Meski tanpa undangan, saya diam-diam masuk ke aula wisuda di kampus saya. Di sana, saya menghabiskan satu jam untuk mendengarkan khotbah rektor di hadapan wisudawan dan para wali. Dalam khotbahnya, ia mengutarakan keheranannya terhadap mahasiswa yang berdemo menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT). Menurutnya, kalau mahasiswa ingin pendidikan yang adil dan membantu yang kurang mampu untuk kuliah, maka UKT jangan diturunkan.
“Kalau UKT diturunkan, nanti yang enak, kan, malah yang duitnya banyak. Ini, kan, soal subsidi silang. Yang kaya bayar lebih untuk bantu yang miskin. Kalau yang kaya bayarnya sedikit, terus siapa yang bantu si miskin?” katanya.
Saya heran betul kata-kata itu bisa keluar dari mulut rektor kampus yang menyandang gelar profesor. Nampaknya ada hal yang menyumbat otaknya. Di satu sisi, saya memahami bahwa kampus memerlukan dana operasional untuk menjalankan pendidikan. Di sisi lain, saya beranggapan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar, sehingga ia mesti dijamin. Salah satu cara menjaminnya adalah dengan menggratiskannya.
Baca juga:
Bagi saya, demonstrasi di kampus soal mahalnya UKT bukanlah demo terhadap kampus secara harfiah. Demonstrasi sebenarnya ditunjukkan kepada sistem pendidikan secara keseluruhan, sedangkan kampus hadir sebagai simbol. Bukan kampus, tetapi negara yang mesti menjamin keterbukaan akses pendidikan selebar-lebarnya.
Asal-Muasal Pendidikan Tinggi Berbayar
Dalam Toward the Third Generation University: Managing The University Transition (2009), G. Wissema menjelaskan bahwa pada abad ke-12 sampai medio abad ke-20, orang-orang hampir tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan pendidikan. Pemerintah memiliki peran yang besar dalam pendanaan. Penelitian dan publikasi yang dihasilkan didasarkan pada rasionalitas, eksperimen pikiran, dan argumentasi sehingga melahirkan banyak ilmuwan dan filsuf.
Pendidikan tinggi pada periode ini menjadi tempat bernaungnya ilmu pengetahuan murni. Fakultas-fakultas yang populer adalah fakultas filsafat dan fakultas seni, yang kemudian melahirkan fakultas lain, misalnya fakultas ilmu alam (yang kemudian dipecah lagi menjadi matematika, fisika, kimia, dan biologi).
Paradigma dan orientasi pendidikan tinggi kemudian bergeser pada tahun 1960-an ketika terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Hal ini disebabkan oleh banyak negara yang menghapuskan ujian masuk karena menganggap bahwa ijazah SMA sudah cukup, sejalan dengan ide-ide pencerahan yang menginginkan kesempatan sama bagi semua orang. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh banyaknya mahasiswa yang berkuliah hanya untuk memperoleh ijazah demi mendapat peluang kerja lebih baik.
Ledakan jumlah mahasiswa ini kemudian menghasilkan komersialisasi pendidikan. Anggaran pemerintah untuk pendidikan yang semakin mengetat membuat kampus tunduk pada peraturan dan program anggaran pemerintah yang berkelanjutan. Kampus dituntut untuk lebih efisien dan efektif (karena meledaknya jumlah mahasiswa, lama waktu studi jadi melebar, dan tingkat kelulusan rendah), yang menandai akhir dari kebebasan akademik. Pemerintah hanya mendanai penelitian-penelitian yang dianggap paling bernilai, dalam arti menguntungkan. Kemudian muncullah pendidikan tinggi hari ini, pendidikan ala neoliberal.
Pendidikan tinggi pada periode ini banyak mengeksploitasi pengetahuan-tentang-bagaimana (know-how) atau pengetahuan teknis-praktis. Pendidikan tinggi diupayakan menciptakan ilmu pengetahuan yang bernilai dan berguna. Kampus-kampus mulai bekerja sama dengan lembaga lain, pendidikan tinggi juga dijadikan persaingan tingkat global.
