Beberapa waktu lalu, melalui kanal YouTube resminya, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengunggah video berjudul “Strategy Session Pendaftaran S-1 ke Perguruan Tinggi Luar Negeri. Video tersebut kemudian viral di X, banyak netizen mempertanyakan relevansi dan bobot pembahasan yang disampaikan dalam video tersebut.
Sebagian besar warganet merasa bahwa sebagai pejabat publik, Stella Christie, Wakil Menteri Diktisaintek, seharusnya lebih fokus pada permasalahan struktural yang jauh lebih mendesak di dunia pendidikan, ketimbang sekadar memberikan tips-tips kuliah di luar negeri yang bisa dirasa sebagai urusan pribadi. Video ini, meskipun bertujuan untuk memberikan panduan, malah memunculkan kesan bahwa perhatian pemerintah lebih banyak terfokus pada citra dan branding pribadi, seperti yang dilakukan oleh influencer, bukan pada solusi konkret terhadap masalah pendidikan yang lebih mendasar.
Mungkin karena dianggap kontroversial, akhirnya, judul pada video di kanal YouTube tersebut diubah menjadi “Strategi Masuk ke PTLN: Pembekalan Calon Peserta Studi LN, Penerima BIM oleh Wamendiktisaintek”. Padahal judul ini masih meninggalkan jejak di Instagram milik Stella.
Baca juga:
Dalam video tersebut, Stella berbagi pengalamannya dan memberi motivasi kepada siswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri meskipun dengan tantangan finansial yang mungkin datang. Dengan latar belakang akademik yang mengesankan, lulus Magna Cum Laude dari Harvard University, ia menekankan bahwa meskipun biaya kuliah di universitas top dunia bisa jadi mengkhawatirkan, selalu ada jalan untuk mendapatkan bantuan pendidikan atau beasiswa.
Ia mengingatkan, jangan khawatirkan dana dulu, yang terpenting adalah keyakinan dan kemauan untuk berusaha. Persiapan kuliah di luar negeri bisa dimulai sejak kelas 10 atau 11, tapi yang terpenting adalah kesungguhan siswa, bukan paksaan dari orang tua. Semua ini membutuhkan waktu, tenaga, dan tentu saja biaya, tapi dengan strategi yang tepat dan kerja keras, banyak peluang yang terbuka, seperti yang ia alami sendiri saat kuliah di Harvard meskipun berasal dari keluarga ekonomi menengah. Menurutnya, “Kalau kita mau, pasti ada cara,” dan itu bukan cuma soal keberuntungan, tapi juga usaha dan persiapan yang matang.
Harusnya Membenahi Permasalahan Struktural
Di tengah segala motivasi dan tips kuliah di luar negeri yang disampaikan oleh Stella banyak yang merasa bahwa ini bukan prioritas utama pejabat publik di posisi tersebut. Sebagai Wamendiktisaintek yang punya tanggung jawab besar di dunia pendidikan tinggi, sains, dan teknologi, Stella seharusnya tidak fokus untuk menyuapi mimpi kuliah di luar negeri. Ada banyak masalah struktural yang jauh lebih urgent dan butuh perhatian serius.
Sekarang, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan berat dalam sistem pendidikan tinggi. Ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah yang satu dengan yang lainnya, rendahnya partisipasi mahasiswa dari keluarga ekonomi kurang mampu, dan yang paling penting, ketidaksesuaian antara pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja. Dalam kondisi begini, ajakan untuk kuliah di luar negeri, meskipun bisa jadi motivasi buat sebagian orang, malah terkesan lepas dari realita pendidikan kita yang harus dibenahi dulu.
Pemerintah seharusnya lebih fokus untuk memperbaiki kualitas perguruan tinggi di dalam negeri. Kenapa? Supaya universitas-universitas kita bisa bersaing di level internasional tanpa harus mengandalkan mahasiswa yang pergi kuliah ke luar negeri. Lebih dari itu, pendidikan tinggi di Indonesia harus bisa dijangkau oleh lebih banyak orang, terutama mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Itu baru masalah struktural yang perlu perhatian. Bukan hanya memberikan tips soal kuliah di luar negeri yang cuma bisa diakses segelintir orang dengan modal lebih.
Baca juga:
Masih ada masalah besar lain yang tak kalah penting: tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi. Alih-alih terus-terusan memberi motivasi tentang kuliah di luar negeri, Wamendiktisaintek seharusnya lebih fokus kepada solusi nyata untuk menjembatani pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Jangan sampai kita hanya punya lulusan yang jago teori, tapi tidak siap untuk terjun langsung dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi Indonesia. Penguatan kurikulum yang sesuai sama kebutuhan industri, penyediaan pelatihan keterampilan, dan program magang yang relevan justru harus menjadi prioritas utama.
Pejabat publik bukan influencer
Pada era sekarang ini, kita sering melihat pejabat publik lebih sibuk “nampang” di media sosial, seolah yang terpenting adalah citra dan jumlah followers. Padahal, jabatan publik itu bukan soal branding diri atau menjadi seleb Instagram yang update terus soal hidupnya.
Sebagai Wamen yang memiliki tanggung jawab besar dalam sektor pendidikan tinggi, sains, dan teknologi, Stella seharusnya bekerja sesuai dengan tupoksinya. Tugas utamanya adalah mengatasi masalah pendidikan yang sifatnya fundamental dan struktural, seperti ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah, rendahnya akses pendidikan untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Jika Wamendikti lebih fokus pada pekerjaan yang sesuai dengan tanggung jawabnya, masalah-masalah besar ini bisa mulai ditangani dengan lebih serius dan sistematis.
Baca juga:
Selain itu, permasalahan pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi juga harus menjadi perhatian utama. Alih-alih memotivasi siswa untuk berkuliah di luar negeri, seharusnya Wamendiktisaintek bekerja keras untuk menjembatani pendidikan tinggi dengan dunia kerja. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri, menyediakan pelatihan keterampilan yang sesuai, serta mendorong program magang yang benar-benar memberi pengalaman langsung di pasar kerja. Kerja sesuai tupoksi ini akan menghasilkan solusi yang bisa membantu lulusan perguruan tinggi Indonesia lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja.
Pejabat publik itu harus bekerja sesuai dengan tanggung jawab mereka. Mereka tidak dipilih untuk menjadi influencer atau sekadar memberi inspirasi yang tidak menyentuh masalah besar. Tugas mereka adalah membuat perubahan nyata dengan bekerja sesuai tupoksi, menyelesaikan masalah yang ada, dan memberi solusi yang bermanfaat bagi seluruh rakyat. Kalau semua pejabat bekerja dengan cara yang sama—fokus pada pekerjaan sesuai tupoksi—masalah-masalah pendidikan yang fundamental dan struktural bisa mulai diselesaikan dengan lebih baik. Maka, inilah yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi pejabat publik, bukannya sekadar ikut-ikutan jadi influencer di media sosial.
Editor: Prihandini N