Tahun 2023 tepat di depan mata kita. Tahun tersebut konon diproyeksikan menjadi tahun yang penuh keriuhan. Bukan saja karena resesi ekonomi yang sedang menghantui, gelagak politik akbar juga diperkirakan akan terjadi pada tahun tersebut. Orang-orang biasa menamainya tahun politik.
Pada tahun 2023, seluruh elemen elite politik berkoalisi menyusun rangkaian strategi menuju kemenangan pada Pemilu 2024. Tahun depan kita dapat menyaksikan siapa saja yang bertengger sebagai kandidat presiden dan wakil presiden.
Saya tidak akan fokus pada kongkalikong yang dicoba para elite politik dalam menyusun siasat di arena politik 2024. Saya akan coba mengurai beberapa fenomena “basi” yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan saksama ketika Indonesia memasuki tahun politik.
Konstelasi politik tahun depan akan sangat memengaruhi berbagai aspek nonpolitik dalam kehidupan masyarakat. Saya akan berfokus pada tiga isu yang pernah atau kemungkinan besar akan terjadi di pesta demokrasi nanti.
Baca juga:
Polarisasi Massa
Beberapa tahun belakangan, isu polarisasi atau segmentasi akibat pertarungan politik di berbagai level begitu marak terjadi. Isu ini bahkan sudah mengarah pada perpecahan kelompok-kelompok pendukung partai politik. Meskipun segmentasi pemilih adalah hal yang lumrah dalam pemilu, jika sampai menimbulkan perpecahan, hal ini bukanlah tanda yang baik.
Polarisasi massa di Indonesia pada momen pra dan pasca Pemilu 2019 nyatanya menjadi presenden yang begitu pas untuk dijadikan bahan refleksi. Kubu yang terbentuk di antara paslon no. 1 dan no.2 membentuk polarisasi biner, kalau bukan A, berarti B. Hal ini berakibat fatal. Kampanye yang seyogyanya diperuntukkan sebagai strategi meraih suara justru menjadi ladang ujaran kebencian. Nilai-nilai toleransi terhadap suku, ras, dan agama seperti dilupakan. Kekerasan yang ditimbulkan tidak main-main. Ini terjadi di ranah dunia nyata dan internet.
Hal ini perlu diwanti-wanti, utamanya menjelang perhelatan pemilu mendatang. Indonesia bisa bernasib sama, dan bahkan lebih parah ketimbang yang terjadi di Pemilu 2019.
Ide Nirgagasan
Kematangan visi dan misi para paslon juga menjadi peristiwa yang layak dinanti dan dicermati dengan serius. Para kandidat pada rentang pemilu sebelumnya kerap menawarkan agenda-agenda perubahan yang terkesan usang, bersifat normatif, dan kemungkinan biasa-biasa saja. Agenda mereka jauh dari kata revolusioner dan berbasis akar rumput.
Dan yang paling parah adalah realisasinya kadang tidak pernah maksimal. Ujung-ujungnya hanya keren di podium debat capres. Inilah yang terjadi pada janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penjaminan penerapan HAM masa kini, komitmen perbaikan sumber daya manusia, penuntasan korupsi, dan upaya pengikisan kesenjangan sosial-ekonomi.
Ada banyak yang lewat begitu saja dan tidak terealisasi. Kita bahkan belum berbicara mengenai absennya isu paling penting untuk kehidupan umat manusia saat ini, yakni isu lingkungan dan krisis iklim.
Baca juga:
Gen Z Sekadar Komoditas
Selain kedua fenomena yang telah dipaparkan sebelumnya, keberadaan Generasi Z sebagai salah satu representasi pemilih muda nyatanya memiliki peran cukup vital dalam kontestasi Pemilu 2024. Hal ini perlu tilikan lebih jauh, mengingat ini kedua kalinya para pemuda akan menguasai panggung pemilih pada tahun 2024.
Pemilu bukanlah ajang yang dihelat sebagai momen pencoblosan semata, bukan pula gelaran untuk memberi ruang para elite untuk berkontestasi. Pemilu sejatinya menjadi proses di mana beragam kepentingan masyarakat Indonesia didesak masuk dan diolah sebagai visi ataupun misi para kandidat.
Lalu, bagaimana caranya? di sinilah peran gen Z atau generasi muda secara umum dimaksimalkan. Seyogyanya, mereka tidak boleh hanya menjadi objek pasif dan dianggap tidak punya pengaruh apa-apa terhadap apa yang ditawarkan oleh para kandidat.
Mereka justru diharuskan turut serta dan aktif memberi kritik, masukan, bahkan mendebat segala hal yang keluar dari corong kandidat presiden dan wakilnya. Praktik seperti ini memungkinkan kebutuhan banyak pihak pada akhirnya diproses menjadi program atau visi yang diemban oleh para kandidat, atau setidaknya menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka pikirkan selama ini ternyata keliru dan bukan sesuatu yang penting-penting amat.
Editor: Prihandini N