Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun perlu dikritisi bersama. Apakah wacana tersebut betul-betul diperlukan? Masa jabatan kepala desa yang terlalu lama justru akan membuat masyarakat berada di titik jenuh. Desa juga bisa kehilangan regenerasi pemimpin karena pemudanya menunggu terlalu lama. Perpanjangan masa jabatan ini akan membuat demokrasi mundur. Demokrasi diwujudkan dengan pemilihan kepala desa secara bergilir, bukan malah memperkuat kekuasaan dan seolah tidak memberikan kesempatan bagi warga lain untuk menjadi pemimpin.
Isu ini bermula dari demonstrasi yang dilakukan ratusan kepala desa di depan Gedung DPR RI pada 17 Januari 2023. Mereka menuntut perubahan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun. Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jember, Nur Kholis, memaparkan bahwa waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk membangun desa dengan maksimal. Menurutnya, penyesuaian pasca pilkades membutuhkan waktu cukup lama agar situasi kembali kondusif.
Baca juga:
Dalih agar Pembangunan Desa Maksimal
Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini jelas tidak masuk akal. Peneliti Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Sunaji Zamroni, menyatakan masa jabatan seorang pejabat seharusnya tidak perlu lama, sebab ia akan merasa lebih berkuasa. Selain itu perpanjangan masa jabatan juga mengundang banyak risiko, seperti penyalahgunaan wewenang, korupsi dana desa, dan adanya kepentingan elite politik mengingat isu ini mencuat menjelang Pilpres 2024. Namun, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar justru memberikan tanggapan sebaliknya. Ia mengklaim perpanjangan masa jabatan kepala desa dapat menguntungkan masyarakat desa. Menurutnya, selama ini kepala desa dinilai belum efektif membangun desa akibat konflik pasca pilkades, oleh karena itu perpanjangan masa jabatan perlu dilakukan.
Lantas, jika masa jabatan kepala desa diperpanjang, apakah akan menjamin pembangunan desa menjadi lebih efektif? Pembangunan desa bukan hanya soal waktu, tetapi juga strategi dan perencanaan matang dari kepala desa. Sumber daya kepala desa juga perlu menjadi prioritas utama dalam mewujudkan pembangunan desa yang maksimal.
Masa jabatan enam tahun yang dinilai kurang efektif dalam membangun desa justru membuka fakta bahwa kemampuan kepala desa masih perlu ditingkatkan. Hal ini senada dengan pendapat Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. Ia menyatakan substansi utama masalah bukan soal kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan kepala desa untuk melaksanakan pembangunan dan mengatasi konflik pasca pilkades. Mau diperpanjang sembilan tahun pun, jika masalah substansi ini tidak dapat diatasi, kepala desa juga tidak akan mampu menjalankan program pembangunan desa dengan baik.
Menyuburkan Korupsi
Masa jabatan kepala desa yang semakin lama akan memperbesar potensi praktik korupsi dana desa. Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menjelaskan teori kekuasaan, yakni “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. Artinya, kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang korup cenderung absolut. Masa jabatan sembilan tahun menjadi waktu yang lama untuk rakyat melakukan evaluasi kinerja kepala desa. Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember, Adam Muhshi, juga menilai perpanjangan masa jabatan kepala desa rawan menjadi lumbung praktik korupsi karena terlalu lama berkuasa.
Baca juga:
Databoks mengungkapkan bahwa korupsi dana desa cenderung meningkat sejak tahun 2015. KPK juga mencatat sepanjang 2012-2021 terjadi 601 kasus korupsi dana desa. Catatan tersebut diperkuat dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut bahwa masyarakat desa lebih berperilaku koruptif daripada masyarakat perkotaan. Data tahun 2021 menunjukkan perilaku koruptif masyarakat desa berada di angka 3,83. Pengawasan di desa memang sangat minim, dan masyarakat banyak yang kurang peduli dengan transparansi dana desa. Akibatnya dana desa menjadi ladang subur untuk praktik korupsi.
Usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa juga menimbulkan pertanyaan lain, sebenarnya aspirasi ini datang dari rakyat atau ambisi kekuasaan kepala desa? Alasan kurangnya waktu dalam membangun desa juga masih terlalu lemah. Menurut Peneliti Kebijakan dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro, indikator pembangunan desa juga bukan masalah masa jabatan, tetapi soal kepercayaan warga desa kepada aparatur desa. Kepala desa sebaiknya lebih fokus dalam meningkatkan kinerja dan memberikan bukti nyata bagi masyarakat desa. Meski masa jabatan dua tahun sekali pun, jika kinerjanya baik, masyarakat juga tak akan ragu untuk memilihnya kembali di periode selanjutnya.
Editor: Prihandini N