Pendidikan di perguruan tinggi negeri nyatanya tak bebas dari komersialisasi. Praktik mendulang keuntungan ini semakin tampak setelah beberapa perguruan tinggi negeri berubah status menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau PTN BH. Perguruan tinggi negeri yang masuk golongan ini memiliki hak lebih untuk mengatur kampusnya secara berdikari. PTN BH memiliki hak otonom layaknya provinsi di Indonesia. Untuk mendapatkan status PTN BH, perguruan tinggi negeri harus memenuhi beberapa persyaratan.
Mengutip laman Kemendikbud, dalam Pasal 2 Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 dijelaskan bahwa syarat PTN BH antara lain:
1. Menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yang bermutu
PTN yang akan berubah status menjadi PTN BH harus mampu melaksanakan tridharma dengan mutu yang baik. Selanjutnya PTN tersebut harus memiliki program studi dengan akreditasi unggul minimal 60%.
2. Mengelola organisasi PTN berdasarkan prinsip tata kelola yang baik
Dalam mengelola organisasi, PTN harus memperhatikan akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan efisiensi pengelolaan institusi.
3. Memenuhi standar minimum kelayakan finansial
Pada aspek finansial, pengelolaan keuangan dan asetnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, laporan keuangan setidaknya memperoleh opini wajar tanpa pengecualian selama 2 tahun berturut-turut. Selain itu, kampus juga harus mampu menggalang dana selain dari biaya pendidikan mahasiswa.
4. Mampu menjalankan tanggung jawab sosial
Calon PTN BH harus bisa terlibat dalam pelayanan masyarakat. Selain itu, PTN juga menerima calon mahasiswa dengan potensi akademik tinggi tetapi kurang beruntung secara ekonomi atau berasal dari daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Kuotanya paling sedikit 20% dari total jumlah mahasiswa.
5. Mampu berperan dalam membangun perekonomian
PTN yang akan menjadi PTN BH harus bisa mengembangkan UMKM di dunia industri, serta menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswanya.
Jalur Masuk Mandiri dan Biaya UKT Selangit
Jika kita perhatikan 5 syarat tersebut, dapat disimpulkan bahwa PTN BH harus lebih bisa mandiri dan berdampak langsung bagi masyarakat sekitar. PTN BH juga harus bisa menghasilkan uang sendiri, di luar dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa dan pembiayaan dari negara.
Yang menjadi polemik adalah, sering kali PTN yang sudah tergolong ke dalam PTN BH terlalu meninggikan biaya UKT kepada mahasiswa. Hal ini tentu memberatkan mahasiswa yang akan berkuliah, terlebih mereka yang masuk lewat jalur mandiri. UKT sering kali menjadi ladang perguruan tinggi mencari pundi-pundi rupiahnya. Mahasiswa yang ikut tes jalur mandiri sering kali disangka kaya dan memiliki banyak uang.
Baca juga:
Contohnya di kampus saya, saya yang lolos lewat SBMPTN dikenakan UKT sebesar Rp3.750.000, sedangkan teman-teman yang lolos lewat jalur mandiri dikenakan biaya UKT Sebesar Rp4.250.000 hingga Rp10.000.000 (tergantung fakultas, departemen, dan prodi yang dipilih).
Meskipun bisa mengurus pengurangan UKT, berurusan dengan birokrasi kampus sulitnya bukan main. Beberapa teman saya bahkan menyerah dan menerima keadaan bahwa dia harus membayar UKT yang cukup tinggi. Inilah untung rugi PTN BH.
Mahasiswa menjadi Tumbal Proyek Pendanaan
Di satu sisi, PTN BH membuat perguruan tinggi menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam membuat terobosan, baik riset maupun pengabdian masyarakat. Akan tetapi, mahasiswa acap kali menjadi tumbal proyek pendanaan kampus. Sistem penerimaan jalur mandiri kini sudah diubah oleh Nadiem Makarim. Kini kampus harus transparan dalam menyelenggarakan penerimaan calon mahasiswanya. Transparansi ini tidak hanya berkaitan dengan tes masuk, tetapi juga biaya kuliah yang harus ditanggung oleh calon mahasiswa.
Akan jauh lebih baik jika kampus mengategorikan UKT mahasiswa jalur mandiri sesuai dengan pekerjaan orang tuanya. UKT jalur mandiri lebih baik disamakan dengan jalur masuk SNMPTN (jalur prestasi) dan SBMPTN (jalur tes). Jika cita-cita PTN BH bukan untuk mengomersialisasikan pendidikan, saya harap para rektor PTN yang tergolong PTN BH di seluruh Indonesia adil dalam urusan UKT mahasiswa.
Yang pantas menerima UKT rendah jangan sampai mendapatkan kategori tinggi, begitu pun sebaliknya. Kampus harus mandiri dan membangun peradaban, bukan mengapitalisasi dan meruntuhkan peradaban. Kampus harus terhindar dari oknum-oknum jahat yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Birokrasi PTN BH di Indonesia harus menjalankan prosedur dengan baik dan amanah, tidak boleh ada pungli, gratifikasi, ataupun korupsi.
Bukannya saya berburuk sangka, tetapi peredaran dan perputaran uang di kampus yang begitu pesat dan dipegang secara mandiri oleh birokrasi kampus, bisa saja menjadi sarang tindakan bejat yang saya sebutkan tadi. Untuk itu, rektor sebagai pimpinan tertinggi dalam institusi pendidikan tinggi harus memastikan birokrasinya bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain, itu birokrasi kampus wajib memberikan pelayanan terbaik bagi civitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa.
Editor: Prihandini N