Semua itu demi satu tujuan: memaksimalkan akumulasi kapital. Semakin berpotensi dalam akumulasi kapital, maka ilmu pengetahuan itu akan semakin diprioritaskan. Keberhasilan pendidikan juga akhirnya diukur dari banyaknya lulusan yang bekerja.
Negara Neoliberal, Pendidikan Tinggi Neoliberal
Neoliberalisme, sederhananya, adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan individu dalam pasar bebas, perdangan bebas, dan penghormatan terhadap kepemilikan pribadi. Paham ini cenderung menolak bentuk tangan negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik. Paham ini sepenuhnya tunduk pada tangan tak terlihat laissez-faire.
Dalam paham neoliberalisme, tugas pokok pemerintah adalah melindungi kebebasan tersebut melalui produk hukum dan penegakan hukum, memperkuat sektor-sektor swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif melalui deregulasi dan debirokratisasi. Neoliberalisme juga mendorong pengurangan subsidi dan program kesejahteraan lain karena dianggap akan mematikan potensi pasar.
Penetrasi neoliberalisme di perguruan tinggi di Indonesia bisa diendus di PP No.61/1999 yang dengan halus melakukan liberalisasi dan privatisasi dengan memberikan status badan hukum pada perguruan tinggi. Dengan status itu, perguruan tinggi mendapatkan kemandirian dan berhak, misalnya, mendirikan unit usaha yang hasilnya akan digunakan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Selanjutnya, UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan juga merupakan usaha liberalisasi pendidikan. Walau akhirnya UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, buah perjuangan mahasiswa dan masyarakat yang menolak UU ini.
UU No.12/2012, PP No.4/2014, Permen No.39/2016 adalah upaya deregulasi untuk mengurangi campur tangan pemerintah yang mungkin jadi penghambat akumulasi keuntungan. Peraturan-peraturan itu secara umum menjadikan perguruan tinggi dapat mengatur dirinya sendiri, membuat keputusan sendiri, mengatur program studi, biaya, penerimaan mahasiswa, sumber pendapatan, jumlah dosen, staf-nya sendiri.
Deregulasi ini bermuara pada privatisasi, yang oleh Henry Levin melalui Privating Education: Can The Marketplace Deliver Choice, Efficiency, Equity, And Social Cohesion? didefinisikan sebagai pendidikan tinggi yang dioperasikan oleh otoritas nonpemerintah, baik untuk mencari keuntungan atau tidak. Karena dijalani oleh nonpemerintah, muncul pengurangan subsidi dan kucuran dana dari pemerintah. Oleh karena itu, perguruan tinggi akhirnya mengomersialisasi pendidikan dengan menentukan jumlah uang yang mesti dibayar, membuka jalur masuk mandiri dengan biaya yang selektif sehingga membatasi akses terhadap pendidikan.
Pendidikan Tinggi dan Kapitalisme
Dalam corak produksi kapitalisme, produksi mensyaratkan dua faktor produksi (means of production): kekuatan produksi dan relasi sosial produksi. Kekuatan produksi ini kembali dibagi menjadi dua, alat-alat produksi dan tenaga kerja, sebagaimana dibahas Karl Marx dalam Capital jilid 2. Sedangkan relasi sosial produksi meliputi relasi kepemilikan faktor produksi yang terdiri dari kerangka insitusional, melalui kelas mana yang mengeksploitasi dan mengambil produk surplus. Oleh karena itu, untuk dapat terus memproduksi, setiap formasi sosial harus mereproduksi faktor produksinya pada saat ia memproduksi, dan tidak mungkin ada produksi berjalan tanpa adanya reproduksi pada alat-alat produksi. Saya akan memfokuskannya pada reproduksi tenaga kerja.
Reproduksi tenaga kerja dipastikan dengan memberikan upah kepada pekerja sebagai ongkos untuk membayar pemulihan tenaga. Tujuannya adalah agar ia bisa kembali bekerja di pabrik keesokan harinya. Upah ini adalah ongkos pemenuhan kebutuhan ‘biologis’ dan kebutuhan yang bersifat sosio-historis, yang berubah-ubah dalam sejarah.
