Dilema Stigma Konsultasi Psikologi

Nadhifa Atikah

2 min read

Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam kesejahteraan manusia yang sekarang ini menjadi isu mendesak dalam masyarakat. WHO mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan di mana seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu menghadapi tekanan hidup sehari- hari, dapat bekerja dengan produktif, dan berkontribusi kepada komunitasnya.

Akhir-akhir ini marak terjadi kasus perundungan dan bunuh diri, terutama pada remaja. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, prevalensi gangguan mental di Indonesia mencapai sekitar 20% dari total populasi, yang menunjukkan bahwa satu dari lima orang berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Tak hanya itu, menurut hasil penelitian  Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, University of Queensland di Australia, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat, sekitar 5,5% remaja di Indonesia, terdiagnosis mengalami gangguan mental. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis mental yang cukup serius.

Baca juga:

Namun ironisnya, remaja yang memilih mengakses layanan bantuan atau konseling masih sangat minim. Salah satu penyebab ini terjadi yaitu adanya stigma sosial mengenai gangguan mental pada masyarakat Indonesia.

Stigma

Masih terdapat banyak stigma di masyarakat terkait konsultasi dengan psikolog. Stigma ini dapat menghambat akses orang yang mengalami gangguan mental terhadap bantuan profesional, sehingga banyak orang memilih diam dan menutupi. Stigma ini berakar dari berbagai faktor. Seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang gangguan mental. Masyarakat mungkin belum memahami apa yang dimaksud dengan gangguan mental, bagaimana cara menanganinya, serta mengapa penting untuk mencari bantuan dari profesional.

Ada yang kemudian menganggap bahwa gangguan mental sebagai kelemahan serta aib yang harus disembunyikan. Hal ini dikarenakan gangguan mental memengaruhi fungsi otak dalam berpikir. Ketika seseorang kehilangan kesadaran, kekhawatiran yang muncul adalah orang tersebut mungkin menjadi berbahaya, merusak, sulit dihadapi, sering tiba-tiba marah, menangis atau tertawa tanpa sebab, berperilaku aneh, atau mengalami halusinasi, semua hal ini dianggap akan mengganggu.

Bahkan di beberapa daerah, dikaitkan dengan hal-hal supranatural. Orang dengan gangguan jiwa dianggap kurang ibadah atau kerasukan, yang pada akhirnya oleh orang terdekat dicarikan pertolongan informal seperti dukun atau ahli agama. Media massa juga yang seharusnya memberikan edukasi informatif kepada khalayak umum, justru kadang memperkuat stigma dengan menampilkan orang dengan gangguan jiwa sebagai orang ‘gila’.

Baca juga:

Dampak stigma ini sangat buruk bagi orang yang membutuhkan pertolongan. Individu cenderung tidak ingin mencari pertolongan profesional yang kemudian dapat memperparah kondisi individu tersebut. Mereka merasa malu dan khawatir terhadap bagaimana mereka dipandang orang lain karena berkonsultasi ke psikolog. Padahal masalah yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi lebih parah dan semakin sulit untuk diselesaikan.

Dampak ini dapat meningkatkan angka bunuh diri akibat individu tersebut mulai percaya dengan stigma bahwa mereka “lemah” atau “gila” yang mengarah pada perasaan rendah diri dan keputusasaan. Selain itu, stigma ini juga dapat menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan atau kesempatan pendidikan karena diskriminasi dan pengucilan, serta meningkatkan kemungkinan individu terisolasi dengan lingkungan teman maupun keluarga, yang memperburuk perasaan kesepian dan stress. Mereka mungkin dijauhi oleh keluarga, teman, dan masyarakat akibat stigma yang ada.

Kolaborasi dan Edukasi

Pemerintah, para profesional di bidang psikologi maupun psikiatri serta media massa perlu berkolaborasi untuk mengedukasi masyarakat tentang kesehatan mental guna mengurangi persepsi negatif terhadap orang yang mencari bantuan psikologis. Upaya ini bisa dilakukan dengan mengadakan kampanye dan program penyuluhan.

Pemerintah juga harus meningkatkan jumlah tenaga profesional di bidang kesehatan mental, memperluas akses layanan psikolog terutama pada daerah terpencil, serta memberikan subsidi atau bantuan biaya konsultasi psikolog agar seluruh masyarakat mampu mendapatkan pertolongan yang tepat. Tidak hanya itu, dengan adanya globalisasi, media massa dan influencer dapat berperan dengan memengaruhi cara berpikir masyarakat luas dengan konten-konten edukasi yang baik, memanfaatkan teknologi yang semakin canggih, menghadirkan tokoh publik untuk berbagi pengalaman tentang kesehatan mental, serta menyebarkan pesan-pesan positif.

Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam mengatasi krisis kesehatan mental. Dengan tingginya prevalensi gangguan mental dan stigma yang menghalangi banyak orang dalam mencari bantuan, sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama dalam meningkatkan kesadaran serta akses terhadap layanan kesehatan mental. Konsultasi psikolog perlu dipromosikan sebagai bagian yang esensial dari perawatan kesehatan secara keseluruhan. Hanya dengan langkah-langkah ini kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara mental bagi seluruh warga negara Indonesia. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Nadhifa Atikah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email