Masa Lalu Belum Jauh Darimu

Lugas Ikhtiar

2 min read

Kelak kita akan bertanya mengapa di kota ini kita tidak memutuskan untuk bersama. Setelah hampir enam jam kau duduk dan menunggu sesuatu yang  bahkan mustahil datang, kau memutuskan untuk pergi.

Cengkareng sedang gelap. Entah dari mana kau mendapat ide untuk mengenakan jaketmu sementara tubuhku telah begitu lengket keringat. Sangat mungkin bagiku untuk menanggalkan kaus oblongku andai tak ada orang-orang sialan duduk dan tiduran di sepanjang lorong.

Di bangku-bangku terminal 1, kau menyandarkan nasibmu. Dari jauh, hanya tampak rambut panjang dan wajah yang mengambang. Dengan usiaku yang cukup, aku bisa membedakan mana orang yang tenang dan mana yang batinnya dilanda badai.

“Bagaimana bisa perempuan seorang diri di tempat seasing ini?”

“Ya bisa saja. Di dunia yang serba mungkin, mengapa ada hal yang kau anggap aneh?”

“Sudah selarut ini dan kau tak bisa menjamin dirimu bahagia, mengapa tidak tidur?”

“Mungkin aku ingin membuatmu iri dengan ketabahan seorang perempuan yang baru saja ditinggal kekasihnya.”

Kau makin meratakan sapuan rambutmu ke seluruh wajah. Selama bicara, aku dapat menangkap suaramu, sementara perasaanmu tidak.

Setelah kau memutuskan memperlihatkan wajahmu, dari hidung yang memerah, isapan napas yang berat, dan mata yang basah, barulah aku mengerti bahwa kau memang sedang bicara menggunakan hatimu.

Andai kau tak sepenuh itu dengan masalah, mungkin aku ingin menanyaimu menuju ke mana, juga apa yang sedang kau cari. Setelah melihat air matamu rebas, tidak ada lagi yang membuatku percaya bahwa kau punya rencana, punya masa depan. Punggungmu yang melengkung dengan kedua tangan tertelangkup ke muka mengisyaratkan bahwa masa lalu itu belum jauh darimu.

“Kau dari mana?”

“Kami berjalan seharian di Jakarta. Berniat menghabiskan waktu bersama setelah lama berpisah.”

Kau membiarkan mulutmu bicara, tetapi kau loloskan juga air matamu untuk turut bersuara.

“Kekasihku lebih memilih kami berpisah, entahlah. Padahal, sudah jauh jarak kutempuh untuk menemuinya.”

Andai kau tak bercerita saat itu, mungkin mustahil kita akan sejauh ini. Sebab saat hidup mulai patah itulah, kau melihatku seperti lem yang agaknya mampu merekatkan bagian-bagianmu yang terbelah. Kau memintaku mendengarmu, dengan terus bercerita tentang hari-hari sebelum hari itu, hari di mana kita berbicara. Meski di tengah bising. Meski asing.

“Ayahku dulu pernah bekerja di sini, Jakarta yang riuh ini, sebelum akhirnya ia dapat naik jabatan dan pulang kampung.”

Kau menjelaskannya dengan menahan pedih di matamu yang kian memerah. Hidupmu yang ampuh itu dimulai saat kau bertemu kekasihmu semasa sekolah di Jakarta. Masa SMA bagimu menjadi sangat berkesan karena seorang kawan SMA yang kini menjadi mantan kekasihmu. Hidupmu serba kecukupan, sebab itulah ada saja celah yang membuatmu serba kurang.

Di deretan kursi, aku berpulang pada ingatan saat kau bercerita tentang mantan kekasihmu yang mulai berkuliah dan aktif berdemonstrasi. Kau yang terpaksa berkuliah di kampung juga turut tersulut saat isu di Jakarta sedang naik-naiknya.

Kau ingat betul saat mantan kekasihmu itu mengajakmu bertemu secara daring bersama rekan seperjuangannya. Kalian sedang merencanakan pembangkangan besar kaum buruh di Ambon. Mungkin, demonstrasi menjadi hal yang menakutkan sekaligus melelahkan. Bagi sepasang kekasih, semangat yang sama dalam perlawanan turut mengobarkan asmara kalian.

“Bapakku dulu terlibat aktif saat rekonsiliasi konflik Ambon,” katamu. “Makanya ia disorot media dan pernah bekerja di Jakarta, menjilat pantat media-media yang pro-rezim.”

Kau begitu mengelukan bapakmu. Meskipun kemurkaanmu pada rezim Orde Baru kian menjadi, dalam hal satu ini, kau tak bisa memilih untuk membenci satu-satunya laki-laki yang tak pernah menyakitimu.

Dari bapakmu itulah, mungkin kau melihat kesamaan yang agaknya membuatmu mau mendengar sedikit kisahku. Cerita tentang pekerjaanku sebagai jurnalis lepas yang sama sekali tak heroik.

Kita lalu banyak bertanya tentang hidup masing-masing. Kau barangkali telah mendapat hangat dari mataku yang likat saat berjam-jam mendengar ceritamu. Atau kau merasakan genggaman yang tak biasa saat pada akhirnya kuputuskan untuk menghangatkan telapak tanganmu yang pucat.

Dari kaca, kau melihat sedikit sinar mulai muncul di pojok langit. Seperti harapan, segalanya terbit begitu saja. Kita tak saling menyangka bahwa pada akhirnya kita telah menjadi matahari untuk basah di tubuh masing-masing.

Sayangnya, aku langsung menuju pintu masuk menuju Makassar. Ransel besar dengan seperangkat alat wawancara kugendong lekat. Kusaksikan jam pengingat sudah dekat waktu keberangkatan. Kugeragapi kantongku. Mungkin sesuatu yang disebut tiket tinggal di sana.

Beberapa detik, aku melihat ke arah bangku-bangku di area istirahat terminal 1. Kau tampak menarik dengan tubuhmu yang membungkuk dan tangan yang tertelungkup. Rambutmu yang berantakan seakan mengisyaratkan kau tak ingin diganggu.

Tampaknya, kau punya banyak masa lalu sedang aku punya sedikit masa depan. Seseorang di dalam diriku berusaha mengingatkanku untuk maju. Kakiku seperti berjalan tanpa perintah dengan mata yang tetap tertuju padamu.

Mungkin, aku menghilang dari tatapanmu di balik sekat menuju gerbang keberangkatan. Saat itulah, tak dapat kubayangkan kita bersama di kota ini.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Lugas Ikhtiar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email