Namun, selain memberikan upah kepada pekerja, kapitalisme juga mesti menjamin ongkos reproduksi sosial. Reproduksi sosial ini terjadi di luar pabrik, bentuknya berupa waktu bersama keluarga, waktu rekreasi, bahkan pabrik pun seharunya membayar orang rumah yang akan memulihkan kembali tenaga si pekerja. Salah satu bentuk reproduksi sosial adalah mereproduksi keterampilan calon tenaga kerja baru yang akan menggantikan tenaga kerja lama. Reproduksi ini kebanyakan dilakukan sebelum calon pekerja memasuki dunia kerja, yaitu di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.
Di sekolah, para calon pekerja ini tidak hanya belajar membaca, menulis, serta mengetahui beragam ilmu pengetahuan demi kepentingan dalam produksi kapitalis, tetapi juga mereproduksi ketundukannya pada ideologi yang berkuasa, serta praktik dari ideologi tersebut. Jelas melalui ketundukan ideologilah penyediaan reproduksi keterampilan tenaga kerja dibuat.
Pendidikan difungsikan sebagai reproduksi faktor produksi, oleh karena itu pendidikan mesti dijamin. Biaya pendidikan yang mahal bukan hanya eksploitatif, tetapi juga tidak masuk akal. Setiap orang berhak atas pendidikan. Setiap orang berhak atas reproduksi sosial. Pendidikan haruslah gratis. Orang tidak perlu sampai kurus kering mencari uang untuk membayar pendidikan tinggi.
Jalan Buntu Pendidikan Tinggi Neoliberal
Ketika pendidikan tinggi beroperasi di bawah rezim neoliberal, mahasiswa akan dilihat sebagai sumber pendapatan dan produk. Kurikulum akan disusun untuk menyiapkan tenaga kerja, alih-alih demi kepentingan diri sendiri dan sosial. Riset yang bagus adalah yang relevan secara komersial, yang berpihak pada mekanisme pasar, bukan kepada publik.
Mahasiswa dilihat sebagai sumber pendapatan karena uang kuliahnya menjadi sumber dana kampus. Lalu biaya kuliah akan meningkat. Mahasiswa diharapkan membayar lebih untuk mendapatkan privilese kuliah, daripada memandang itu sebagai haknya. Akibatnya, kesenjangan yang kaya dan yang miskin akan terus meningkat.
Pendidikan yang mulanya berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa berubah menjadi lahan basah. Orientasinya mengabdi pada mekanisme pasar dan pemilik modal. Perguruan tinggi dan kampus akan bertindak layaknya perusahaan kapitalis, berinvestasi dalam usaha dan bisnis. Perusahaan dibangun untuk menghasilkan uang tanpa menanggung risiko untuk bangkrut, sebab lembaga pendidikan ditopang oleh dukungan publik.
Baca juga:
Akhirnya, pendidikan menjadi barang mahal dan diskriminatif. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan semakin sedikit, orang kaya bisa kuliah dengan baik, tapi yang miskin tidak. Dengan demikian rantai kemiskinan akan semakin mustahil diputuskan, sebab orientasinya yang pragmatis dan instan akhirnya akan memperburuk kualitas manusianya.
Maka dari itu, jangan heran jika ada sarjana yang masih cacat dalam berpikir, masih cacat dalam melihat dan menganalisis masalah. Bukan bermaksud mengecilkan peran pragmatis pendidikan, tetapi akan sangat menyedihkan jika kita sekolah jauh-jauh dan lama tetapi hanya menjadi manusia pemutar roda ekonomi. Tolok ukur keberhasilan pendidikan adalah tentang seberapa banyak, efektif, dan efisiennya universitas menghasilkan pekerja.
Alangkah dangkalnya tujuan pendidikan jika hanya seperti itu. Tujuan pendidikan seperti itu adalah jalan buntu. Pendidikan, apa pun bentuknya, seharusnya tidak dibiarkan masuk terjerumus pada kubangan pragmatis. Pendidikan harus menjaga cita-citanya yang luas, yang seharusnya tidak terbayar dengan rupiah. Pendidikan seharusnya membebaskan, memanusiakan manusia, bukan malah membuat manusia teralienasi dalam roda kapitalisme.
Editor: Prihandini N