Kalo kebetulan, bisa ditemui di mana-mana. Kadang tulis-temulis lalu dikirim ke mana aja. Kadang suka tiduran. Kadang, sering khawatir sama makan. Tapi, tentunya selalu semangat.

Teknologi, Ketegangan, dan Matinya Kepakaran

Ahmad Zulkarnaen

3 min read

Teknologi informasi yang dapat diakses siapa aja melahirkan masyarakat yang seolah-olah “serba tahu”. Penyebaran informasi dari orang-orang yang seolah “serba tahu” ini dapat menimbulkan ketegangan hingga melahirkan kubu-kubu pro dan kontra. Lalu, bagaimana seharusnya kita menjalani hidup pada era serba informasi ini?

Kemudahan sarana teknologi dikonsepkan agar manusia mencapai tujuan praktis demi kelangsungan dan kenyamanan hidup. Teknologi yang menggemparkan dimulai saat komputer kuantum diciptakan, saat Feynman dan kawan-kawannya mencoba mengolah sedemikian rupa ide mengenai sistem kuantum tersebut, sampai menemukan sistem logika yang sesuai, yaitu algoritma. Keberlanjutan tersebut terus mengalami pengembangan hingga sekarang.

Sebagai karya aplikatif, saat berbicara mengenai sejarah teknologi, tentu perbedaan teknologi masa lalu dan sekarang sangat mencolok. Pada masa nenek moyang manusia pemburu, hanya beberapa orang yang dapat menggunakan teknologi berburu. Pisau batu tajam hanya digunakan oleh orang yang berani menghadapi hewan yang menurutnya buas. Dengan keberaniannya, orang yang menggunakan pisau batu tajam dapat mengobati rasa lapar kelompoknya, bahkan hingga mengalahkan kelompok-kelompok buruan yang lain.

Berangkat dari hal-hal abstrak yang bersifat matematis hingga filosofis, sains kemudian direkonstruksi sedemikian rupa sehingga kini perkembangannya terlihat mencolok dibanding masa-masa sebelumnya. Dulu teknologi pisau batu tajam nenek moyang manusia hanya dapat digunakan oleh segelintir orang di kelompoknya, sedangkan pada masa kini, teknologi seperti handphone dapat digunakan oleh siapa saja.

Handphone menjadi teknologi yang sering digunakan saat ini. Menurut data yang dikeluarkan oleh Stock Apps, hampir 70% populasi masyarakat dunia memiliki handphone. Kemudian, berdasarkan data temuan Appanie, 5,5 jam orang Indonesia menghabiskan waktunya untuk menggunakan handphone. Tidak dapat dimungkiri bahwa handphone memang memudahkan seseorang berkomunikasi, bahkan melakukan kegiatan lain.

Informasi-informasi yang disebar melalui berbagai media dapat diakses dengan mudah menggunakan handphone. Informasi tersebut dengan mudah pula dikonsumsi oleh semua orang. Namun sayangnya, tidak semua informasi di media dapat terjamin kredibilitasnya. Selain itu, tidak semua orang dapat memfilter konsumsi informasi yang terlanjur menyebar. Pada akhirnya, informasi-informasi tidak matang tersebut direproduksi ulang oleh segelintir orang yang tidak dapat memfilternya.

Masyarakat terobsesi memuja ketidaktahuannya sendiri. Kalimat seperti “menurut pendapat saya…” atau atau “seharusnya kamu…” menjadi bukti betapa cepat seseorang memberikan instruksi atau bersikap sok tahu, bahkan pada saat obrolan-obrolan santai. Pada saat itulah ketakjuban dan ketegangan benar-benar terjadi.

Kultus Ketidaktahuan

Meminjam perkataan Asimov, kultus ketidaktahuan terus mengakar, tumbuh, dan tidak akan pernah hilang. Masyarakat tidak sungguh-sungguh mencari informasi, tetapi kemudian mereka dengan mudahnya menyebarkan informasi tersebut. Ketegangan antiintelektualisme selalu menjadi benang yang melilit kehidupan politik dan budaya. Dan ketegangan ini dipelihara oleh gagasan yang salah bahwa demokrasi berarti “ketidaktahuan saya sama berharganya dengan pengetahuan Anda”.

Fenomena seperti ini pernah terjadi kala pandemi Covid-19. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu perihal penggunaan vaksin. Salah satu perbedatan yang ramai terjadi antara Jrx dan para pakar kesehatan. Fenomena lain yang agak absurd adalah perdebatan bumi datar atau bumi bulat. Padahal fakta ini sudah dibuktikan sains sejak zaman revolusi Galileo.

Dari sini terlihat bahwa masyarakat saat ini terbagi menjadi dua kubu. Pertama, masyarakat yang menerima segala sesuatu berdasarkan rujukan para pakar yang memiliki konsep dan metodologi. Dengan begitu, segala bentuk informasi yang bias dan tidak berdasarkan metodologi, tidak akan mereka percayai. Kedua, masyarakat yang menolak segala rujukan pakar dan memilih asumsi alternatif berdasarkan informasi di internet kemudian menghubung-hubungkan sendiri.

