Mahasiswa baru berhak bermimpi setinggi langit untuk berkuliah di perguruan tinggi negeri impian. Namun, mimpi dan harapan mereka terancam pupus karena UKT yang juga setinggi langit.
Lika-liku perjuangan para mahasiswa baru untuk kuliah di PTN lewat jalur seleksi prestasi dan tes tampaknya belum cukup. Kini mereka harus menghadapi persoalan biaya kuliah yang mahal. Ada perguruan tinggi yang menaikkan biaya kuliah hingga puluhan persen dari UKT tahun sebelumnya. Bahkan ada yang mencapai tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Kenaikan UKT pun sontak memunculkan gelombang protes dari mahasiswa dan masyarakat umum.
Bagi mereka yang berasal dari keluarga mampu atau kelas menengah ke atas, mahalnya biaya pendidikan tidak menjadi persoalan karena mereka akan mampu membayarnya. Berbeda bagi mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah atau bahkan keluarga miskin. Mereka akan merasa sangat keberatan dan tidak mampu untuk melanjutkan kuliah di PTN idaman dengan biaya kuliah selangit.
Baca juga:
Tanpa membedakan kelas sosial, secara umum kenaikan UKT yang sampai berkali-kali lipat dirasa sangat memberatkan calon mahasiswa baru. Oleh karena itu, perlu ada transparansi dan penjelasan dari pihak kampus dan juga pemerintah supaya tidak memunculkan kegaduhan terus menerus. Tulisan ini mencoba mengkritisi naiknya UKT dan memberikan tawaran solusi.
Di Balik Tingginya UKT
Kenaikan UKT bagi mahasiswa baru terjadi akibat kenaikan harga-harga kebutuhan. Kenaikan ini diduga ikut mengakibatkan naiknya biaya operasional perguruan tinggi. Namun, alasan ini terkesan tidak rasional. Nyatanya penarikan iuran pengembangan institusi (IPI) belum mampu membuat pihak universitas membenahi permasalahan fasilitas. Padahal sudah banyak kritik dari mahasiswa terkait hal ini. IPI selangit, fasilitas irit.
Lantas, apa sebenarnya tujuan iuran pengembangan institusi selama ini? Apakah penarikan IPI belum cukup sehingga harus menaikkan UKT juga? Pertanyaan itu seharusnya bisa dijawab seterang-terangnya oleh pihak kampus yang selama ini memungut IPI dari mahasiswa baru yang masuk kampus melalui jalur mandiri.
Selain akibat kenaikan harga-harga kebutuhan, kenaikan UKT juga dipengaruhi oleh kurangnya bantuan biaya operasional PTN dari pemerintah. Hal ini patut dikritisi, kenapa biaya operasional PTN tidak menjadi prioritas pemerintah? Apalagi PTN menjadi harapan besar masyarakat untuk bisa mengakses pendidikan yang berkualitas dengan biaya terjangkau.
Pemerintah seharusnya tidak lepas tangan dalam hal pembiayaan ini. Jika pemerintah mau melepaskan tanggung jawab ini, lantas apa bedanya kampus negeri dengan swasta? Adanya kampus negeri dengan dukungan operasional penuh dari pemerintah tentu akan meningkatkan angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) negara kita yang masih tertinggal dari rata-rata global, yakni 40 persen. Hal ini bisa tercermin pada kemudahan akses dan keterjangkauan biaya pendidikan yang berkualitas.
Peralihan status PTN menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH) disinyalir menjadi pendorong naiknya UKT. Hal ini terjadi karena PTN tidak mampu memperoleh sumber dana melalui pengelolaan unit bisnis yang mampu menghasilkan pemasukan bagi universitas. Oleh karena itu, kekurangan biaya operasional dibebankan kepada mahasiswa.
Selain itu, peralihan status PTN menjadi PTN BH juga terkesan dipaksa-paksakan. Hal ini tidak terlepas dari adanya tuntutan kebijakan kementerian pusat maupun tuntutan politis rektor PTN untuk bisa mengegolkan status PTN BH, sebagaimana yang biasanya diutarakan dalam penyampaian visi-misi saat menjadi calon rektor. Dorongan perubahan PTN menjadi PTN BH pada akhirnya hanya sebatas gengsi.
