, jangan tiba-tiba dipenjara!