Saya bermaksud mengelaborasi opini Latifatus Sholikah dalam Menggugat Gagasan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa yang terbit di Omong-Omong beberapa waktu lalu. Latifatus Sholikah mempertanyakan wacana penambahan masa jabatan kepala desa dalam perspektif demokrasi dan korupsi.
Perlu diketahui, demonstrasi kepala desa di depan gedung DPR RI tidak hanya dilakukan oleh sejumlah kepala desa, melainkan disusul oleh satuan perangkat desa sehari kemudian dengan pokok tuntutan yang berbeda pula. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), selaku perwakilan seluruh kepala desa, menuntut penambahan masa jabatan kepala desa, moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, dan permasalahan dana desa.
Sementara itu, perangkat desa melalui Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) menuntut agar revisi UU No. 6/2014 tentang Desa diikutkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2023 dan kejelasan status perangkat desa sebagai aparatur pemerintah desa dengan menerbitkan undang-undang tentang aparatur pemerintah desa. PPDI juga menuntut pemberian sanksi kepada kepala desa yang bertindak semena-mena dalam pemberhentian perangkat desa, serta menolak gagasan/usulan masa kerja perangkat desa yang disamakan dengan masa jabatan kepala desa. PPDI mendorong pemerintah memfasilitasi peningkatan kapasitas perangkat desa sebagai ajang peningkatan kemampuan dalam menunjang profesionalisme kerja, serta mengusulkan pemberian honor/insentif terhadap ketua RT dan RW sebagai lembaga kemasyarakatan desa.
Baca juga:
Barangkali, terdapat misinformasi yang dialamatkan kepada media. Wacana yang digembar-gemborkan hanyalah soal perpanjangan masa jabatan kepala desa. Padahal, banyak isu lain yang lebih substansial dan esensial untuk diperbincangkan publik. Pragmatisme media pun tampak dengan menjangkitnya pengayaan wacana/dialog publik yang mungkin lebih seksi jika diberi judul Perpanjangan masa jabatan kepala desa, pentingkah? atau Masa jabatan kades 9 tahun, ada udang dibalik batu; atau, judul lain yang sejatinya mengaburkan sifat esensial dari tuntutan kepala desa maupun tuntutan perangkat desa.
Pemberdayaan Desa
Menurut data terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2020 tingkat kemiskinan di desa lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di kota dengan persentase 15,91% dibandingkan 8,22%. Jika dinominalkan, 15,91% setara dengan 14,7 juta jiwa penduduk desa belum menjalani hidup secara layak. Keterbatasan akses pendidikan, air bersih, listrik, dan infrastruktur jalan yang tidak memadai menjadi faktor angka kemiskinan yang masih meroket. Oleh karena itu, dalam konteks aksi kepala desa dan perangkat desa, tidak bisa disimplifikasi hanya soal penambahan masa jabatan kepala desa.
Setelah diundangkannya UU No. 6/2014 pada 15 Januari 2014 di ujung masa pemerintahan Presiden SBY hingga awal tahun 2023, perlu ada evaluasi terhadap UU tersebut mengingat umurnya yang hampir satu dasawarsa. Terdapat materi muatan sebanyak 122 Pasal yang mengatur tata pemerintahan dan pengelolaan desa yang tidak dapat dikatakan sederhana.
Setiap desa mendapatkan kucuran biaya dari pusat sebesar 1 miliar rupiah per tahun, diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 yang memungkinkan desa memberdayakan dirinya sendiri melalui aset yang dipunyai. Permasalahan yang timbul adalah desa belum mampu mengoptimalkan dana yang diberikan tersebut untuk diterjemahkan menjadi program kerja yang sifatnya prioritas (dibutuhkan).
Tulisan Latifatus Sholikah menginterpretasikan data dari BPS dalam konteks bagaimana korupsi dana desa cenderung meningkat sejak tahun 2015 karena aparatur desa belum dapat memaksimalkan potensi yang ada. Biasanya, desa akan menggunakan kucuran dana tersebut sekedar sebagai formalitas belaka, misalnya dengan mengadakan program-program yang tidak ada relevansinya dengan pengembangan desa itu sendiri. Dalam keadaan tersebut, terjadi korupsi oleh kepala desa maupun perangkat desa karena tak tahu harus dikemanakan dana tersebut.
