Mencintai keindahan alam dan kegiatan outdoor.Pernah bergelut di dunia pengolahan pangan hingga menjadi bagian dari pemberdaya masyarakat dan pencinta wastra nusantara

Bumdesa: Bukan Perpanjangan Tangan Kapitalis di Desa

D.Mentari Alam

3 min read

Kehadiran Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) seharusnya bukan menjadi perpanjangan tangan kapitalis di desa. Bumdes bukan pula hadir untuk menguatkan usaha para penguasa dan pengusaha lokal. Idealnya Bumdesa hadir menjawab kebutuhan masyarakat, mengangkat potensi lokal desa, menghidupkan geliat ekonomi usaha kecil dan membantu meningkatkan pendapatan asli desa.

Salah satu masalah utama masyarakat desa adalah hadirnya tengkulak. Tengkulak membeli hasil panen dengan harga sangat murah yang tak berpihak pada petani. Masalahnya, kebanyakan tengkulak adalah bagian dari penguasa, pengusaha dan tokoh masyarakat di desa. Para petani menjual begitu saja hasil panen sesuai harga tawar dari tengkulak yang sering kali adalah harga terendah.

Sebagai usaha yang beorientasi profit dan berjiwa sosial, Bumdesa bisa membantu memutus rantai tengkulak. Bumdesa bisa memainkan peran sebagai pemasar produk lokal desa dengan harga tawar yang berpihak pada petani. Bumdesa juga bisa mengangkat potensi lokal dan menjadikannya ciri khas unggulan desa. Contohnya adalah desa penghasil pepaya callina di Kabupaten Cirebon yang digarap masyarakat desa, Bumdesa hadir membantu pemasarannya dengan harga yang berpihak ke petani, menggerakkan ibu-ibu PKK untuk mengolahnya menjadi produk pangan yang punya nilai tambah dengan kemasan menarik, memfasilitasi pengurusan ijin edar sehingga keberadaan Bumdesa makin dirasakan seluruh lini masyarakat desa.

Namun, alih-alih berjuang untuk membantu usaha masyarakat, banyak Bumdesa yang hanya sibuk membesarkan usaha personal dari pengusaha lokal. Salah satu contohnya adalah Bumdesa di Indramayu yang menjadikan usaha budidaya sarang burung wallet sebagai salah satu unit bisnisnya, hanya karena pemiliknnya adalah pengusaha lokal yang disegani dan usahanya sudah berjalan dengan kelengkapan sarana dan prasarana. Padahal belum tentu usaha tersebut menjawab permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa.

Unit-unit usaha Bumdesa juga tidak seharusnya bersaing dan mematikan usaha masyarakat yang ada. Misalnya, ketika di suatu desa sudah ada agen sembako, jangan sampai Bumdesa membuka usaha sembako dengan harga yang lebih murah.

Kenyataan lainnya, unit-unit usaha Bumdesa yang ada tak bedanya dengan usaha di perkotaan; agen gas, air mineral, PPOB (Payment Point Online Banking) sebagai pembayaran online bekerjasama dengan perbankan, usaha fotokopi dan ekpedisi pengiriman barang. Tentu tidak salah jika unit usaha ini memang menjadi solusi yang menjawab permasalahan masyarakat, misalnya jarak jangkauanya terlalu jauh dari desa sehingga kehadirannya dibutuhkan masyarakat.

Jika pengurus Bumdesa kreatif dalam mengidentifikasi potensi dan menggali permasalahan masyarakat, akan ada banyak pilihan usaha yang sekaligus bisa memberi solusi bagi masyarakat. Pengurus Bumdesa didorong berpikir kreatif, inovatif dan produktif menggali potensi lokal desa yang dapat mensejahterakan masyarakat atau menjadikannya solusi sehingga kehadirannya dirasakan seluruh masyarakat desa.

Ambil contoh Bumdes Amarta di Yogyakarta, pengurusnya berhasil menjalankan unit usaha pengelolaan sampah bermodalkan mesin pencacah sampah bantuan Dinas sebagai aset desa. Pemetaan permasalahan masyarakat berhasil dilakukan mulai dari melihat sisi lokasi desa yang dekat dengan kota, potensi desa hanya persawahan seperti pada umumnya tanpa ciri khas, permasalahan sampah yang belum memiliki pembuangan, pengangguran yang kian meningkat, hingga perhatian kesehatan warga belum menjadi prioritas. Tercetuslah ide pengelolaan sampah yang dikumpulkan dari rumah-rumah warga, warga yang menyetorkan mendapat uang penganti, dipilah yang organik dan non organik. Sampah non organik seperti botol minum kemasan, kardus, plastik bekerjasama dengan penampung sampah. Sampah organik diolah menjadi pupuk organik yang dipasarkan ke dinas pertamanan dan warga perumahan. Omzet dari sampah ini telah menambah pendapatan asli desa sekitar 1 juta per bulan setelah menggaji para pengurus.

