Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Surat untuk Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

Izam Komaruzaman

2 min read

Mimpi Presiden Prabowo Subianto akan peningkatan kapasitas Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) coba diwujudkan dengan diangkatnya Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) yang didampingi Stella Christie dan Fauzan sebagai wakil menteri. 

Ketiganya merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang akademisi. Satryo, sebelumnya menjabat sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) periode 2018-2023. Dirinya meraih gelar Ph.D di bidang teknik mesin dari University of California. Wakilnya, Stella Christie merupakan Guru Besar di Tsinghua University, sekaligus profesor di bidang kognitif. Sementara, Fauzan merupakan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. 

Penunjukan ketiganya dapat dibaca sebagai langkah Prabowo untuk mempercepat hilirisasi dengan penggalakan riset di bidang STEM. Kemungkinan besar tugas kementerian ini adalah perbaikan ekosistem riset dan peningkatan kuantitas serta kualitas riset di perguruan tinggi.  

Di satu sisi, pengangkatan akademisi di jabatan politis ini merupakan satu langkah maju. Harapan akan pembenahan dan peningkatan riset pun mendominasi narasi di masyarakat. Optimisme tersebut mengaburkan satu isu penting di perguruan tinggi, yaitu tren kenaikan biaya kuliah yang semakin tidak masuk akal. 

Pada pertengahan Mei lalu, uang kuliah tunggal (UKT) mengalami lonjakan hingga 200 persen. Kenaikan hampir terjadi di seluruh perguruan tinggi negeri (PTN). Menyebabkan demonstrasi di berbagai kampus.  

Aktor dari lonjakan biaya kuliah itu adalah Menteri Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) saat itu, Nadiem Makarim. Dirinya mengubah mekanisme perhitungan dalam UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) lewat Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Perubahan tersebut mengatur standar UKT di berbagai jurusan di kampus-kampus negeri.

Baca juga:

Meski kenaikan UKT telah dibatalkan oleh Nadiem pada 28 Mei 2024, namun Mendikbudristek tidak mencabut peraturannya. Sebuah langkah yang disebut Tempo sebagai obat pereda nyeri gerakan mahasiswa. Pasca pencabutan itu pun gerakan mahasiswa seolah berpuas diri, padahal kenaikan UKT bisa saja kapan saja melihat peraturan yang masih eksis.

Gugatan terhadap aturan ini telah dilayangkan oleh Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ke Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2024 lalu. Gerakan-gerakan mendorong MA untuk mengabulkan dua permohonan ini pun dilakukan rutin oleh APATIS. Sayangnya, MA tidak mendukung pencabutan aturan ini. Pada September lalu, kedua permohonan tersebut ditolak. Kenaikan UKT di tahun ajaran baru 2024/2025 pun menjadi niscaya. 

Mungkin harapan akan pencabutan pun akan sukar dicapai. Pasalnya, Mendiktiristek, Satryo Brodjonegoro merupakan aktor yang mengesahkan perubahan PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)–embrio PTN-BH–pada rentang 2000 hingga 2006 saat dirinya menjabat Dirjen Dikti. Seperti yang sudah diketahui, PTN-BH menghendaki kampus untuk mandiri secara pengelolaan keuangan, meski pada akhirnya mengorbankan mahasiswa dengan kenaikan UKT. 

Kegagalan pengelolaan keuangan kampus berimbas pada peningkatan uang kuliah mahasiswa. Sehingga pengelolaan mandiri oleh kampus tidak dapat lagi dilihat sebagai otonomi, tapi pelepasan tanggung jawab negara akan pendidikan tinggi. 

Ditambah, rapat kerja DPR dengan Satryo pada Rabu, (6/11) seolah mengesampingkan masalah uang kuliah tunggal. Dalam rapat dengan Komisi X itu, dirinya justru hanya berfokus pada pengembangan pendidikan tinggi untuk membantu pembangunan nasional.  

Padahal apa artinya pembangunan menuju visi Indonesia Emas 2045 bila akses pendidikan tingginya tidak merata. Data 2023 lalu saja, angka partisipasi kasar perguruan tinggi dari kuintil pengeluaran 1 atau kategori sangat miskin hanya berada di 17,51. Tiga kali lipat lebih rendah dari proporsi orang-orang kaya. 

Baca juga:

Harusnya ini menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah. Apalagi sebelumnya Prabowo Subianto pernah menyatakan “Dan sekolah, universitas negeri benar-benar harus kita bikin kalau bisa semuanya enggak bayar,” katanya pada 8 November 2023. Jadi persoalan Permendikbudristek Nomor 2 harus menjadi prioritas untuk perevisiannya. Kalau tidak bisa murah, paling tidak harganya tidak melonjak.

Terakhir, surat ini saya sampaikan kepada Mendiktisaintek sebagai bentuk pengharapan kecil kepada pemerintah yang ada. Sudah terlampau banyak kisah-kisah menyedihkan perjuangan mahasiswa untuk membayar kuliahnya. Solusi-solusi yang diberikan, seperti pinjaman mahasiswa, penundaan pembayaran, kuliah sambil bekerja, hanya solusi semu untuk menutupi pelepasan tangan negara. 

Kami (mahasiswa) akan senang bila Anda mencabut Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, namun kami tidak akan terlampau kecewa bila Anda masih mempertahankannya. Selamat bekerja!

 

 

Editor: Prihandini N

Izam Komaruzaman
Izam Komaruzaman Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email