Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Terorisme Negara di Desa Wadas

Rizki Muhammad Iqbal

2 min read

Subuh itu, warga desa Wadas, Purworejo, menerima informasi mendadak bahwa akan ada agenda pengukuran tanah dalam rangka penambangan batu andesit untuk Bendungan Bener. Beberapa jam kemudian, pion-pion negara datang berbondong-bondong dengan senjata lengkap seperti ingin menyerbu markas ISIS di Suriah.

Baca Editorial: Robbing People in Broad Daylight

Namun ternyata yang mereka serbu justru warga yang sedang mencoba mempertahankan hak ruang hidupnya. Bahkan pemuda yang sedang bersantai sambil menikmati secangkir kopi panas di warung kopi pun ditangkap tanpa alasan yang jelas. Video aparat yang masuk ke rumah warga, menyeret warga keluar, dan memukul seorang pemuda beredar luas di media sosial. Sedikitnya 60 orang ditangkap polisi.

Kebrutalan aparat menciptakan situasi mencekam yang menyisakan trauma sepanjang hidup bagi siapa pun yang ada di desa tersebut. Trauma itu bahkan sudah tercipta ketika warga menyaksikan pion-pion negara datang dengan jumlah yang cukup banyak, lengkap dengan senjata dan simbol otoritas yang melekat pada pakaian mereka.

Namun persoalan ini bukan semata-mata milik pion-pion tersebut. Mereka hanyalah kacung yang dimanfaatkan untuk kepentingan sang raja. Mereka adalah garda depan yang selalu dipertentangkan dengan warga untuk memuluskan tujuan politik-ekonomi sang penguasa. Nasib pion-pion ini sama saja dengan nasib etnis Tionghoa di masa lampau.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, orang-orang etnis Tionghoa diberikan peran oleh pihak kolonial (Belanda) sebagai mediator perdagangan dengan pribumi. Belanda menggunakan Tionghoa sebagai “tembok penyekat” jika sewaktu-waktu mereka berkonflik dengan pribumi.

Ketika terjadi pembantaian besar-besaran, etnis Tionghoa terjebak dalam pusaran diskriminasi abadi. Kemudian, prasangka dan stereotip negatif terhadap etnis Tionghoa dilembagakan oleh Orde Baru. Dalam konteks pion-pion negara, di sini mereka hanyalah “pisau” yang digunakan oleh maling untuk menyerang sang pemilik rumah.

Terorisme Pembangunanisme

Kita bisa mengibaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh negara pion-pion itu adalah suatu bentuk penjarahan terhadap sumber penghidupan warga desa Wadas. Bagaimana tidak? Bumi Wadas memiliki kekayaan alam yang jauh lebih menghidupi daripada iming-iming pekerjaan sebagai buruh di perkotaan. Komoditas yang bisa dihasilkan dari perkebunan di desa itu bisa mencapai angka Rp. 8.5 milyar/tahun; untuk komoditas kayu keras per 5 tahun dapat mencapai Rp. 5.1 milyar. Komoditas itu berupa pisang, akasia, cengkeh, vanili, durian, kemukus, jati, dan masih banyak lagi. Tidak ada kekayaan yang mampu menggantikan tanah surga desa Wadas, meskipun itu berupa iming-iming kemajuan modernisasi dalam wacana pembangunan.

Baca juga: Perlawanan Marhaen di Desa Wadas

Pembangunan Bendungan Bener adalah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Rencana proyek pembangunan ini dilakukan sejak 2018 dan diprediksikan akan selesai pada 2023. Dikutip dari laman resmi kppip.go.id, investasi yang digelontorkan untuk proyek ini mencapai Rp. 2.06 triliun yang sumber dananya berasal dari APBN-APBD. Proyek ini sekaligus ditujukan sebagai usaha untuk meningkatkan perekonomian lokal di bidang pariwisata. Namun rencana pembangunan berdasarkan logika kemajuan ini akan menjadi masalah ketika terbentur dengan hak-hak warga yang telah lama ada di sana.

Dari unggahan di akun @jogja_darurat_agraria, tertulis bahwa berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tahun 2018, Ganjar Pranowo menetapkan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan batuan untuk pembangunan Bendungan Bener. Padahal sebelumnya, Wadas ditetapkan sebagai kawasan yang diperuntukkan sebagai perkebunan berdasarkan Peraturan Daerah Purworejo Nomor 27 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Artinya keputusan untuk melakukan penambangan batu andesit akan berpotensi merampas hak ruang hidup warga yang ada di sana serta merusak ekosistem alam yang berguna sebagai sumber kehidupan. Di samping itu, rencana pembangunan ini menyalahi aturan RTRW.

Baca juga: Perempuan Penjaga yang Dibisukan

Ketika warga Wadas mencoba untuk mempertahankan ruang hidupnya, negara justru mengirimkan pion-pion sebagai senjata untuk melibas mereka yang dianggap sebagai penghalang kepentingan modernisasi dan pembangunan. Pion-pion itu datang secara bersama-sama untuk menangkap, memukul, dan menakut-nakuti warga sebagai bentuk arogansi yang memuakkan. Logika pembangunan seperti ini mirip dengan slogan “ekonomi sebagai panglima” yang diusung oleh Orde Baru untuk menggantikan sistem kekuasaan Orde Lama yang dianggap gagal. Pendekatan ini berorientasi pada peranan korporasi dan pengusaha dalam proses pembangunan.

Pembangunan Bendungan Bener yang dikerjakan oleh sejumlah perusahaan besar pelat merah, seperti PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT PP (persero) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (persero), jelas menunjukkan bahwa negara melegitimasi perampasan hak ruang hidup warga Wadas dengan logika kemajuan dan modernisasi untuk melegalkan penindasan secara sah atas nama pembangunan. Mereka memesan “terorisme legal” untuk menakut-nakuti warga yang menghalangi proses pembangunan ini. Teroris berseragam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatannya ini memang memiliki kesan “gagah” sehingga mereka mampu membuat takut semua orang yang berhadapan dengan mereka. Segala hal yang menyebabkan ketakutan secara massal merupakan suatu bentuk terorisme. Sampai di sini, seharusnya isu tentang terorisme tidak hanya berputar-putar dalam lingkup agama, namun juga segala bentuk teror dan intimidasi yang dilakukan negara.

Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Penulis biasa aja. Suka makan ikan tongkol.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email