Sebagai perempuan desa yang tinggal di daerah pelosok, yang masyarakatnya masih homogen dan memegang teguh nilai agama, moral, dan adat Jawa, saya merasa bahwa gerakan feminisme saat ini masih cukup elite. Jika diamati, gerakan feminisme banyak berkutat pada masalah kebijakan aborsi, sex education, body positivity, dan lain sebagainya. Menurut saya, problem yang disuarakan ini masih belum menyentuh keseharian masyarakat desa. Hal-hal tersebut terlalu jauh dari kami yang masih sering bergulat dengan masalah mendasar, seperti boleh tidaknya perempuan melakukan suatu tindakan dari sudut pandang agama dan adat. Jika ditanya apakah feminisme benar-benar berasal dari akar rumput, dari perempuan anggota masyarakatnya sendiri, rasa-rasanya tidak begitu.
Feminisme dan Privilese
Hal ini bahkan tercermin dari sejarah pergerakan perempuan, dari sosok feminis R.A Kartini yang seorang ningrat di lingkungan feodal Jawa. Sebagai perempuan Jawa saat itu, ia resah melihat perempuan-perempuan di lingkungannya terkurung adat dan tidak punya kendali atas tubuh mereka sepenuhnya. Meskipun begitu, ia tetaplah seseorang yang memiliki privilese, ia termasuk kelompok elite yang mau dan mampu mengubah kondisi saat itu.
Baca juga:
Lantas bagaimana jadinya jika dalam kelompok masyarakat pelosok ini tidak ada seorang pun yang sadar akan permasalahan yang membelenggu perempuan? Menurut saya, emansipasi perempuan di lingkungan itu tidak akan pernah terjadi. Harus ada satu atau dua orang yang memang memiliki kesadaran untuk keluar dari belenggu itu.
Bukannya saya mengotak-kotakkan, tetapi memang dibutuhkan orang yang punya privilese untuk gerakan feminisme akar rumput. Bagaimana mungkin seseorang yang sejak dalam pikiran tidak punya akses terhadap apa yang benar dan apa yang seharusnya dilakukan menjadi penggerak dalam kelompoknya? Oleh karena itu, menurut saya orang yang punya privilese memang dibutuhkan sebagai penggerak. Mereka dibutuhkan untuk memberdayakan perempuan pelosok agar feminisme ini menjadi gerakan akar rumput yang murni.
Dalam kondisi seperti ini, orang dengan privilese yang saya maksud adalah mereka yang bisa mengakses pengetahuan di luar agama dan adat. Orang itu bisa saja pelajar, ulama dengan pengetahuan progresif, bahkan juga golongan ningrat atau elite. Mereka adalah perempuan yang dapat mengakses pendidikan dan menjadi agen perubahan bagi perempuan lain di sekitarnya.
Langkah untuk Mewujudkan
Lantas, bagaimana cara agar mereka mau dan mampu melakukan emansipasi dalam kelompok masyarakatnya sendiri? Menurut saya, mereka bisa memanfaatkan pengetahuan yang mereka miliki.
Pertama, mereka perlu melakukan pendekatan melalui dialog langsung dengan para perempuan di daerah pelosok. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat bagaimana perspektif mereka terhadap belenggu yang ada, apakah sebenarnya mereka ingin keluar tetapi tidak bisa, atau justru ingin tetap mempertahankan kepercayaan tradisional dari masalah itu.
Kedua, apabila ternyata ditemukan masalah-masalah serius seperti KDRT dan kekerasan seksual, gerakan feminisme di desa bisa menjadikan hal itu sebagai turning point pergerakan. Biasanya orang-orang akan berubah untuk berbenah diri setelah terjadi tragedi.
Ketiga, gerakan feminisme di desa bisa dimulai dengan mengadakan perkumpulan khusus perempuan desa. Mereka bisa berbagi cerita sekaligus menanamkan kesadaran hak-hak perempuan yang seharusnya mereka dapat tetapi masih terbelenggu agama dan adat.
Baca juga:
Keempat, secara umum masyarakat pelosok ini perlu diberikan edukasi dan pemahaman kesetaraan gender dengan menyesuaikan nilai yang mereka yakini. Edukasi bisa diberikan melalui kegiatan menonton film layar tancap, pengajian dengan materi progresif, dan kampanye-kampanye.
Perlu ditekankan bahwa hal ini bukan dilakukan untuk memodernisasi masyarakat dan nilai-nilai adatnya, tetapi untuk mewujudkan kesadaran toleransi dan kesetaraan hak untuk perempuan.
Tentunya perwujudan langkah pergerakan ini tidak semudah ketika saya menulisnya, mungkin akan ditemui banyak hambatan dan penolakan pada praktiknya. Mungkin untuk saat ini sebagaian besar perempuan di desa saya sudah bisa mengakses emansipasi, tetapi belum bisa benar-benar keluar dari belenggu yang lebih kompleks, sebagaimana yang diperjuangkan oleh gerakan feminisme. Akan tetapi, saya percaya bahwa sesuatu yang dilakukan dengan niat dan cara yang baik akan berbuah manis, meskipun mungkin buah itu tidak tumbuh di generasi yang menanam.
Editor: Prihandini N