Bumdesa lain yang dapat dijadikan contoh adalah Bumdesa Cisantana dari Kuningan yang merupakan juara satu Bumdesa terbaik se-Jawa Barat. Ide kreatif mengelola lahan bekas galian yang berlokasi di perbukitan menjadi lokasi wisata “Sukageuri View” dengan spot-spot foto selfie berbagai tema. Kemampuannya menjalin jejaring kemitraan dengan pihak ketiga untuk mendapat tambahan modal sehingga dapat mengembangkan Lawang Geger Curug Sawer. Kemampuan pengelolaan mampu memberikan pendapatan asli desa (PADes) sebesar 48 juta setahun.

Contoh lain yang tak kalah menarik, Bumdes Pangkalan Tandan di Purwakarta. Di tahun 2019, Ketua Bumdesa sebagai satu-satunya yang terpilih mengikuti kunjungan kerja ke Desa Hiware Bazar, India dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai apresiasi keberhasilan pengelolaannya setelah terpilih menjadi juara 1 dari 16 Bumdes yang melewati penilaian dari sisi aspek regulasi, aspek usaha atau produktivitas, aspek manajemen atau tata kelola serta pemberdayaan. Desa Pangkalan Tandan yang puluhan tahun lalu miskin dan kering, tidak memiliki potensi unggulan tetapi berhasil memperoleh pendapatan 76 juta selama tahun 2020. Berbagai usaha dilakukan mulai dari penyewaan alat pesta, gelanggang olahraga, lapangan futsal, studio musik hingga penyewaan 20 kios pasar dengan sewa 250 ribu/bulan, pengelolaan sampah rumah tangga dengan iuran bulanan sebesar Rp. 15.000/Kepala Keluarga (KK) berdasarkan Peraturan Desa, berawal dari 201 KK hingga mencapai 756 KK berminat menyalurkan sampahnya.

Program Bumdes Pangkalan Tandan lainnya yang menunjukkan kepedulian dan kehadirannya di tengah masyarakat dengan kartu sehat yang disebut HRS (Harapan Rakyat Sejahtera) dan KASEP yang digunakan untuk berobat ke klinik atau puskesmas sebelum dirujuk ke rumah sakit, dananya dihimpun dari gotong royong dana sehat yang dihimpun oleh para RT. Setiap anggota masyarakat yang sakit dan berduka mendapatkan uang santunan dari Bumdesa sebesar 200 hingga 300 ribu rupiah. Dari sinilah kehadiran Bumdesa makin dirasakan. Program kreatif lainnya yaitu OBOH (One Banana One Home), setiap rumah wajib menanam minimal satu pohon pisang tanduk yang diprioritaskan untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan. Pisang dipanen dua kali setahun yang diolah oleh Bumdes untuk keripik pisang.

Ada juga Tabungan THR (Tabungan Hari Raya), sebesar Rp. 5000/minggu yang diambil menjelang seminggu sebelum puasa. Tabungan masyarakat yang sudah mencapai Rp.1 juta dibukakan tabungan BTN Batara sebagai jaminan keamanan masyarakat. Paket daging dibayarkan 44 kali yang diambil dua hari sebelum hari raya Idul Fitri

Beberapa contoh Bumdesa tersebut dapat menjadi inspirasi Bumdesa lain. Keterbatasan potensi bukanlah penghalang untuk menjadi bagian penyumbang pundi-pundi desa, mampu menjawab kebutuhan masyarakat, hingga menunjukkan perhatian ke masyarakat sebagai bentuk kehadiran Bumdesa di desa dan bagian dari penggerak ekonomi lokal desa.

D.Mentari Alam
D.Mentari Alam Mencintai keindahan alam dan kegiatan outdoor.Pernah bergelut di dunia pengolahan pangan hingga menjadi bagian dari pemberdaya masyarakat dan pencinta wastra nusantara

3 Replies to “Bumdesa: Bukan Perpanjangan Tangan Kapitalis di Desa”

  1. Saya tidak pernah melihat langsung “Bumdes” itu seperti apa, ataupun berkunjung langsung ke lokasi-lokasi Bumdes itu, namun tulisan Dian memang inspiratif, seandainya banyak yang sepemikiran dengan Dian, pasti banyak desa-desa maju yang tergali potensialnya tanpa merubuhkan potensi penduduknya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email