Menteri Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim membanggakan Indonesia sebagai inovator pendidikan di pentas dunia. Adanya vendor dari PT Telkom GovTech Edu, diklaim menjadi salah satu transformasi pendidikan di Indonesia sehingga mendapat pujian. Namun, ada yang luput. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga pendidik masih rendah.
Pernyataan Nadiem terkait “tim bayangan” di Kemendikbudristek dalam forum United Nationas Transforming Education Summit beberapa waktu lalu, sempat menjadi sorotan dari sejumlah kalangan. Meski akhirnya diralat dengan menyebutnya sebagai “mirroring”, itu tidak serta-merta mengubah hal mendasar pendidikan kita saat ini.
Tim mirroring yang berjumlah 400 orang ini merupakan mitra untuk menyampaikan pendapat-pendapat dengan para pejabat di Kemendikbudristek. Tentu ini sebuah program dan langkah revolusioner dan tidak salah, apalagi terkait dengan teknologi sesuai perkembangan zaman. Sayangnya, hal itu tidak sejalan dengan penguatan SDM tenaga pendidik.
Membangun Fondasi Pendidikan
Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang dan kualitas guru menempati ukuran ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Dari 3,9 juta guru yang ada, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum memiliki sertifikat profesi.
Sementara itu, berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55. Bahkan, kompetensi pedagogik yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan.
Hal ini harusnya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk menjalankan langkah-langkah strategis dalam perbaikan SDM dan kualitas pendidikan. Apalagi program rujukan kualitas pendidikan di dunia, yakni Programme for International Students Assament (PISA) 2019, menempatkan Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara, jauh dari negara tetangga seperti Singapura, Brunai Darusalam, dan Malaysia.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Singapura menyebutkan, negara tersebut menerapkan kebijakan pendidikan sentralistik dengan MoE sebagai pusatnya. MoE menetapkan tujuan pendidikan nasional, kurikulum, ujian nasional, pedoman pendidikan, pengembangan profesional guru, hingga rekrutmen para guru dan tenaga kependidikan.
Selain itu, para ahli di bidang pendidikan berasal dari National Institute of Education (NIE) yang merupakan institut otonom di bawah Nanyang Technological University (NTU). NTU sendiri merupakan perguruan tinggi dengan kualitas dunia. QS world ranking menempatkan NTU pada perguruan tinggi ranking 11 di dunia dan NIE sebagai lembaga pendidikan guru terbaik kedua di dunia dan menjadi satu-satunya lembaga pendidikan guru di Singapura.
NIE juga menjalin kerja sama yang erat dan berkelanjutan dengan MoE dan sekolah. Dalam model ini, proses rekrutmen, pendidikan, hingga pengembangan profesional guru yang berkelanjutan selalu melibatkan ketiga pihak. Secara khusus, kerja sama dengan sekolah adalah untuk menjembatani kesenjangan antara teori praktik dalam pendidikan guru.
Singapura memperlihatkan keseriusan dan kinerja terbaiknya terhadap mutu pendidikan mulai dari para calon SDM-nya. Tak salah jika negara itu menempati urutan ke-2 sebagai negara dengan pendidikan terbaik setelah RRC. Selain itu, pendidikan yang ditempuh para SDM-nya tidak dijalani dalam waktu singkat. Itu berarti Singapura menyiapkan generasi penerusnya dengan sangat baik dan terstruktur.
Sementara, di Indonesia belum ada program atau pendidikan profesi guru yang berkelanjutan sebagai bentuk penguatan SDM. Padahal, kualitas SDM sangat memengaruhi dan menentukan kualitas pendidikan serta keluarannya.
Baca juga:
Utak-atik Kurikulum
Hal yang paling sering diutak-atik adalah kurikulum. Nyaris setiap ganti menteri, pasti terjadi pergantian kurikulum. Akibatnya, secara otomatis, acuan belajar yang semula belum kuat ditambah kualitas SDM yang belum mumpuni, menjadi daftar panjang mutu pendidikan kita yang jauh tertinggal.
Selama ini, masih sering terdapat arahan-arahan di mana tenaga pendidik diminta untuk terus memperbaiki kualitas pengajaran dan menyesuaikan dengan perkebangan zaman. Selain itu, tenaga pendidik juga diminta menyesuaikan materi dengan bakat anak, seperti dalam kurikulum Merdeka (terbaru). Namun, SDM-nya sendiri tak punya bekal cukup sejak awal.
Mungkin, bagi sarjana pendidikan, bekerja sebagai tenaga pendidik akan sedikit membantu, tapi tidak semuanya. Apalagi bagi yang sekadar kuliah demi mendapatkan ijazah. Perekrutan tenaga pendidik yang terjadi di Indonesia selama ini memang tidak hanya diikuti oleh orang-orang yang berlatar sarjana pendidikan. Konsentrasi dan kesinambungan tenaga pendidik harus disiapkan tidak hanya dijenjang perkuliahan, tetapi juga pada program peningkatan kualitas yang berlangsung lama dan berlanjut.
Menurut Undang-undang Nomor 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan ada 4 kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik, yakni pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional. Harusnya, itu tidak sekadar aturan yang diberikan bagi tenaga pendidik, tapi juga dilakukan mulai dari jenjang persiapan SDM. Untuk menjalankan keempat kompetensi tersebut dengan baik, tentu dipelajari melalui pendidikan yang terstruktur.
Pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan harus menyiapkan wadah. Sebab, meski tenaga pendidik berkeinginan untuk meningkatkan kompetensi tetapi tak memiliki wadah, tentu saja akan percuma. Selain itu, tenaga pendidik juga harus memiliki kesadaran belajar. Pihak universitas pencetak calon tenaga pendidik juga harus memperkuat SDM sejak awal baik secara teori dan juga praktiknya. Dan yang tak kalah penting, perlu ada semacam pusat studi calon tenaga pendidik sebelum berhadapan dengan siswa sehingga terjalin kesinambungan antar lembaga.
Banyaknya ketertinggalan pendidikan di Indonesia dibanding Singapura atau negara-negara tetangga lainnya seharusnya menjadi salah satu perhatian khusus pemerintah. Pemerintah tidak semestinya hanya bersemangat dalam mengejar hal-hal yang terlalu tinggi, sementara fondasi SDM masih rapuh. Semodern apa pun program, kurikulum, atau agenda-agenda, jika tidak diikuti oleh penguatan fondasi SDM, keluaran pendidikan kita akan selalu minim prestasi.
Sudah saatnya Indonesia membuka diri dan mengakui bahwa ada hal krusial yang harus segera dibenahi. Sistem pendidikan kita perlu melakukan penguatan SDM dan sistem kerja sama yang terintegrasi dari berbagai sektor dan berkesinambungan meski menterinya terus berganti. Pendidikan kita tidak akan maju hanya dengan pujian atau tepuk tangan karena dianggap sebagai inovator, tanpa perbaikan SDM.