Berangkat dari pengalaman pribadi, sepanjang saya menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, saya tidak merasakan sensasi diskusi yang membuat saya tersadar bahwa saya masih bodoh. Tentu keadaan tersebut merupakan akibat dari banyak faktor yang berkohesi dan berkoherensi. Mulai dari tenaga pendidik, lingkungan belajar, sistem yang mengikat, sampai mindset dan tradisi feodal yang secara tidak langsung masih mendekap pendidikan kita.
Awalnya, saya berpikir kemandekan pikiran ini hanya terjadi di satu mata kuliah. Besar harapan saya pada dosen lain untuk memberikan rangsangan agar kami (mahasiswa) bisa memutar otak serta mengingat dan melihat kembali fenomena-fenomena sekitar untuk diterjemahkan ulang dalam naungan teori para ahli. Tapi sayang, hal itu tidak saya dapatkan. Oleh karena itu, tak berlebihan rasanya jika saya mengatakan banyak dosen gagal mendidik mahasiswanya.
Di Balik Bobroknya Kualitas Pendidikan
Mengutip ungkapan E.F. Schumacher dalam buku klasiknya yang luar biasa, Small is Beautiful, pendidikan kita hendaknya tak hanya menekankan aspek know how, tetapi juga aspek know why-nya, yakni makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki dalam mencapai kebahagiaan hidup. Jelas, hal ini perlu dihayati dan diimplementasikan dosen dalam ruang pembelajaran.
Baca juga:
Selain itu, dampak lain dari bobroknya kualitas pembelajaran di perguruan tinggi ialah minimnya minat belajar mandiri mahasiswa, baik melalui proses membaca buku atau yang lain. Mungkin dalam pikiran mereka terbersit “buat apa belajar, toh setiap hari materi kuliah disampaikan dan didominasi dosen”. Akhirnya, saya merasakan aktivitas kuliah hanya sebatas penyuapan pengetahuan oleh dosen kepada mahasiswa. Ya, mahasiswa sekarang harus disuap, seperti bayi yang belum mampu memasukkan makanan ke mulutnya.
Pertanyaannya, sebagaimana diungkapkan oleh Eko Prasetyo dalam buku Kampus Hari Ini: Mahal, Menindas, Kehilangan Integritas, bagaimana mungkin muncul pikiran segar kalau buku dan bacaan tak lagi jadi kegemaran dan aktivitas kuliah? Yang ada cuma pemberian tugas secara terus menerus. Mana mungkin muncul pikiran berbeda jika kebebasan tidak dirawat dan dihidupkan? Maka dari itu, berhentilah mengeja Indonesia Emas yang sebatas jargon itu, sebab sirkulasi ilmu pengetahuan tidak dijalankan secara maksimal. Terlalu banyak pemakluman yang merembet pada perputaran pembahasan yang membosankan. Tidak kaya perspektif. Tidak menghasilkan kesegaran gagasan dan gagal mencapai garis tegas inovasi yang diharapkan.
Kalau kita mau belajar dari negara lain, mari berkaca pada budaya literasi Finlandia yang dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik. Di sana pihak sekolah dan perpustakaan kota memiliki program bersama, yaitu “diploma membaca”. Anak-anak dimotivasi untuk membaca 6, 12, atau 24 buku selama setahun dari daftar judul buku yang sudah disiapkan oleh perpustakaan, yang disesuaikan dengan usia siswa dan kelasnya. Sementara di Indonesia, yang terjadi malah sebaliknya. Padahal aktivitas membaca adalah bagian menghidupkan nalar kritis untuk memberikan kritik yang seimbang, termasuk bekal mahasiswa dalam proses penyelesaian tugas akhir nantinya.
Di kampus saya, atau mungkin juga kebanyakan kampus yang lain, sangat jarang ditemui mahasiswa yang menekuni forum-forum diskusi dan menyampaikan analisis hasil bacaan dengan panjang dan serius. Yang ada hanyalah upaya mengukuhkan eksistensi diri sebagai kaum akademis di jagat media sosial. Selebihnya, mereka hanya manusia yang tersesat di tengah-tengah situasi kacau-balau. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Sejauh ini, sepertinya tidak ada yang mau disalahkan.
Baca juga:
Belum lagi otak mahasiswa yang remuk redam dihantam beragam informasi. Informasi mengalir begitu deras dan berpindah begitu cepat. Mengaburkan fokus mahasiswa yang seharusnya bergerak sejalan dengan bidang keilmuan yang diambil. Mereka nyatanya malah terjerembab dalam kubangan informasi yang menenggelamkan proses berpikir kritis.
Perpaduan antara warisan feodalisme yang masih gentayangan, minat belajar yang minim, ditambah tidak ada gairah membaca buku, membuat diskusi menjadi hambar akan teori dan refleksi. Kebanyakan mahasiswa hanya ngibul agar dianggap aktif di depan dosen lalu mendapatkan nilai A. Ya, sebobrok itu budaya akademik kampus kita yang mungkin oleh sebagian orang dianggap baik-bak saja.
Lebih jauh lagi, akibat kecacatan nalar yang terus dibiarkan, tugas akhir akademik berbentuk skripsi, tesis, atau disertasi menjadi miskin inovasi. Tidak bermutu. Ibarat makanan tanpa bumbu yang sejatinya tidak siap disantap publik, apalagi dinobatkan sebagai karya ilmiah. Maka, yang dapat dilakukan selanjutnya adalah pemakluman sekaligus pemaafan terhadap kapasitas mahasiswa yang seharusnya tidak lulus, diluluskan atas dasar naluri kemanusiaan dan kepentingan lembaga.
Membayangkan Perguruan Tinggi yang Berkualitas
Oleh sebab itu, saya rasa perguruan tinggi harus berani mensucikan dirinya dari penyakit-penyakit bawaan dan lahir kembali menjadi lembaga pendidikan yang independen. Tegak lurus pada pengembangan ilmu pengetahuan, bukan sekadar gerakan formalitas seperti yang banyak terjadi sekarang.
Saya membayangkan perguruan tinggi hanya diisi oleh para mahasiswa yang gila membaca. Tiada hari tanpa buku. Juga dosen yang memiliki banyak karya tulis bergengsi dan metode mengajar yang variatif. Tidak sekadar duduk, mengabsen, memberikan tugas, lalu keluar kelas dengan alasan rapat dan lain sebagainya. Akhirnya, harapan tentang Indonesia Emas melalui optimalisasi peran perguruan tinggi tidak akan menjadi jargon belaka.
Editor: Prihandini N