Masyarakat kubu pertama sejalan dengan konsep yang ditulis Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran. Tom Nichols mengatakan bahwa masyarakat haruslah mencari dan memperoleh informasi dari sumber yang tepat demi kebaikan dirinya sendiri dan orang lain. Maksud dari sumber yang tepat adalah ahli, pakar, intelek, dan jajarannya. Nichols memiliki kekhawatiran terhadap masyarakat era informasi atau media sosial ini, sebab mereka mudah sekali percaya influencer seperti selebgram ketimbang ahli, pakar, intelek, dan jajarannya yang memang lebih kompeten.

Baca juga:

Gejala kekhawatiran Nichols ini muncul kurang lebih beberapa tahun ke belakang sebelum Matinya Kepakaran diterbitkan. Ia menganggap bahwa pakar itu tidak lagi menjadi rujukan masyarakat. Karena era serba informasi ini, masyarakat justru menolak segala rujukan sains dan bergembira ria dengan dunia internet yang dijadikan sebagai fakta alternatif. Di sini Nichols menganggap bahwa demokrasi telah mati. Maka, implikasinya, selebgram atau bahkan semua orang dapat berbicara seperti profesor tanpa harus melalui pendidikan akademik yang kompetitif.

Berbeda dengan Nichols, Filsuf Prancis Jacques Ranciere, justru memiliki perspektif yang berlawanan, ia termasuk masyarakat kubu kedua. Dengan perspektif demokrasi radikalnya yang berlandaskan kesetaraan, Ranciere menolak segala bentuk hierarki. Menurutnya, hierarki adalah syarat dari politik, bukan tujuan dari politik itu sendiri. Itulah prinsip demokrasi radikal Ranciere. Maka dari itu, jika Nichols masih menganggap masyarakat harus merujuk kepada pakar, itu berarti—jika dibenturkan dengan prinsip Ranciere—prinsip Nichols bukanlah prinsip demokrasi, melainkan republik, bahkan mungkin bisa di atasnya.

Terpecah menjadi Dua Kubu

Ketegangan benar-benar terjadi antara kubu satu dan kubu dua. Sekarang ini, bukan orang-orang awam saja yang mengalami ketegangan satu sama lain, antara pakar dengan pakar lainnya pun memiliki ketegangan. Kita dapat melihat bahwa perspektif demokrasi Nichols mirip dengan Asimov, sedangkan perspektif demokrasi Ranciere sejalan dengan apa yang dikatakan Harari, bahwa demokrasi menyoal kebijakan yang sesuai dengan hasrat orang banyak. Maka dari itu, dengan ini jelas bahwa demokrasi bergantung kepada para ahli, pakar, intelek, dan jajarannya.

Di kanal YouTube-nya, Martin Suryajaya menjelaskan bahwa ada kekeliruan dari pandangan Nichols dalam buku Matinya Kepakaran jika bertemu pandangan demokrasi Ranciere.  Matinya Kepakaran yang dimaksud Nichols, secara tidak langsung memasuki dimensi demokrasi, padahal ide Nichols adalah satu ide di atas republik (yang merujuk pada negara Amerika), sedangkan demokrasi adalah menyoal ide dari kesetaraan semua orang termasuk masyarakat, pakar, dan jajarannya. Di sini ada ketegangan secara konseptual, antara demokrasi Nichols yang mengarah pada metode kompetensi (kepakaran dan jajarannya) dengan demokrasi Ranciere yang mengarah pada metode representasi (kesetaraan).

Yang menjadi perhatian paling menarik setelah ini adalah, akankah ketegangan-ketegangan berikutnya terjadi atau mungkin malah kacau balau? Bagaimana seharusnya kita menjalani hidup pada era serba informasi ini? Jika kita saklek pada Nichols yang harus mengarah pada metode kompetensi atau kepakaran, apakah kita tidak akan merasa terbatasi? misalnya, apakah seorang pekerja kantor tidak boleh menggunakan perkakas bangunan karena itu bukan ranahnya? Apakah pedagang kebab kaki lima yang belajar membuat kebab secara otodidak lewat internet dan tidak memiliki sertifikat dari koki kebab tidak boleh mencari nafkah dengan kebab buatannya?

Selanjutnya, jika kepakaran saklek, yang saya bayangkan adalah bagaimana cara menggunakan internet dengan metode kepakaran itu, sedangkan ruang bermain dalam internet membolehkan semua orang menikmatinya. Dan itu adalah bentuk dari kesetaraan. Obrolan sekadar di tongkrongan atau warung kopi pun agaknya akan menjadi tidak menarik dan monoton, sebab nantinya tidak akan ada orang yang bercerita soal kabar dunia ekonomi, politik, seni, budaya, agama, dan lain sebagainya meski mereka hanya mendapatkan sedikit informasi soal itu dan hanya mengambil dari internet. Atau mungkin yang lebih menyakitkan, saya yang bukan seorang pakar dan bukan siapa-siapa, tidak boleh mengabarkan tulisan yang mungkin demokratis ini.

Ahmad Zulkarnaen
Ahmad Zulkarnaen Kalo kebetulan, bisa ditemui di mana-mana. Kadang tulis-temulis lalu dikirim ke mana aja. Kadang suka tiduran. Kadang, sering khawatir sama makan. Tapi, tentunya selalu semangat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email