Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun akan mematikan ide demokrasi tentang kesejahteraan. Unjuk rasa ribuan kepala desa di depan Gedung DPR, Senayan, beberapa waktu lalu adalah ironi. Akibat nafsu untuk berkuasa yang menggebu-gebu, mereka lupa akan kewajiban sebagai pemimpin.
Dilihat dari konteks “unjuk rasa”, seharusnya kewajiban para kepala desa adalah menyuarakan aspirasi warga desa, bukan aspirasinya sendiri. Ada dua masalah mendasar yang terjadi di desa: ekonomi yang sulit berkembang dan sulitnya akses pendidikan.
Membawa Kepentingan Siapa?
Sekarang, coba kita lihat tayangan wawancara para kepala desa yang berunjuk rasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang membawa atau membicarakan isu yang saya sebutkan di atas. Artinya, kepala desa sebagai pemimpin telah gagal. Mereka tidak mendengarkan keluhan ibu-ibu tentang kenaikan harga bahan-bahan pokok. Mereka juga tidak mendengarkan percakapan bapak-bapak di kedai kopi yang gelisah karena tidak dapat membelikan anaknya buku dan seragam untuk sekolah.
Baca juga:
Dari hal ini, kita bisa melihat adanya paradoks pada ide yang dituntut oleh ribuan kepala desa tersebut. Keegoisan sudah lebih dahulu menguasai mereka. Kita tahu desa adalah komunitas akar rumput di negeri ini. Suara-suara dari desa adalah suara yang jujur, tidak memiliki kandungan politis atau berbasis pada kepentingan tertentu.
Kita juga harus mengingat bahwa warga desa tidak mendapatkan pendidikan politik sebaik warga kota. Akan tetapi, mereka paham tentang penyalahgunaan wewenang jabatan. Ketidakadilan adalah pengalaman hidup mereka, dan kesenjangan sosial adalah permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Di tengah ketidakadilan dan kesenjangan sosial tersebut, para pemimpin yang mereka harapkan justru tidak hadir membawa ide perubahan. Mereka malah hadir dengan sejuta kepentingan masing-masing.
Perlu diingat, pada masa sekarang, apa yang para elite sebut sebagai kepentingan sesungguhnya adalah beban bagi masyarakat. Dalam konteks perpanjangan masa jabatan kepala desa, kita dapat menyimpulkan bahwa mencari pemimpin yang benar-benar punya kapasitas untuk memimpin sangatlah sulit, dan hanya orang beruntung yang mungkin bisa mendapatkannya.
Matinya Sirkulasi Kepemimpinan
Apabila ide ini dilihat dari sudut pandang yang lebih demokratis, para pemimpin desa dan pihak-pihak yang setuju akan ide ini terlihat sepakat untuk mematikan demokrasi. Mereka bahu-membahu mematikan pergerakan sirkulasi kepemimpinan.
Baca juga:
Dari digaungkannya ide perpanjangan masa jabatan kepala desa ini, kita jadi tahu bahwa ada ribuan kepala desa yang sama sekali tidak memahami prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi selalu menganjurkan adanya sirkulasi kepemimpinan dan evaluasi kinerja pemimpin.
Jika sirkulasi kepemimpinan berhasil dihancurkan, demokrasi dengan sendirinya akan mati, dan kematian demokrasi akan melahirkan sistem otoritarianisme. Jika otoritariansme berhasil diterapkan, para kepala desa akan menjadi raja dan ratu kecil di desa. Dan apabila tuntutan para kepala desa tersebut diterima dan dikabulkan para pemangku kebijakan, demokrasi akan menjadi sistem yang semu di negeri ini.
Editor: Prihandini N