Minimnya program desa yang berkualitas adalah akibat dari SDM yang belum memadai. Perlu membuka pembicaraan tentang alokasi dana desa dalam maksud pengembangan SDM desa dalam wacana revisi UU tadi. Secara umum, gelontoran dana pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi begitu kolosal—walaupun masih banyak masyarakat miskin di desa.
Sejalan dengan itu, struktur fisik pembangunan di desa terbangun, tetapi struktur sosial (kohesi sosial) masyarakat desa terbelah. Keterbelahan tersebut, lagi-lagi, karena SDM yang belum mencukupi. Penting sekiranya agar memasukkan gagasan tentang dana desa untuk pengembangan SDM desa dan dana tersebut dapat dimanfaatkan guna keperluan beasiswa kuliah anak desa dan pembangunan lembaga ketahanan desa untuk memberi edukasi kepada masyarakat desa, terkhusus para pejabat desa.
Sangat mungkin ketika dana pengembangan SDM melalui anggaran pusat dapat digolkan dalam revisi UU Desa, anak-anak dan pemuda desa akan memperoleh pendidikan yang cukup. Masyarakat dan pejabat desa pun akan mempunyai wadah yang disebut lemhanas-nya desa untuk berdialog secara terbuka.
Untuk cakupan penduduk desa yang berjumlah 115 juta jiwa (42% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia), tidak adil rasanya jika hanya dikucurkan dana 70 triliun dari total 7.000 triliun uang kas negara atau APBN. Mengapa negara tidak memberikan dana lebih kepada desa untuk memaksimalkan potensi yang ada supaya kesejahteraan aparatur desa dan pengembangan SDM masyarakat desa dapat berjalan beriringan tanpa adanya ketimpangan?
Pembangunan Infrastruktur SDM Desa
Program Palapa Ring sudah lama digiatkan pemerintah, tapi realisasinya masih masih jauh dari kata paripurna. Palapa Ring yang merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia dengan jangkauan 36.000 kilometer belum bisa menjangkau seluruh titik di pedesaan Indonesia. Penyelesaian Palapa Ring Barat (2018), Palapa Ring Tengah (Januari 2019), dan Palapa Ring Timur (Oktober 2019) hanya mampu terakses pada tingkat kecamatan dan belum terakses pada tingkat desa secara keseluruhan. Bukti nyatanya, ketika pandemi, banyak anak desa tidak mempunyai akses jaringan yang mencukupi untuk pembelajaran jarak jauh.
Negara wajib membuat payung hukum agar desa mampu bergerak secara akseleratif memunculkan kerja-kerja yang berkesinambungan. Hal yang sudah di depan mata ialah disrupsi teknologi. Sialnya, desa belum mampu mengikuti arus perubahan teknologi tersebut dikarenakan alokasi anggaran yang masih diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur fisik dan juga SDM yang belum andal.
Untuk mewujudkan hal tersebut, saya mengusulkan agar desa membangun semacam koperasi internet desa. Apalagi, dengan menjamurnya desa wisata yang sangat bernilai ekonomis, pemerataan internet menjadi barang wajib.
Baca juga:
Media semestinya berperan menyorot dan mengangkat isu yang lebih mengakar, bukan justru menggelorakan narasi-narasi terkait penambahan masa jabatan kepala desa. Walaupun hal tersebut mengganggu ide demokrasi yang telah disepakati bersama, ada hal yang lebih mendasar seperti yang disebutkan di atas ketimbang sekedar perbincangan politik pragmatis untuk menentukan berapa lama waktu yang tepat bagi kepala desa menjabat.
Isu penambahan masa jabatan kepala desa rawan digoreng untuk memberi mimbar para aktor politik yang bermaksud mengambil untung dari wacana tersebut. Bila pembicaraan mengenai tuntutan kepala desa dan perangkat desa mencuat pada konteks yang lebih substansial, maka akan bisa dilihat potret partai politik atau pelaku politik yang mempunyai visi-misi pembangunan/pemberdayaan desa ketimbang mendengarkan narasi-narasi sok demokratis.
Sebegitu pentingnya pemberdayaan desa bagi kemajuan Indonesia dapat ditilik dari Bung Hatta dalam bukunya Beberapa Fasal Ekonomi yang bermuara pada ide tentang pembentukan koperasi desa. Bahkan, Bung Hatta membuat metafora bahwa Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin di desa. Pesan tersebut mesti diingat oleh para pendengung dan pelaku revisi UU Desa agar dapat menemukan lilin yang dimaksud Bung Hatta.
Editor: Emma Amelia