Jika demikian, peralihan status tersebut sebaiknya tidak perlu dilanjutkan. Jangan sampai kebijakan itu membuat mahasiswa menjadi korban. Perlu kiranya untuk melihat dulu keberhasilan PTN BH yang sudah ada. Apakah 21 PTN BH yang sudah ada benar-benar mampu membawa perubahan yang lebih baik atas tata kelola perguruan tingginya? Apakah mahasiswa di 21 PTN BH tersebut sudah mendapat akses pendidikan yang berkualitas tetapi tetap terjangkau? Nyatanya PTN BH yang ada juga masih membebankan sebagian besar pembiayaan perguruan tinggi kepada mahasiswa, sehingga UKT di 21 PTN BH juga mengalami kenaikan.
Baca juga:
Mencari Solusi Bersama
Membuka ruang dialog yang jujur dan terbuka antara mahasiswa dan pihak kampus perlu diupayakan agar alasan di balik kenaikan UKT menemukan titik terang. Kritik dari mahasiswa tentu menjadi hal baik untuk memperbaiki kebijakan yang keliru dan berpotensi menyengsarakan mereka. Jangan sampai pihak kampus bersikap represif dan seolah antikritik, sampai-sampai membawa kasus protes ke ranah hukum yang dapat memenjarakan mahasiswa. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai demokratis yang seharusnya terus ditumbuhkan di kampus.
Pemerintah juga harus tetap bertanggung jawab dengan memberikan bantuan operasional perguruan tinggi sesuai dengan kemampuan keuangan PTN, baik itu yang berstatus PTN Satuan Kerja (Satker), PTN Badan Layanan Umum (BLU), maupun PTN BH dengan memanfaatkan dana abadi pendidikan. PTN yang sudah mampu secara keuangan, baik dari unit usaha bisnis atau lainnya, bisa saja dikurangi nilai bantuan operasionalnya untuk dialihkan ke perguruan tinggi lain yang lebih membutuhkan. Tentu hal ini memerlukan akuntabilitas pengelolaan keuangan dari masing-masing PTN.
Perubahan status PTN menjadi PTN BH sebaiknya tidak perlu dipaksakan sesegera mungkin hanya karena gengsi atau ingin menunjukkan eksistensi. Bukankah lebih baik kampus berbenah diri secara organik?
Caranya adalah dengan meningkatkan kualitas pengajaran, pembelajaran, dan penelitian. Sumber daya yang ada perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan unit bisnis penghasil sumber dana. Dana tersebut diharapkan dapat membantu biaya operasional perguruan tinggi, serta untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik di PTN. Dengan cara tersebut, perguruan tinggi diharapkan tidak lagi membebankan biaya perguruan tinggi kepada mahasiswa. Daya saing di kancah internasional juga perlu diperkuat dengan memperbaiki kualitas PTN.
Para pimpinan kampus, dosen, dan pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, harus bekerja sama menemukan jalan keluar untuk mengakhiri permasalahan tentang tingginya biaya pendidikan di PTN dan memperbaiki kualitasnya.
Baca juga:
Untuk mengembangkan perguruan tinggi, semua pihak di kampus harus dilibatkan dalam kerja sama dengan pihak-pihak di luar kampus yang bisa menunjang perbaikan kualitas pendidikan dan menghasilkan pemasukan bagi kampus. Partisipasi mahasiswa dalam pemajuan kampus melalui prestasi akademik dan non-akademik juga perlu ditingkatkan, caranya melalui perlombaan di kancah nasional maupun internasional. Hal ini akan semakin meningkatkan citra kampus sehingga akreditasi perguruan tinggi semakin unggul. Dengan begitu, akan semakin banyak pihak di luar kampus yang ingin menjalin kerja sama atau menjadi pengguna lulusan PTN.
Selain itu, mahasiswa yang mampu dan tidak memiliki kendala membayar biaya kuliah karena berasal dari keluarga berada, mereka harus secara jujur melepaskan bantuan biaya dari pemerintah. Jangan ada lagi kasus mahasiswa bergaya hedon tetapi masih mendapatkan bantuan kuliah dari pemerintah. Solusi lainnya, mereka bisa mencoba bekerja paruh waktu untuk meringankan beban biaya hidup dari orang tua selama kuliah, misalnya menjadi guru privat atau pekerjaan lain yang baik dan halal.
Akhirnya, kita perlu mengingat kembali nasihat dari Syekh Az-Zarnuji dalam kitab Ta`lim Al-Muta`allim. Ia menyatakan bahwa salah satu syarat mendapatkan ilmu adalah dengan biaya atau uang. Oleh karena itu jangan sampai mimpi dan harapan mahasiswa untuk tetap berkuliah redup hanya karena persoalan UKT. Mahasiswa harus terus semangat memperjuangkan cita-citanya.
Editor: Prihandini N
One Reply to “UKT Setinggi Langit, Salah Siapa?”