Masalah mahalnya pendidikan di Indonesia akan terus menjadi isu tahunan, terutama saat mendekati penerimaan mahasiswa baru. Narasi semacam pendidikan mahal, mahasiswa baru kesulitan bayar uang kuliah, dan sistem admisi yang buruk, akan muncul membanjiri arus utama informasi di media sosial.
Jika tak ada kehendak politik dari para pemangku kebijakan untuk mengentaskan simulakra perguruan tinggi ini, kita akan terus-terusan melihat tangis pemuda desa yang gagal mencicipi pendidikan karena masalah uang. Bersiaplah melihat kawan sekelasmu menenteng kardus dan pulang kampung sambil mengeluh “aku tak punya sumber daya lagi untuk bayar kuliah dan mencukupi kebutuhan hidup di perantauan.”
Sudahkah Kita Melawan?
Lalu, kenapa mahasiswa tidak melawan, tidak solid mendesak rektorat untuk mengubah aturan agar lebih manusiawi? Mari kita renungi pertanyaan ini bersama. Kenapa gerakan mahasiswa di kampus tak pernah bergairah untuk memukul masalah sistemik komersialisasi pendidikan tinggi?
Baca juga:
Upaya kultural semacam monolog, panggung dialektika, dan upaya populis lain memang sudah dilakukan, tapi nampaknya mayoritas mahasiswa tak merasakan satu nada perjuangan yang sama. Mungkin mahasiswa masa kini terlalu permisif, acuh, skeptis dengan agenda pergerakan, atau memang telah kalah dengan realitas hidup yang brengsek ini?
Kita, civitas akademika, boleh jadi juga telah tunduk dan patuh dengan aturan negara, terbawa arus kencang kekuasaan yang semakin ke sini semakin patut dipertanyakan. Entahlah, saya hanya bisa bertanya-tanya.
Jika memang benar kita telah kalah dan tak memiliki daya untuk melawan aturan yang menindas mahasiswa, dosen, dan karyawan, kekhawatiran kita akan jadi nyata. Mahasiswa dibentuk hanya untuk jadi pengangguran terdidik. Dosen mengabdi kepada administrasi, bukan pengembangan ilmu pengetahuan. Rektor adalah alat negara untuk membungkam suara kritis. Guru besar adalah label semu guna mengejar label universitas. Konferensi ilmu pengetahuan adalah agenda angkuh kelas menengah terdidik.
Lawan Kita adalah Sistem yang Tidak Adil, Bukan Sesama
Kita harus paham bahwa mahasiswa, dosen, dan semua individu yang terlibat dalam kerja-kerja universitas adalah korban dari peraturan yang brengsek. Tak ada manfaatnya jika kita saling menyalahkan satu sama lain, misalnya menjadi detektif untuk mengungkap mahasiswa penerima KIP-K yang foya-foya. Tindakan penerima beasiswa yang tak bertanggung jawab memang tak bisa dibenarkan. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dihantam, yaitu sistem admisi Beasiswa KIP-K yang meresahkan. Energi sebesar itu sungguh miris jika hanya dipakai untuk saling menyalahkan sesama mahasiswa, padahal musuh kita sama, yaitu sistem yang tidak adil.
Baca juga:
Lalu, bagaimana nasib pendidikan tinggi? Apakah benar kuliah adalah kebutuhan tersier dan pemerintah boleh abai atas penyelenggaraannya? Biarlah itu jadi pil pahit dan nominasi opini jelek 2024. Yang mesti kita siapkan adalah mental. Kesiapan untuk menerima fakta bahwa pendidikan tinggi hanya dapat dicapai dengan utang. Student loan adalah jalan yang sepertinya akan diambil oleh pemerintah, sebab negara sedang dibebani tanggung jawab besar: IKN, makan siang gratis, dan proyek strategis nasional. Sementara mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam politik, adalah bunuh diri yang disengaja.
Tsunami pragmatisme yang menghantam mahasiswa dan membunuh nalar berpikir kritis adalah fakta. Tabiat civitas akademika yang menghamba kepada angka dan gandrung dengan label semu akan terus hidup. Negara akan terus mengorkestrasi orang kampus untuk saling ribut dan menyalahkan satu sama lain.
Selamat datang di Indonesia, negara bermoral yang diam saja saat ada praktik pembunuhan nilai keadaban bangsa. Ingat, saya sedang membicarakan diri saya sendiri.
Editor: Prihandini N